Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Selasa, 26 April 2016

Rahasia Menemukan Jati Diri

Sering kita mendengar istilah mencari jati diri, kehilangan jati diri, atau paduan suku kata lain yang bermakna hampir sama. Obrolan dua hari yang lalu bersama seorang kawan belum menemukan titik temu arti sesungguhnya, karena pada akhirnya dia berkata belum memahami betul apa itu sejatinya jati diri, diri yang mana, dan wujudnya seperti apa. Ditambah dengan penambahan kata mencari atau kehilangan, kian menimbulkan kerancuan pemikiran saya, lalu timbullah pertanyaan, benarkah jati diri itu dicari atau ditemukan? Dan jati diri yang seperti apa sehingga bisa dikatakan hilang?

Baiklah, lewat beberapa coretan kedepan saya bersama pemikiran seadanya akan mencoba mengurai apa yang sempat terlintas di benak ini. Agar lebih paham, mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata jati diri adalah ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda, bisa pula berarti identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam atau spiritualitas. Nah, berkaca dari pengertian ini dirasa ada ke-ambigu-an seseorang dalam memaknai kata jati diri selama ini. Kalimat mencari jati diri akan terkesan rancu bila dicermati, dan kali ini saya dan teman saya sepakat mengiyakannya. Bagaimana tidak rancu, bukankah jati diri itu ada dalam diri? Kenapa musti dicari? Malah saya sempat berfikir bahwa sebenarnya jati diri tak pernah hilang. Bila orang berkata hilang, saya fikir tidak. Karena, biar bagaimana pun dalam diri seseorang pasti ada sesuatu yang berbeda dari orang lain dan itu pun tidak akan pernah bisa tercuri atau hilang. Biar lebih mudah kita bisa ambil contoh air, mau dicampur atau diberi pewarna apapun sifat zat cairnya akan tetap ada. Berubah seperti apa air akan tetap dikatakan air, walau dalam wujud comberan sekalipun.

Begitu pula dengan diri kita. Janganlah merasa pesimis tentang kelabilan yang dikira masih dalam pencarian jati diri. Diri ada bukan untuk dicari. Sebetulnya ia telah tertanam dalam diri, tinggal membongkarnya saja. Andaikata memang kesulitan, seseorang tersebut belum menyadari, ditambah dengan kesibukan melihat sekitar atau orang lain malah terlupalah sejatinya diri. Menganggap orang lain lebih hebat dan lebih cocok menjadi panutan lambat laun dengan  ketertarikan tersebut akan menimbun ke’aku’ annya. Terkuburlah sosok dia yang sebenarnya dan terganti oleh sosok baru atau cermin lain. Maka tak heran ada beberapa orang yang begitu asing dengan dirinya sendiri dan muncullah kalimat ‘siapa aku?’ atau who am i? yang dikiranya dia sedang kehilangan jati diri, padahal tidak. Jati dirinya ada, cuma masih tertimbun oleh tumpukan obsesi dan tekanan ketidakpercayaan diri. Semisal, sering kita melihat seseorang berpenampilan layaknya idola yang mereka gemari. Mulai dari gaya rambut, pakaian yang dia kenakan, sampai gaya bicara pun persis. Dengan begitu, kita menjadi kesulitan melihat sosok dia yang sebenarnya. Tidak bisa dikatakan dia sedang kehilangan jati diri, terkontaminasi barangkali iya.

Akhir obrolan dengan kawan, saya melontarkan satu kata kunci ‘proses’. Untuk menonjolkan jati diri sejatinya membutuhkan proses. Kembali lagi ke pengertian yakni adanya identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak ternyata ada bukan berjalan dengan sendirinya. Terbentuknya jati diri yang kuat pastilah terlebih dahulu ditempa oleh berbagai pilihan serta problematika dalam perjalanan hidupnya. Pilihan untuk mengikuti aliran atau tetap mempertahankan kenyamanannya.

Bila dia mengikuti aliran bisa jadi dia akan terbawa arus dan lupa pada tujuan serta dirinya sendiri. Kemudian muncullah golongan orang-orang alay, lebay, epigon, dan lain sebagainya. Atau dia akan tetap mempertahankan ke’aku’annya. Walaupun ini baik, bila perlakuannya berlebihan maka akan negatif juga karena bisa memunculkan orang-orang yang bersifat egois atau diktator. Idealnya, kita tetap pada pendirian dan prinsip, namun jangan melupakan keterbukaan. Jangan melupakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang berteman dengan segala macam perbedaan.

Sebaiknya, jangan sampai kita menyiksa diri sendiri untuk mengikuti orang lain. Apa salahnya menjadi berbeda, toh itu nantinya tidak akan mengurangi kualitas diri. Banyak orang beranggapan bahwa penampilan fisik adalah segala-galanya dan merupakan bagian dari jati diri. Saya pikir tidak, justru, apa yang terbungkus dalam fisik itulah diri kita sebenarnya. Jadi, jangan lama-lama kita mau dikecoh persepsi bahwa jati diri bisa nampak jelas oleh mata melalui bungkus luar. Jangan terlalu lama pula kita bersolek hanya membenahi cover saja, sampai melupakan ketahanan spiritual yang memprihatinkan. Diri ada di dalam, kekuatan ada di jiwa, selamat berproses untuk mempertahankan dan menguatkannya…!


Banyak orang yang tidak mengenal jati diri sendiri, sehingga membuat mereka sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang patut dan tidak patut untuk dilakukan oleh mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Alasan inilah yang membuat kita perlu mengetahui bagaimana cara menemukan jati diri sendiri, sehingga kita tidak mudah untuk terpengaruh dengan orang lain disekitar kita. 

Pengertian Jati Diri 
Sebagian orang berpendapat bahwa arti jati diri adalah suatu manifestasi ideologi hidup seseorang. Jati diri sendiri merupakan bagian dari sifat seseorang yang muncul dengan sendirinya mulai dari kecil, kemudian sifat bawaan kadang juga terpengaruh dengan faktor lingkungan tempat seseorang hidup dan dibesarkan. Kita tentu sudah tidak asing mendengar istilah seorang anak yang sedang mencari jati diri, hal ini sering terungkap karena dalam proses pembentukan karakter yang sebenarnya pada diri seseorang adalah pada masa pancaroba, yaitu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. 

Cara Menemukan Jati Diri
Dari pengertian jati diri yang sudah dipaparkan di atas, bahwasanya jati diri itu sendiri merupakan suatu manifestasi ideologi hidup seseorang, sehingga bagaiaman cara menemukan jati diri sendiri itu juga merupakan hak mutlak bagi seorang individu untuk menentukan jati dirinya sendiri.

Ketika seseorang yang telah dapat memahami akan kemampuan dan kekuatan pada dirinya yang didasari dengan iman dan taqwa pada Tuhan, maka saat itulah seseorang sudah dapat dikatakan menemukan jati dirinya sendiri.
 

Seseorang, di saat mengalami suatu masalah sering merasa kebingungan bagaimana cara menyelesaikannya. Dan dari sini kemudian akan berkembang menjadi masalah lain yang menimbulkan seseorang menderita, susah, dan lain-lain. Hal ini bisa terjadi, dikarenakan tidak pernah menyadari, bahwa setiap manusia hidup di dunia, mau tidak mau, suka maupun tidak,  tidak akan pernah lepas dari permasalahan. Walaupun di dalam setiap do'a yang disampaikan pada Tuhan, selalu meminta agar dilepaskan dari permasalahan. Padahal, sebagaimana yang pernah saya tuliskan sebelumnya, bahwa manusia hidup di dunia ini adalah sementara. Di samping itu, alam dunia ini bukan merupakan alam manusia yang sebenarnya, jadi kita harus selalu siap untuk mendapatkan masalah yang beraneka ragam. Jika kita tidak pernah memperhatikan, maka kita sebagai manusia akan selalu mengalami penderitaan di saat masalah telah menerpa kita.

Untuk itu, sebagai langkah awal, lewat tulisan ini saya mencoba untuk mengurai terhadap permasalahan hidup manusia yang tidak akan lepas dari munculnya suatu warna perasaan di saat permasalahan itu timbul.
Dan, agar tidak terlambat di dalam antisipasi, diperlukan suatu pemikiran dan perenungan pada setiap masalah yang timbul di dalam kehidupan kita sehari-harinya. Apa yang harus dipikirkan, dan direnungkan?  Yaitu, segala sesuatu yang terjadi pada hari ini, dan kemudian dicocokkan dengan apa yang telah terjadi pada hari-hari sebelumnya, khususnya terhadap segala perasaan yang timbul akibat adanya permasalahan yang kita alami. Contoh; di saat kita selesai marah, pikirkan dan renungkan kenapa tadi kita marah, bisakah untuk selanjutnya tidak marah lagi bila ada permasalahan yang sejenis?
Begitu pula, di saat kita selesai mengalami kesedihan, penderitaan dan lain-lain. Bisakah kita untuk tidak mengalami hal yang sama di saat perasaan itu akan timbul kembali? Adapun caranya tidak ada lain, kecuali hanya dengan berfikir, apakah jika perasaan itu muncul, adakah keuntungan yang kita dapatkan? Bila ternyata tidak ada, lantas untuk apa kita marah dan kita bersedih? Hal ini bisa menjadi bahan perenungan di saat masalahnya telah berlalu. Sebab pada saat kita marah, kita bersedih, tentu hati kita akan jadi gelap, sehingga kita tidak akan bisa mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Makanya saat kita bersedih, menderita, marah dan lain-lain, jangan sekali-kali mengambil suatu keputusan apapun. Lebih baik lanjutkan dahulu perasaan yang muncul pada kita. 
Bahkan, dalam keadaan bahagia yang melampaui batas, juga tidak diperkenankan mengambil suatu keputusan apapun. Khususnya, yang menyangkut segala sesuatu yang belum terjadi. Sebab, keputusan yang ada, akan mempengaruhi pada tindakan yang akan diambil, yang biasanya akan membuat kerugian pada diri sendiri.
Jadi, dengan adanya permasalahan-permasalahan pada diri kita, bisa mendapatkan pengalaman didalam perkembangan jiwa. Tetapi, yang sering terjadi, jika permasalahan itu timbul, khususnya perasaan marah masih sering membekas, bahkan bisa pula berakibat dendam pada seseorang.

Selanjutnya, sebagai langkah yang kedua,  disaat  berdo'a, kurangilah segala hal yang secara tidak kita sadari menyuruh Tuhan untuk bekerja. Walaupun kelihatannya memohon secara halus, akan tetapi hal itu menunjukkan, bahwa kita yang menjadi Tuhan, dan memerintah Tuhan agar bekerja untuk kita. Contoh : Ya Allah mudahkan rejeki bagi kami, limpahkan rejeki, berilah kenikmatan pada kami, lapangkan dada kami masukkan kami kedalam surga. Bimbinglah kami, dan lain-lain. Menurut hemat saya, mestinya disaat berdo'a harus yang mengandung arti bahwa kita yang bekerja, bukan Tuhan. Contoh do'a yang benar adalah” Ya Allah, petunjuk apa yang harus aku laksanakan agar rejekiku lancar”. Ya Allah Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa masuk surga, seperti mereka-mereka yang masuk surga? Ya Allah, apa yang harus aku lakukan supaya aku semakin dekat denganMu dan jauh dari kesesatan?  dan sebagainya, tergantung konteks do'a apa yang kita kehendaki.  Ini hanya sekedar contoh, bagi mereka yang belum mengenal jati diri. Adapun bagi mereka yang telah mengenal jati diri, saya yakin bahwa mereka disaat berdo'a, tidak akan pernah menggunakan kata-kata, melainkan cukup dengan suatu perbuatan untuk mencapai sesuatu. Namun, bila hal ini tidak saya tulis, lantas sampai kapan kita akan berhenti menyuruh Tuhan terus menerus? Sampai kapan kita akan dewasa dan mandiri?  Dan sampai kapan kita bisa benar-benar berbakti kepada Tuhan?

Kesimpulannya, dengan langkah do'a yang saya sebutkan di atas, kita akan tertuntun untuk selalu bekerja sesuai dengan petunjuk Tuhan, bukan malah sebaliknya kita yang memerintah Tuhan untuk bekerja. Walaupun cara do'a seperti yang lazim kita pergunakan itu adalah sah-sah saja. Akan tetapi, apabila do'a seperti itu berkelanjutan terus menerus akan membuat kita malas untuk berusaha dan bekerja, serta akan pula kecanduan untuk menyuruh orang lain mengerjakan apa yang menjadi kesulitan kita. Sementara kita, hanya tinggal ongkang-ongkang kaki saja, dan tinggal memakainya.

Bukankah saat ini kita sering hanya sebagai pendengar, penonton, dan juga pemakai belaka? Dan jarang sekali yang sebagai pelaku sejarah, kendatipun itu hanya sejarahnya sendiri. Amat ironis sekali. Namun di antara kita masih belum menyadari, sehingga do'a seperti yang menurut kita lazim, dan memang ada pedomannya, tetap saja dilakukan. Dengan adanya cara, dan redaksi do'a yang masih seperti itu, akan membuat kita kebiasaan menyuruh orang lain. Atau setidak-tidaknya kita akan berlomba-lomba untuk menggunakan segala cara, bagaimana bisa selalu menyuruh orang lain terhadap kepentingan kita. Dengan demikian yang perlu saya pertanyakan di manakah unsur kebaktian kita kepada Tuhan? Dan apakah kebaktian dan ibadah itu memang harus menyuruh Tuhan? Sehingga, semakin sering kita menyuruh Tuhan lantas kita dikatakan beriman kepada Tuhan? 

Sebagai langkah yang ketiga atau terakhir, janganlah sekali-kali kita makan, minum atau lain-lain, yang sekiranya kita tidak benar-benar membutuhkan. Juga, jangan seringkali memikirkan segala sesuatu yang telah berlalu, walaupun itu pahit atau senang. Tetapi selalu melangkah lah ke depan agar kita tidak selalu terganjal oleh masa lalu. Dan sering-seringlah berlatih untuk bertanya pada dirinya sendiri apa yang harus dilakukan, sembari membaca, memperhatikan, berpikir, dan merenung, bahwa segala sesuatu yang terjadi, akan terjadi, adalah merupakan variabel yang memang harus dilalui serta diketahui oleh Tuhan yang telah menciptakan kita beserta alam seisinya ini. Bahkan segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi. Sehingga dengan begitu, apabila kita selalu berlatih untuk mengajak diskusi dengan diri sendiri, diharapkan “jati diri “kita akan muncul dengan sendirinya. Bahkan, kalau sudah terbiasa, kita akan sering mendengar suara kita sendiri, atau melihat diri kita sendiri. Karena sesungguhnya itulah yang benar. Dan, dia itulah yang selama ini melihat dan mendengar, kendati tanpa mata dan telinga. 

Jati Diri dalam Pandangan Islam

JATI DIRI itu tentang tujuan akhir kita menghadap Allah SWT. Sebab JATI DIRI itu wajah batiniah kita. Wajah Ukhrawi kita. Seperti apakah wajah kita di hari kiamat kelak masih manusiakah atau berbentuk binatang. Karena umumnya kita belum bisa melihat secara kasat mata. Mungkin nanti saat menghembuskan nafas yg terakhir. Disitu kita akan terbelalak seperti disebutkan di dalam firman Allah Swt di dalam Al Qur'an Surah Qaf (55):22
"Maka kami singkapkan tirai yang menutup matamu dan tiba-tiba matamu hari ini menjadi amat tajam"

Didalam hadist Rasulullah Saw yang dikutip dari tafsir Majma Al-Bayan 10:43 yang mengisahkan bagaimana wujud manusia pada hari kiamat kelak. 

Pada suatu hari Muadz bin Jabbal duduk di dekat Nabi SAW di rumah Ayub Al-Anshari. Muadz bertanya :
"Ya Rasulullah SAW apa yg dimaksud dengan ayat pada hari ditiupkan sangsakala dan kalian datang bergolong-golongan?"

Di dalam QS.An-Naba (78):18 
Rasulullah SAW menjawab:
"Hai Muadz, kamu telah bertanya tentang sesuatu yang berat. Umatku akan dibangkitkan dalam 10 golongan. Allah SWT memilah mereka dari kaum muslimin dan mengubah bentuk mereka sebagian berbentuk monyet, sebagian lagi berbentuk babi, sebagian lagi berjalan terbalik dengan kaki di atas dan muka di bawah lalu diseret-seret, sebagian lagi buta merayap-rayap, sebagian lagi tuli bisu tidak bisa berfikir, sebagian lagi menjulurkan lidahnya yang mengeluarkan cairan menjijikkan semua orang, sebagian lagi mempunyai kaki & tangan terpotong, sebagian lagi disalipkan pada tonggak-tonggak api, sebagian lagi punya bau yang lebih menyengat dari bangkai, sebagian lagi memakai jubah ketat yang mengoyak-ngoyakkan kulitnya".

Sehingga yang menentukan JATI DIRI kita sekarang & juga nanti adalah amal-amal kita selama di dunia.
Dalam pandangan orang-orang shaleh, bentuk sejati/bentuk batin kita ini pun sudah tampak olehnya.

Imam Ja'far (Cucu Nabi SAW generasi ke-5) pernah memperlihatkan kepada sahabatnya Abul Bashir saat musim haji, betapa banyaknya binatang berputar-putar di sekitar ka'bah (tawaf), sedangkan yang terlihat sebagai manusia hanya sedikit sekali & itu pun tampak bagai kilatan cahaya.

Oleh karenanya jangan sampai kita kembali menghadap Allah Swt dalam keadaan sebagai binatang yang berbungkus manusia.....
Na'udzubillahi min Dzaalik....

Tentu kita juga ingin tahu sebelum nafas terakhir dihembuskan, karena akan sia-sia jika kita tahu sudah terakhir karena bila dalam bentuk manusia kapan kita akan memperbaikinya karena sudah terlambat.

Itu yang dimaksud JATI DIRI sebab amal-amal kita, apapun itu yang baik/yang buruk, semua menjelma mewujud dan membentuk tubuh ukhrawi (wujud batiniah).

Mudah-mudahan pencerahan ilmu yang tidak seberapa ini akan menjadi petunjuk jalan untuk mengerti apa itu JATI DIRI.

Wallahu A'lamu Bisshowwab,,,,

Semoga Bermanfaat,,,,,,,,,,,,,,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar