Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Selasa, 21 November 2017

Tiga Jenis Rukun Di Dalam Sholat

Ada tiga jenis Rukun di dalam sholat yang dapat kita ambil sebagai hikmah...
Di dalam sholat ada yang namanya,
~ Rukun qolbi (yaitu rukun yang dilakukan dengan hati),
~ Rukun qouli (yaitu rukun yang dilakukan dengan lisan)
~ Rukun fi'li (yaitu rukun yang dilakukan dengan perbuatan)
Contoh "Niat":
~ Rukun qolbi yaitu dengan menghadirkan niat di dalam hati,
~ Rukun qouli yaitu dengan mengucapkan niat atas apa yang akan dilakukan, dan
~ Rukun fi'li yaitu dengan melakukan beberapa perbuatan yang menjadi syarat untuk melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana yang telah diniatkan.

Jika semua itu kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari hari dengan niat yang baik, ucapan yang baik, dan disertai dengan perbuatan yang baik, Insya Allah akan mendapatkan hasil yang baik pula...

Selasa, 14 November 2017

Peringatan Rebo Wekasan dalam pandangan Islam

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

APA ARTI ARBA’ MUSTAMIR

Arba dari Arbi’a yang artinya hari Rabu, Mustamir artinya membawa sial atau keburukan.

(*) Penjelasan :
(Dikutip Dari Tanya Jawab “Rebo Wekasan Bukan Dari Syariat Islam” bersama Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Di BB Grup Majlis Hadits)

Bismillah.
Peringatan Rabu atau Rebo Wekasan yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini dan negeri-negeri lainnya pada hari Rabu pekan terakhir dari bulan Shafar adalah peringatan (perayaan) yang tidak ada tuntunannya dalam ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.

Demikian pula do’a-do’a yang dibaca pada waktu tersebut dalam rangka menolak bala’ (bahaya) yang mereka yakini bahwa pada hari Rabu pekan terakhir dari bulan Shafar Allah menurunkan 320 ribu bencana dan musibah, maka do’a-do'a tersebut tidak benar datangnya dari Nabi Muhammad Saw.

Di samping itu, pada hari Rebo Wekasan terdapat sejumlah amalan-amalan khusus yang dianjurkan untuk diamalkan seperti sedekah, sholat sunnah, bacaan wirid dan dzikir-dzikir tertentu yang diada-adakan dalam agama Islam. Padahal Allah & Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan itu semua secara khusus pada hari Rebo Wekasan tersebut.

Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kita semua untuk menjauhinya dan memperingatkan keluarga dan saudara-saudara Muslim kita agar tidak ikut-ikutan memperingatinya. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Saw.

Semoga bermanfaat

Kamis, 09 November 2017

Naga Puspa

Cakar Nogo Kinurat Papat Hanawut Angkoso.
Petit Nogo Kinurat Papat Pusoko Rinanggo Madyo.
Rajah Nogo Kinurat Papat, Sifat Papat Minangko Roso Jalmo.

Selasa, 07 November 2017

Ayat Mubahalah

Alhamdulillah
Pertama:
Mubahalah adalah saling melaknat, maksudnya adalah suatu kaum berkumpul pada saat terjadi perbedaan di antara mereka, dengan mengatakan: “Semoga laknat Allah menimpa orang dzalim di antara kita”. (Baca: an Nihayah fi Gharibil Atsar: 1/439)

Ayat tentang mubahalah adalah:

ﺇِﻥَّ ﻣَﺜَﻞَ ﻋِﻴﺴَﻰ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﻤَﺜَﻞِ ﺁَﺩَﻡَ ﺧَﻠَﻘَﻪُ ﻣِﻦْ ﺗُﺮَﺍﺏٍ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﻛُﻦْ ﻓَﻴَﻜُﻮﻥُ * ﺍﻟْﺤَﻖُّ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻚَ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻜُﻦْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻤْﺘَﺮِﻳﻦَ * ﻓَﻤَﻦْ ﺣَﺎﺟَّﻚَ ﻓِﻴﻪِ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﻘُﻞْ ﺗَﻌَﺎﻟَﻮْﺍ ﻧَﺪْﻉُ ﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻧَﺎ ﻭَﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀَﻧَﺎ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﺃَﻧْﻔُﺴَﻨَﺎ ﻭَﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻧَﺒْﺘَﻬِﻞْ ﻓَﻨَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻌْﻨَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺑِﻴﻦَ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ: 59-61 )
“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la`nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”. (QS. Ali Imran 59-61)

Adapun sebab turunnya ayat ini, bahwa utusan orang nashrani dari Najran ketika mereka mendatangi Madinah mereka mendebat tentang masalah Nabi Isa ‘alaihis salam mereka mengklaim sebagaimana keyakinan mereka bahwa Isa adalah seorang Nabi dan Tuhan.
Keyakinan yang bathil tersebut terbantahkan setelah kehadiran Nabi Muhammad SAW dan menjelaskan kepada mereka yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang nyata, bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya.
Maka Allah menyuruhnya untuk bermubahalah dengan mereka.
Seraya Rasulullah SAW mengajak mereka untuk melakukan mubahalah, yaitu; agar beliau dan kuarganya –istri dan anak- anaknya- menghadiri majelis mubahalah, mereka juga menghadirkan istri dan anak- anak mereka, kemudian mereka berdoa kepada Allah –Ta’ala- agar siksa dan laknat-Nya menimpa orang-orang yang dusta.

Maka Rasulullah SAW menghadirkan Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan beliau bersabda: “Mereka adalah keluargaku”.
Maka penduduk Najran bermusyawarah di antara mereka: Apakah mereka menerima ajakan mubahalah tersebut ?
Ternyata kesimpulan mereka tidak berani menjawab ajakan mubahalah, karena mereka mengetahui bahwa jika mereka menerima ajakan tersebut mereka, istri dan anak-anak mereka akan binasa. Maka mereka meminta damai kepada Rasulullah SAW dan membayar zizyah. Dan mereka mohon pamit dan damai sampai waktu yang sudah ditentukan. Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyetujui hasil kesepakatan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir: 2/49, Tafsir as Sa’di: 1/968)

Kedua:
Syekh Islam Ibnu Taimiyah tidak memiliki pendapat tertentu tentang ayat Mubahalah, bahkan pendapat beliau dalam masalah tersebut sama dengan pendapat semua ahlus sunnah; kecuali ia telah menjelaskan beberapa pemahaman yang rancu yang menjadikan sebagian orang mengambil kisah ayat tersebut sebagai dalilnya.

Kami akan menyebutkan kesimpulan pendapat Syekh Islam tentang Mubahalah:

1. Rasulullah SAW menghadirkan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain – radhiyallahu ‘anhum- pada saat mubahalah dibenarkan menurut beberapa hadits yang shahih.
Syekh Islam berkata: “Adapun Rasulullah SAW mengikutsertakan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dalam mubahalah haditsnya shahih diriwayatkan oleh Muslim dari Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata dalam hadits yang panjang. “Ketika diturunkan ayat ini:
ﻓَﻘُﻞْ ﺗَﻌَﺎﻟَﻮْﺍ ﻧَﺪْﻉُ ﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻧَﺎ ﻭَﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻛُﻢْ ..
“Maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak-anak kamu…..”.

Rasulullah SAW mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan bersabda: “Mereka semua adalah keluargaku”. (Minhaj Sunnah as Shahihah: 7/123)

2. Tidak ada yang menunjukkan bahwa mereka (yang ditunjuk oleh Rasulullah) adalah sebaik-baik umat ini.
Ibnu Taimiyah: “Penunjukan Rasulullah tersebut tidak menunjukkan akan kepemimpinan mereka juga bukan keutamaan mereka”. (Minhaj Sunnah Nabawiyah: 7/123)
Beliau juga berkata:
“Beberapa keluarga beliau yang diajak untuk bermubahalah tidak menunjukkan bahwa mereka lebih baik dari semua para sahabat, juga tidak mewajibkan bahwa Fatimah, Hasan dan Husain lebih baik dari semua para sahabat”. (Minhaj Sunnah Nabawiyah: 7/125)

3. Yang diikutsertakan dalam mubahalah adalah orang-orang yang palin dekat secara garis keturunan, bukan yang lebih utama baginya.
Syekh Islam berkata: “Yang menyebabkan Rasulullah SAW mengajak mereka saja, karena mubahalah bisa dilakukan hanya dengan orang-orang terdekatnya, dan jika tidak maka jika mubahalah dengan orang-orang yang jauh meskipun mereka lebih utama di sisi Allah, maka bukan mereka yang dimaksud dalam mubahalah”.
Beliau juga berkata:
“Mereka (yang diajak) adalah yang terdekat nasabnya dengan Rasulullah SAW, meskipun para sahabat yang lain lebih utama menurut beliau, ia tidak diperintah untuk mengajak yang paling baik dari pengikutnya; karena tujuannya adalah agar masing-masing mengajak orang-orang yang memiliki kedudukan khusus di hatinya. Sudah menjadi tabi’at manusia akan lebih merasa takut kehilangan orang-orang yang terdekat dari keluarganya.
Dasar mubahalah adalah keadilan, mereka juga membutuhkan keluarganya yang terdekat, mereka juga akan lebih khawatir jika yang hadir adalah keluarganya. Oleh karenanya, mereka enggan untuk melakukan mubahalah karena mereka mengetahui bahwa Nabi SAW berada pada jalan kebenaran. Dan kalau jadi mubahalah misalnya, maka akibat dari mubahalah akan mereka dan keluarga alami”. (Minhaju as Sunnah an Nabawiyah: 5/45)

4. Sebab Dipilihnya Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain dalam mubahalah; karena mereka keluarga terdekat beliau pada saat itu.
Syekh Islam berkata: “Sedangkan ayat mubahalah adalah tidak menunjukkan kekhususan tertentu, akan tetapi beliau mengajak Ali, Fatimah dan kedua anaknya bukan berarti mereka sebaik-baik umat, namun mereka adalah keluarga terdekat beliau”. (Majmu’ Fatawa: 4/419)
Ia juga berkata: “Ayat mubahalah turun pada tahun kesepuluh pada saat datangnya utusan Najran. Dan tidak ada yang tersisa dari paman-paman Rasulullah SAW kecuali Abbas. Sedangkan Abbas tidak termasuk as Sabiqunal Awwalun, dan ia tidak memiliki kekhususan seperti Ali.
Sedangkan anak-anak pamannya, tidak ada yang setara dengan Ali, sedangkan Ja’far sudah terbunuh –syahid- sebelumnya di Mu’tah pada tahun ke-8, maka Ali – radhiyallahu ‘anhu- lah yang dipilih. (Minhaj Sunnah Nabawiah: 7/125)
Beliau juga berkata:
“Karena anak-anak beliau yang masih hidup pada saat itu adalah Fatimah, karena Ruqayyah, Ummu Kultsum, Zainab sudah meninggal dunia sebelumnya.
Beliau mengajak Hasan dan Husain, karena belum ada yang bisa dinisbahkan kepada beliau sebagai anak kecuali mereka berdua, untuk Ibrahim (anak beliau sendiri) meskipun ada ia masih balita tidak bisa diajak. (Minhaj Sunnah Nabawiyah: 7/129)

5. Dalam ayat mubahalah bukanlah dalil bahwa Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- yang berhak sebagai khalifah atau imam sepeninggal Rasulullah. Atau dengan dalil bahwa Allah menjadikan Ali setara derajatnya dengan Rasulullah dalam firmannya:
ﻓَﻘُﻞْ ﺗَﻌَﺎﻟَﻮْﺍ ﻧَﺪْﻉُ ﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻧَﺎ ﻭَﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀَﻧَﺎ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﺃَﻧْﻔُﺴَﻨَﺎ ﻭَﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ...
“Maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu”. (QS. Ali Imran: 61)

Bersatu dalam satu jiwa adalah perkara yang mustahil. Maka persamaan di atas adalah dalam masalah kepemimpinan secara umum.

Syekh Islam berkata: “Kami tidak sependapat jika berarti persamaan, dan tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal itu, bahkan memahami seperti itu dilarang; karena seseorang tidak ada yang menyamai Rasulullah SAW tidak juga Ali atau yang lainnya.
Redaksi ayat di atas menurut bahasa Arab tidak menunjukkan adanya persamaan, Allah berfirman dalam masalah hadits ifki (berita bohong) yang dituduhkan kepada ‘Aisyah.:
ﺇِﺫْ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻤُﻮﻩُ ﻇَﻦَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕُ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﺧَﻴْﺮًﺍ ..
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri….." (QS. an Nuur: 12)

Ayat di atas tidak ada yang mewajibkan untuk difahami bahwa orang mukminin dan mukminat sama derajatnya.

Allah telah berfirman tentang kisahnya Bani Israil :
ﻓَﺘُﻮﺑُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺑَﺎﺭِﺋِﻜُﻢْ ﻓَﺎﻗْﺘُﻠُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﺫَﻟِﻜُﻢْ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺑَﺎﺭِﺋِﻜُﻢْ
“…Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu”. (QS. al Baqarah: 54)

Yaitu; saling membunuh di antara mereka, dan tidak diwajibkan untuk difahami harus sama semuanya, juga tidak sama antara orang yang menyembah anak sapi atau yang menyembah lainnya.

Demikian juga yang dikatakan dalam firman Allah:
ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﺘُﻠُﻮﺍْ ﺃَﻧﻔُﺴَﻜُﻢْ ﴿ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ: 29 )
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu….”. (QS. al Baqarah: 29)
Maksudnya: janganlah sebagian membunuh sebagian yang lain, meskipun mereka tidak sama.
Firman Allah:
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻠْﻤِﺰُﻭﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺤﺠﺮﺍﺕ : 11)
“…dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri”. (QS. Al Hujurat: 11)
Yaitu; janganlah sebagian kalian mencela sebagian yang lain, menuduh dan menghinanya. Ini adalah larangan untuk semua orang yang beriman, padahal mereka derajatnya tidak sama dalam masalah hukum, keutamaan, tidaklah seorang yang dzalim sama dengan yang di dzalimi, tidaklah pemimpin sama dengan yang dipimpin.

Redaksi di atas menunjukkan adanya kemiripan dan serupa saja, namun tidak sama. kemiripan berarti ada kesamaan pada bagian tertentu saja, seperti kesamaan dalam keimanan. (Minhaj Sunnah Nabawiyah: 7/123)

Wallahu a’lam.
Semoga Bermanfaat