Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Rabu, 23 November 2016

Peningkatan Kualitas Kepemimpinan Kepala Desa.


Upaya peningkatan kinerja Pemerintah Desa merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan guna dapat mewujudkan kualitas pelayanan publik, yang dimaksudkan untuk melestarikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahnya. Bagi aparat pemerintah desa perlu memahami dengan pasti apa perannya dalam pelayanan publik, bagaimana mewujudkan kualitas layanan yang memuaskan bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan publik, dan bagaimana seharusnya aparat pemerintah desa akan mampu melayani dengan baik.

Keberhasilan Pemerintah Desa ditandai dengan keberhasilan para penyelenggara pemerintah desa termasuk aparat pemerintah desa dalam pelaksanaan tanggungjawabnya yang esensinya adalah sebagai penyelenggaraan fungsi pelayanan.

Salah satu sorotan yang menghambat kinerja pelayanan publik di daerah pedesaan disebabkan karena kurangnya pemahaman dan kesadaran aparat pemerintah desa terhadap bidang pelayanan tersebut antara lain rendahnya kualitas aparat sehingga mempengaruhi sistem pelayanan yang maksimal. Sistem pelayanan yang maksimal dapat terukur dan teraplikasikan dengan baik apabila didukung dengan perangkat sebagai pelaksana yang mampu memahami tugas-tugasnya.

Banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah desa dalam proses pelayanan antara lain keluhan masyarakat dengan cara pelayanan yang diberikan oleh aparat pemerintah desa mulai dari system pelayanan yang sangat lamban, biaya administrasi yang berlebihan, tidak transparan, tidak tepat waktu, memberi janji yang tidak pasti, mengutamakan sistem pelayanan yang tidak sesuai seperti sistem antrian lebih mengutamakan teman sejawat, saudara, atau karena faktor tertentu seperti ada uang pelicin. Cara pemberian pelayanan seperti ini turut menghambat kinerja pelayanan, sehingga target yang dicapai dalam kinerja pelayanan publik kurang maksimal.

Rendahnya kinerja pelayanan publik ada hubungannya dengan tingkat pengetahuan aparat Desa terhadap kegiatan pelayanan, rendahnya disiplin kerja serta kurangnya kesadaran dan tanggungjawab dalam melaksanakan tugas. Pemberdayaan aparat pemerintah Desa akan bertumpu pada kemampuan mengelola potensi sumberdaya atau modal social masyarakat secara optimal.

Salah satu unsur kekuatan efektif di dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah pedesaan akan tergantung pada efektifitas kepemimpinan Kepala Desa. Sebab Kepala Desa sebagai unsur dari aparat pemerintah desa juga melekat padanya sebagai seorang pemimpin yang memiliki tugas dan tanggungjawab yang cukup besar. Karena itu Kepala Desa memiliki posisi yang sangat strategis di dalam masyarakat. Kepala Desa di samping sebagai pemimpin juga memiliki fungsi sebagai seorang manager tentu dituntut harus memiliki kapasitas, kapabilitas, proaktif, memiliki kemampuan untuk mengatur suatu organisasi. Organisasi pemerintahan desa dapat berfungsi manakala seorang Kepala Desa memiliki kemampuan untuk mengatur dan memiliki kemampuan menjalankan pola kepemimpinannya dengan baik.

Inti dari keberhasilan Kepala Desa dalam menjalankan kepemimpinannya akan tergantung pada integritas para perangkat desa dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan masyarakat serta dukungan dari seluruh lapisan masyarakat itu sendiri. Karena tanpa adanya dukungan dari masyarakat, maka Kepala Desa tidak akan dapat menjalankan program-programnya secara optimal.

Seorang Kepala Desa tentu juga harus memiliki kemampuan antara lain:
1. Mampu membangkitkan kepercayaan masyarakat dan loyalitas aparatur pemerintah desa terhadap pelayanan publik.
2. Seorang Kepala Desa juga harus memiliki kemampuan dalam memberdayakan berbagai potensi yang dimiliki masyarakat serta memberikan motivasi kepada seluruh lapisan masyarakatnya.

Semoga Bermanfaat.

#SalamPersaudaraan

Senin, 21 November 2016

Pengertian Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah

Fardhu adalah kata dari bahasa Arab. Fardhu artinya adalah apa yang Pembuat Hukum haruskan untuk dikerjakan dan yang sifat wajibnya dibuktikan dengan bukti yang definitif.
Kewajiban yang dituntut oleh Allah kepada manusia ada dua macam; kewajiban individual dan kolektif. Macam yang pertama disebut dengan Fardlu ‘Ain dan yang kedua disebut dengan Fardlu Kifāyah.
Dua macam ini merupakan pembagian hukum wajib dilihat dari segi siapa yang dikenai tuntutan untuk mengerjakannya.

Perbuatan yang Fardlu ‘ain adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada tiap-tiap orang mukallaf agar dikerjakan. Setiap orang mukallaf dibebani perbuatan tersebut tanpa bisa digantikan oleh yang lain. Termasuk kategori perbuatan ini adalah mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan lain sebagainya.

Sedangkan perbuatan yang fardlu kifayah adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada orang-orang mukallaf secara kolektif. Artinya, jika ada salah seorang yang mengerjakan perbuatan tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika sama sekali tidak ada yang mengerjakan, maka berdosalah seluruhnya. Termasuk kategori perbuatan ini adalah merawat mayyit (tajhīz al-mayyit), melaksanakan jihad, melakukan amar makruf nahi mungkar, membangun sekolah atau rumah sakit, menjabat sebagai presiden, dan lain sebagainya.

Apa yang membedakan antara perbuatan yang fardlu ‘ain dan fardlu kifayah?
Pertama, dari sisi kepada siapa perintah perbuatan tersebut ditujukan. Perintah untuk melaksanakan perbuatan yang fardlu ‘ain ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf (al-kully al-afrādy). Perintah Allah kepada manusia untuk melakukan shalat lima waktu, misalnya, ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf. Setiap orang mukallaf dibebani untuk melaksanakannya tanpa bisa digantikan oleh yang lain. Sedangkan perintah untuk melaksanakan perbuatan yang fardlu kifayah tidak ditujukan kepada masing-masing orang mukallaf, melainkan keseluruhannya (al-kully al-majmū’iy/al-hai’ah al-ijtimā’iyah).

Perintah syariat agar ada pemimpin bagi suatu daerah tidak ditujukan kepada tiap-tiap orang yang ada di daerah tersebut, melainkan secara keseluruhan. Artinya, tidak setiap orang di daerah tersebut harus menjadi pemimpin. Jika ada salah seorang di antara mereka yang dipilih menjadi pemimpin, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.
Namun demikian, sebenarnya ulama berdebat mengenai kepada siapa tuntutan untuk melakukan perbuatan fardlu kifayah. Dalam contoh kewajiban merawat mayyit, misalnya, kepada siapa tuntutan kewajiban untuk melaksanakannya ditujukan?

Pertama, tuntutan kewajiban itu ditujukan kepada sebagian orang saja. Sebagian orang ini adalah mereka yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakan perbuatan tersebut. Jadi, yang dikenai kewajiban untuk merawat mayyit, misalnya, adalah orang yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakannya. Jika ia menduga sudah ada orang lain yang mengerjakan, maka ia tidak dikenai kewajiban. Soal siapa sebagian itu, pendapat ini masih terbelah menjadi tiga kubu. Ada yang mengatakan bahwa sebagian itu tidak tertentu atau mubham.
Ada pula yang mengatakan bahwa yang sebagian itu sudah ditentukan oleh Allah. Sedangkan yang lain menyatakan bahwa yang sebagian itu adalah orang yang telah melaksanakannya. Kelompok ini beralasan, perintah-perintah syariat yang menuntut untuk melakukan perbuatan fardlu kifayah tidak ditujukan kepada seluruh manusia, melainkan sebagian saja. 
Sebagaimana firman Allah,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imrān [3]: 104)

Ayat di atas menuntut pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Tuntutan kewajiban yang ada pada ayat tersebut ditujukan kepada sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya kata مِنْكُمْ . Kata min tersebut memberi pengertian tab’īdl, yaitu sebagian. Di samping itu, kelompok ini juga beralasan, oleh karena kewajiban fardlu kifayah ini gugur jika ada sebagian orang yang mengerjakannya maka yang wajib mengerjakan hanya sebagian saja.

Kedua, kewajiban itu adalah untuk tiap-tiap orang (al-kully al-afrādy) sebagaimana fardlu ‘ain, namun gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Pendapat ini berargumen dengan dua alasan: Pertama, perintah yang menuntut untuk melakukan perbuatan yang fardlu kifayah seringkali berbentuk umum. Sebagaimana firman Allah,
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190)
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190)

Perbuatan jihad yang diperintahkan oleh ayat di atas adalah perbuatan fardlu kifayah. Perintah dalam ayat tersebut bersifat umum, mencakup kepada tiap-tiap orang mukallaf. Di samping itu, argumen kedua dari kelompok ini adalah, bahwa apabila perintah untuk melaksanakan perbuatan fardlu kifayah diabaikan, maka semua orang berdosa. Ini menunjukkan, bahwa kewajiban untuk melakukan perbuatan yang fardlu kifayah ditujukan kepada setiap orang mukallaf.

Ketiga, kewajiban itu ditujukan kepada keseluruhan orang mukallaf (al-kully al-majmū’iy/al-ha’iah al-ijtimā’iyah) dan gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Mengapa demikian? sebab jika kewajiban itu ditujukan kepada tiap-tiap orang sebagaimana pendapat sebelumnya, berarti itu sama dengan menghapus kewajiban yang telah ditetapkan. Menghapus kewajiban itu hanya bisa dilakukan dengan dalil yang menghapus (nasakh) kewajiban tersebut. Sedangkan kewajiban fardlu kifayah ini sama sekali bukan menasakh suatu kewajiban.

Ketiga pendapat di atas memiliki argumen yang kuat dan benar menurut masing-masing. Namun demikian, semuanya sepakat, bahwa perbuatan fardlu kifayah, apabila dikerjakan oleh sebagian orang  maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Dan jika tidak ada seorang pun yang mengerjakannya, maka berdosalah seluruhnya.

Perbedaan fardlu ‘ain dan fardlu kifayah yang kedua adalah, dalam perbuatan yang fardlu ‘ain, ada dua hal yang diperhatikan, yaitu siapa yang mengerjakan dan ketercapaian maksud perbuatannya. Sedangkan dalam fardlu kifayah, siapa yang mengerjakan tidak menjadi perhatian utama, yang penting maksud dari perbuatan yang diperintahkan bisa tercapai. Perbedaan ini dapat dilihat dari pengertian, bahwa fardlu kifayah adalah,
مُهِمٌ يُقْصَدُ حُصُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ نَظْرٍ بِالذّاتِ اِلى فَاعِلِهِ
“Perbuatan penting yang ingin dicapai (tujuannya) tanpa memperhatikan secara terutama terhadap pelakunya.”

Membangun rumah sakit di sebuah daerah, misalnya, adalah perbuatan yang fardlu kifayah. Tujuannya adalah agar orang-orang dapat berobat ketika sakit. Untuk mencapai tujuan ini, tidak menjadi soal utama siapa yang mengerjakannya. Yang penting tujuan bisa tercapai. Berbeda dengan shalat lima waktu. Tujuannya adalah tercapainya kekhusyu’an sebagai bentuk ketundukan dan ketakwaan kepada Allah. Dalam shalat ini, siapa pelakunya menjadi perhatian utama.
Perbedaan yang ketiga adalah dari sisi maslahat yang dicapai. Maslahat yang dicapai dalam mengerjakan perbuatan fardlu ‘ain bersifat individual, artinya, ketika perbuatan tersebut dikerjakan, yang selamat dari dosa hanyalah orang yang mengerjakannya saja. Berbeda dengan perbuatan fardlu kifayah, yang selamat dari dosa tidak hanya orang yang mengerjakan saja. 

Dari sini, muncul perdebatan di kalangan pakar ushul fiqh, soal lebih utama mana antara fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Sebagian mengatakan lebih utama fardlu ‘ain, sebab dari saking pentingnya, syariat mewajibkan kepada setiap orang mukallaf untuk mengerjakannya. Sementara sebagian yang lain mengatakan lebih utama fardlu kifayah, sebab jika perintahnya dilaksanakan oleh sebagian orang, itu bisa menyelamatkan sebagian lain yang tidak megerjakan dari dosa.

Selanjutnya, perbuatan yang fardlu kifayah dapat berubah menjadi fardlu ‘ain. Hal tersebut disebabkan oleh dua hal:
Pertama, ketika yang mampu melaksanakan perbuatan fardlu kifayah hanya satu orang. Misalnya, jika ada orang tenggelam, dan hanya seorang yang mampu menyelamatkannya, maka ia hukumnya fardlu ‘ain untuk menyelamatkan orang yang tenggelam itu.
Kedua, ketika perbuatan fardlu kifayah itu telah dikerjakan. Jika telah mengerjakan perbuatan yang fardlu kifayah, maka itu sama dengan fardlu ‘ain, artinya sama-sama harus diselesaikan.

Di samping fardlu ‘ain dan fardlu kifayah, ada juga yang disebut dengan sunnah ‘ain dan sunnah kifayah. Perbedaannya dengan fardlu adalah ketegasan perintahnya. Jika perintah fardlu ‘ain dan kifayah bersifat tegas, sementara sunnah ‘ain dan sunnah kifayah bersifat tidak tegas. Perbuatan sunnah ‘ain seperti shalat dhuha. Sedangkan perbuatan yang sunnah kifayah seperti mendo'akan orang yang bersin (tasymīt).  
Wallahu a’lamu bisshowab

Semoga Bermanfaat

4 Pemahaman Yang Salah Kaprah Atas Islam

Islam adalah agama yang Rahmatan Lil-Alamin.

Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat tentang ini secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya.



Diantaranya pemahaman tersebut adalah:

1. Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata:

"Islam kan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang."

Sungguh aneh....

Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini.
Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, "Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah SAW. Beliau Rasulullah SAW memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah."

Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah.

Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.

Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه . ولا ينزع من شيء إلا شانه

"Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya."
(HR. Muslim no. 2594)

2. Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

"Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta."
(QS. Al Anbiya: 107)

Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu.

Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.

Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadalah: 22)

Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan pemahaman yang menyimpang.

Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

"Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam."

(QS. Al Imran: 19)


Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."  (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan "Islam" dalam ayat-ayat ini dengan "berserah diri". Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka.

Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

"Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya."
(HR. Muslim no.8)

Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adalah bantahan telak terhadap pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu "lil 'alamiin", diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi.

Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.
Wallahu A'lamu Bishshowab
Semoga Bermanfaat

Kamis, 17 November 2016

Pahlawan Nasional

1. Pahlawan Nasional Aceh
Achmad Soebardjo, pejuang kemerdekaan Indonesia, menteri luar negeri
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 – meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.

Cut Nyak Dhien, pejuang perang Aceh
 
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.

Cut Nyak Meutia, pejuang perang Aceh
Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.

Iskandar Muda, Sultan Aceh
Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590 – Banda Aceh, Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, di mana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Namanya kini diabadikan di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh.

Panglima Polem, pejuang perang Aceh
Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud adalah seorang panglima Aceh. Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima Polem, yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar.

Teuku Muhammad Hasan, pejuang kemerdekaan Indonesia, gubernur Sumatera
Teuku Muhammad Hasan adalah Gubernur Wilayah Sumatera Pertama setelah Indonesia merdeka, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga tahun 1949 dalam Kabinet Darurat. Selain itu ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Teuku Nyak Arif, pejuang kemerdekaan Indonesia, gubernur Aceh pertama
Teuku Nyak Arif adalah Pahlawan Nasional Indonesia. Ia juga merupakan Residen/Gubernur Aceh yang pertama periode 1945–1946. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh.

Teuku Umar, pejuang perang Aceh

Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan Belanda. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.

Teungku Chik di Tiro, pejuang perang Aceh
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh.

2. Pahlawan Nasional Bali 

I Gusti Ngurah Rai - kolonel (anumerta), Pahlawan Nasional Indonesia

Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan, Bali, Indonesia, 20 November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.
I Gusti Ketut Pudja - gubernur Sunda Kecil, Pahlawan Nasional Indonesia
Ide Anak Agung Gde Agung - menteri Indonesia, Pahlawan Nasional Indonesia
Untung Suropati - Pahlawan Nasional Indonesia


I Gusti Ketut Pudja

I Gusti Ketut Pudja (lahir 19 Mei 1908 – meninggal 4 Mei 1977 pada umur 68 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia. Ia ikut serta dalam perumusan negara Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili Sunda Kecil (saat ini Bali dan Nusa Tenggara).

I Gusti Ketut Pudja juga hadir dalam perumusan naskah teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Ia kemudian diangkat Soekarno sebagai Gubernur Sunda Kecil.Pada tahun 2011, I Gusti Ketut Pudja ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional bersama 6 orang lainnya
 
Ida Anak Agung Gde Agung


Dr. Ida Anak Agung Gde Agung (lahir di Gianyar, Bali, 24 Juli 1921 – meninggal 22 April 1999 pada umur 77 tahun) adalah ahli sejarah dan tokoh politik Indonesia. Di Bali ia juga berposisi sebagai raja Gianyar, menggantikan ayahnya Anak Agung Ngurah Agung. Anaknya, Anak Agung Gde Agung, adalah Menteri Masalah-masalah Kemasyarakatan pada Kabinet Persatuan Nasional.

Untung Suropati

Untung Surapati (Bahasa Jawa: Untung Suropati) (terlahir Surawiroaji, lahir di Bali, 1660 – meninggal dunia di Bangil, Jawa Timur, 5 Desember 1706 pada umur 45/46 tahun) adalah seorang tokoh dalam sejarah Nusantara yang dicatat dalam Babad Tanah Jawi. Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.

Kisah Untung Surapati yang legendaris dan perjuangannya melawan kolonialisme VOC di Pulau Jawa membuatnya dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

3. Pahlawan Nasional Banten

Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

MR. Syafrudin Prawiranegara 

Mr. Syafruddin Prawiranegara lahir di Serang Banten pada tanggal 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun, adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Syafruddin Prawiranegara telah berhasil menyelamatkan eksistensi Republik Indonesia pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua. Ketika Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta serta sebagian pejabat negara ditawan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, Syafruddin yang saat itu menjabat Menteri Kemakmuran sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Bersama dengan Teuku Muhammad Hasan dan Kolonel Hidayat, ia mengambil inisiatif untuk membentuk Pemerintahan Darurat.

4. Pahlawan Nasional Bengkulu

Hj. Fatmawati Soekarno
Ayah bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadijah, keduanya  merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ayahnya merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Beliau adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno (menikah 01-06-1943). Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Prof. Dr. Hazairin


 
Prof. Dr. Hazairin (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 28 November 1906 – meninggal di Jakarta, 11 Desember 1975 pada umur 69 tahun) adalah seorang pakar hukum adat. Ia menjabat Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I.

5.  Pahlawan Nasional Gorontalo
 
Nani Wartabone


Nani Wartabone, (lahir 30 Januari 1907 – meninggal di Suwawa, Gorontalo, 3 Januari 1986 pada umur 78 tahun), yang dianugerahi gelar "Pahlawan Nasional Indonesia" pada tahun 2003, adalah putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi Gorontalo. Perjuangannya dimulai ketika ia mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Gorontalo



6.  Pahlawan Nasional Jakarta

Ismail Marzuki
 
Ismail Marzuki (lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914 – meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, 25 Mei 1958 pada umur 44 tahun) adalah salah seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat.

Mohammad Husni Thamrin

Mohammad Husni Thamrin (lahir di Weltevreden, Batavia, 16 Februari 1894 – meninggal di Senen, Batavia, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia.

Kiai Haji Noer Alie

Kiai Haji Noer Alie (lahir di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 15 Juli 1914; meninggal di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 29 Januari 1992) Adalah pahlawan nasional Indonesia Dengan SK Presiden : Keppres No. 085/TK/2006, Tgl. 3 November 2006, beliau berasal dari Jawa Barat dan juga seorang ulama.Ia adalah putera dari Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Ia mendapatkan pendidika agama dari beberapa guru agama di sekitar Bekasi. Pada tahun 1934, ia menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di Mekkah dan selama 6 tahun bermukim di sana.


7.  Pahlawan Nasional Jambi
 
Thaha Syaifuddin

Sultan Thaha Syaifuddin (Jambi, 1816 - Betung, 26 April 1904) adalah seorang sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Dilahirkan di Keraton Tanah pilih Jambi pada pertengahan tahun 1816. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.

8.  Pahlawan Nasional Jawa Barat
Raden Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Dewi Sartika adalah puteri dari suami-istri Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Waktu menjadi patih di Bandung, Somanegara pernah menentang Pemerintah Hindia-Belanda. Karena itu istrinya dibuang di Ternate. Dewi Sartika dititipkan pada pamannya, Patih Arya Cicalengka.

Djoeanda Kartawidjaja


Ir. Raden Haji Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.

Iwa Koesoemasoemantri

Iwa Koesoemasoemantri (lahir di Ciamis, 31 Mei 1899 – meninggal 27 November 1971 pada umur 72 tahun) atau Iwa Kusumasumantri (Ejaan Soewandi), adalah seorang politikus Indonesia. Iwa lulus dari sekolah hukum di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan Belanda sebelum menghabiskan waktu di sebuah sekolah di Uni Soviet.

Oto Iskandar di Nata

Raden Otto Iskandardinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.

Mr. Syafruddin Prawiranegara
 
Mr. Syafruddin Prawiranegara atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri dan pernah menjabat sebagai Ketua (setingkat presiden) Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia menerima mandat dari presiden Sukarno ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribukota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.[1][2][3] Ia kemudian menjadi Perdana Menteri bagi kabinet tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah tahun 1958.

9.  Pahlawan Nasional Jawa Tengah

Soedirman 
 
Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam.

Nyi Ageng Serang
 
Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, 1752 - Yogyakarta, 1828) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.

Kartini
 
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Yos Sudarso
 
 
Laksamana Madya TNI (Ant) Yosaphat Soedarso (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 24 November 1925 – meninggal di Laut Aru, 15 Januari 1962 pada umur 36 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia gugur di atas KRI Macan Tutul dalam peristiwa pertempuran Laut Aru setelah ditembak oleh kapal patroli Hr. Ms. Eversten milik armada Belanda pada masa kampanye Trikora. Namanya kini diabadikan menjadi nama KRI dan pulau.

Soepomo

Prof. Mr. Dr. Soepomo (Ejaan Soewandi: Supomo; lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 – meninggal di Jakarta, 12 September 1958 pada umur 55 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Soekarno

Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.


10.  Pahlawan Nasional Jawa Timur

Soetomo

Dr. Soetomo (lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 30 Mei 1938 pada umur 49 tahun) adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.

Soeroso

Raden Pandji Soeroso (EYD: Suroso, lahir di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, 3 November 1893 – meninggal di Indonesia, 16 Mei 1981 pada umur 87 tahun) adalah mantan Gubernur Jawa Tengah, mantan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan mantan anggota BPUPKI/PPKI. Ia juga bertugas sebagai wakil ketua BPUPKI yang dipimpin oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat.


Sutomo
 
Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun) lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Wahid Hasjim


Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 – meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng, Jombang

Hasjim Asy'ari


Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari (lahir di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 10 April 1875 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun; 4 Jumadil Awwal 1292 H- 6 Ramadhan 1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia


11.  Pahlawan Nasional Kalimantan Barat

Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan

Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan (lahir: Sintang, Kalimantan Barat, 1771 - wafat: Tanjung Suka Dua, Melawi, 1875) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Melawi. Pada tahun 1845, ia diangkat sebagai Kepala Pemerintahan Melawi yang merupakan bagian dari Kerajaan Sintang. Sebagai pejabat kerajaan ai mendapat gelar Raden temenggung. Ia berhasil mengembangkan potensi perekonomian wilayah ini dan mempersatukan suku Dayak dengan Melayu.

 12.  Pahlawan Nasional Kalimantan Selatan

Hasan Basry 

Brigjen Hasan Basry (lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 17 Juni 1923 – meninggal di Jakarta, 15 Juli 1984 pada umur 61 tahun) adalah seorang tokoh militer dan Pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Simpang Empat, Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001

13.  Pahlawan Nasional Kalimantan Tengah

Tjilik Riwut


Marsekal Pertama TNI (Anumerta) Tjilik Riwut (lahir di Kasongan, 2 Februari 1918 – meninggal di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia dan Gubernur Kalimantan Tengah.


14.  Pahlawan Nasional Kalimantan Timur

Sultan Aji Muhammad Idris

Sultan Aji Muhammad Idris adalah Sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang memerintah mulai tahun 1735 hingga tahun 1778. Sultan Aji Muhammad Idris adalah sultan pertama yang menggunakan nama Islam semenjak masuknya agama Islam di Kesultanan Kutai Kartanegara pada abad ke-17.

15.  Pahlawan Nasional Kalimantan Utara
Not Found
16.  Pahlawan Nasional Kepulauan Bangka Belitung
Not Found
 
17.  Pahlawan Nasional Kepulauan Riau

Raja Haji Fisabilillah

Raja Haji Fisabilillah (lahir di Kota Lama, Ulusungai, Riau, 1725 – meninggal di Kampung Ketapang, Melaka, Malaysia, 18 Juni 1784) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Pulau Penyengat Inderasakti, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Raja Haji Fisabililah merupakan adik dari Sultan Selangor pertama, Sultan Salehuddin dan paman sultan Selangor kedua, Sultan Ibrahim. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.



18.  Pahlawan Nasional Lampung

Radin Inten II

Radin Inten II (Lampung, 1834 - Lampung, 5 Oktober 1858) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai sebuah Bandara Radin Inten II dan perguruan tinggi IAIN Raden Intan di Lampung. Berdasarkan penelitian, Radin Inten II gelar Kesuma Ratu masih keturunan Fatahillah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam, seorang putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung, cikal-bakal pemegang kekuasaan di keratuan tersebut.

19. Pahlawan Nasional Maluku

Pattimura

Pattimura (Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.

20. Pahlawan Nasional Maluku Utara

Nuku Muhammad Amiruddin

Muhammad Amiruddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Nuku (Soasiu, Tidore, 1738 - Tidore, 14 November 1805) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dia merupakan sultan dari Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada tanggal 13 April 1779, dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”.

21. Pahlawan Nasional Nusa Tenggara Barat
Not Found
 
 
22. Pahlawan Nasional Nusa Tenggara Timur

 Herman Johannes

Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, sering juga ditulis sebagai Herman Yohannes atau Herman Yohanes (lahir di Rote, NTT, 28 Mei 1912 – meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 1992 pada umur 80 tahun) adalah cendekiawan, politikus, ilmuwan Indonesia, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia pernah menjabat Rektor UGM (1961-1966), Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti) tahun 1966-1979, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI (1968-1978), dan Menteri Pekerjaan Umum (1950-1951). 


23. Pahlawan Nasional Papua

Frans Kaisiepo 

Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura, Papua, 10 April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua.


24. Pahlawan Nasional Papua Barat

Silas Papare


Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Desember 1918 di Serui, Irian Jaya. Ia telah berjuang untuk mempengaruhi masyarakat agar bersatu merebut kembali tanah Papua dari tangan penjajah dan telah bergabung dalam Batalyon Papua pada bulan Desember 1945 untuk melancarkan pemberontakan terhadap Belanda yang menjajah tanah Papua. Pada bulan Nopember 1946, ia membentuk Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII), kemudian pada bulan Oktober 1949, ia juga membentuk Badan Perjuangan Irian (BPI) dengan tujuan untuk membantu pemerintah Indonesia membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda sekaligus menyatukannya dengan NKRI.

25. Pahlawan Nasional Riau

Tuanku Tambusai

Tuanku Tambusai (lahir di Tambusai, Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784 – meninggal di Negeri Sembilan, Malaya Briania, 12 November 1882 pada umur 98 tahun) adalah salah seorang tokoh Paderi terkemuka.

26. Pahlawan Nasional Sulawesi Barat
Not Found
 
 
27. Pahlawan Nasional Sulawesi Selatan

Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-15 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973. Nominal seratus repes


28. Pahlawan Nasional Sulawesi Tengah
Not Found
29. Pahlawan Nasional Sulawesi Tenggara
Not Found
 
 
30. Pahlawan Nasional Sulawesi Utara

Robert Wolter Monginsidi

Robert Wolter Monginsidi (lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925 – meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5 September 1949 pada umur 24 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia. 

31. Pahlawan Nasional Sumatera Barat

 TUANKU IMAM BONJOL

Wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
SK Pres: 087/TK/1973 bertanggal 6-11-1973

DR.H.MOHAMMAD HATTA

Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

PROF.DR.BUYA HAMKA / Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

32. Pahlawan Nasional Sumatera Selatan

Sultan Mahmud Badaruddin II

Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 September 1852) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.


33. Pahlawan Nasional Sumatera Utara

K.H. Zainul Arifin

Zainul Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan (lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909 – meninggal di Jakarta, 2 Maret 1963 pada umur 53 tahun) adalah seorang wakil perdana menteri Indonesia, ketua DPR-GR, dan politisi Nahdlatul Ulama (NU).

34. Pahlawan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta

K.H. Ahmad Dahlan


Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.