Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Selasa, 19 April 2016

MENGENAL DAN MENGETAHUI FILOSOFI NASI TUMPENG/BUCENG




Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara, baik yang sifatnya kesedihan maupun gembira.
Tumpeng dalam ritual Jawa jenisnya ada bermacam-macam, antara lain : tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng Robyong
Tumpeng sarat dengan simbol mengenai ajaran makna hidup. Tumpeng Robyong sering dipakai sebagai sarana upacara Slametan (Tasyakuran). Tumpeng Robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan.

Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupi tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan yang dibentuk Robyong disebut semi atau semen, yang berarti hidup dan tumbuh berkembang.
Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai arti simbolik.

Nasi putih
Berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal.
Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”.

Ayam: ayam jago (jantan)
Dimasak utuh dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa).
Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.

Ikan Lele
Dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan bandeng atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan simbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun.

Ikan Teri / Gereh Pethek
Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.

Telur
Telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong, sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu.
Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan dengan tuntas.
Telur juga melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan tingkah lakunya.

Sayuran dan Urab-uraban
Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung simbol-simbol antara lain:
  1. Kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai.
  2. Bayam (bayem) berarti ayem tentrem,
  3. Taoge/cambah yang berarti tumbuh,
  4. Kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/inovatif,
  5. Brambang (bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya,
  6. Cabe merah di ujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain.
  7. Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya.
  8. Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin do'a selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat.
Dalam selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan.
Setelah itu, nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: "Mangan ora mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul)." Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara.
Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga.
Di mana pun orang berada, meski harus merantau, haruslah tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturrahim dengan sanak saudaranya.


Filosofi Tumpeng dalam Persaudaraan Setia Hati Terate 
Tumpeng atau dengan sebutan lain Buceng adalah nasi beserta lauk-pauknya dengan menyerupai kerucut atau gunungan yang digunakan sebagai sajian dan atau persembahan pada dan atau untuk acara tertentu dalam adat masyarakat (Jawa, Madura, Sunda atau bahkan Indonesia secara umum). Penyajian ini lazim disebut/dibuat untuk kenduri dan atau perayaan/ritual suatu kejadian, waktu dan atau tujuan tertentu sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan dialasi daun pisang.

Dalam perkembangannya tumpeng telah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sejak manusia belum lahir, kelahiran, kehidupan sehari-hari dan bahkan sampai setelah kematiannya sekalipun, bukan hanya sebagai manusia secara pribadi tetapi juga secara komunal maupun institusi.

Lauk Pauk dalam Tumpeng
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengertian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali.

Ragam dan Macam Tumpeng
Ragam dan Macam Tumpeng sangat tergantung kepada Sosial, Budaya, Komunitas serta Tujuan pembuatan Tumpeng sehingga Ragam, Macam dan Penamaan Tumpeng berkembang sesuai dengan perkembangan Sosial, Budaya, Komunitas dan Tujuan dari pembuatan Tumpeng itu sendiri.

Berikut adalah beberapa Ragam, Macam dan Nama Tumpeng yang dikenal dalam masyarakat Umum:
Tumpeng Robyong, Tumpeng Nujuh Bulan, Tumpeng Pungkur, Tumpeng Putih, Tumpeng Nasi Kuning, Tumpeng Nasi Uduk, Tumpeng manik,  Tumpeng Utup-Utup, Tumpeng Grontol, Tumpeng Candi Murup, Tumpeng Ketan Oran, Tumpeng Kendit, Tumpeng Besengek, Tumpeng Candi Sewu, Tumpeng Klambi Mas.

Tumpeng dan Filosofinya dalam Persaudaraan Setia Hati Terate
Dalam berbagai acara dan ritual, Persaudaraan Setia Hati Terate juga menggunakan Tumpeng sebagai sajian dan hidangan bagi yang turut dan dalam menghadiri kegiatan-kegiatan SH Terate sebagai bagian dari dan untuk Uri-uri (melestarikan) budaya bangsa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar