Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Senin, 29 Mei 2017

Syarat dan Rukun Puasa

Syarat Wajib Puasa
Syarat wajibnya puasa yaitu:
  1. islam
  2. berakal
  3. sudah baligh
  4. mengetahui akan wajibnya puasa.
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”
Wajib Berniat Sebelum Fajar
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya. Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.

Keistimewaan Bulan Romadhon

Keistimewaan Bulan Ramadhan

Sesungguhnya Allah Ta’ala mengkhususkan bulan Ramadhan di antara bulan-bulan lainnya dengan keutamaan yang agung dan keistimewaan yang banyak. Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Di dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala menyebutkan dua keistimewaan bulan Ramadhan yang agung, yaitu:

Keistimewaan pertama, diturunkannya Al-Qur’an di dalam bulan Ramadhan sebagai petunjuk bagi manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dengan kitab ini, Allah memperlihatkan kepada mereka kebenaran (al-haq) dari kebatilan. Kitab yang di dalamnya terkandung kemaslahatan (kebaikan) dan kebahagiaan (kemenangan) bagi umat manusia, serta keselamatan di dunia dan di akhirat.

Keistimewaan ke dua, diwajibkannya berpuasa di bulan tersebut kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Allah Ta’ala memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya (yang artinya),” Karena itu, barangsiapa d antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, di antara kewajiban yang Allah Ta’ala wajibkan, dan telah diketahui dengan pasti bahwa puasa Ramadhan adalah bagian dari agama, serta berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Barangsiapa yang mengingkarinya (kewajiban puasa Ramadhan), maka dia telah kafir.

Barangsiapa yang berada di negeri tempat tinggalnya (mukim atau tidak bepergian) dan sehat, maka wajib menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya),” Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) Dan barangsiapa yang bepergian (musafir) atau sakit, maka wajib baginya mengganti puasa di bulan yang lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Dari sini jelaslah bahwa tidak ada keringanan untuk tidak berpuasa di bulan tersebut, baik dengan menunaikannya di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan kecuali bagi orang yang sudah tua renta atau orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Kedua kelompok tersebut tidaklah mampu berpuasa, baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan. Bagi keduanya terdapat hukum (aturan) lain yang akan datang penjelasannya, in syaa Allah.

Dan termasuk di antara keutamaan bulan Ramadhan adalah apa yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
“Jika bulan Ramadhan tiba, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu”

Hadits ini menunjukkan atas keistimewaan yang agung dari bulan yang penuh berkah ini, yaitu,
Pertama, dibukanya pintu-pintu surga di bulan Ramadhan. Hal ini karena banyaknya amal shalih yang disyariatkan di bulan tersebut yang menyebabkan masuknya seseorang ke dalam surga. 

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. An-Nahl [16]: 32).

Kedua, ditutupnya pintu-pintu neraka di bulan ini, disebabkan oleh sedikitnya maksiat yang dapat memasukkan ke dalam neraka, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39)
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)” (QS. An-Nazi’at [79]: 37-39).

Dan juga firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (QS. Jin [72]: 23).

Ketiga, setan-setan dibelenggu di bulan Ramadhan. Setan tidak mampu untuk menggoda (menyesatkan) manusia, menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan, atau memalingkan manusia dari amal shalih, sebagaimana yang setan lakukan di selain bulan Ramadhan. Tercegahnya manusia -di bulan yang penuh berkah ini- dari melakukan berbagai hal yang keji merupakan rahmat untuk kaum muslimin, sehingga mereka pun memiliki kesempatan untuk mengerjakan berbagai amal kebaikan dan menghapus dosa-dosa mereka.
Dan termasuk dalam keutamaan bulan yang penuh berkah ini adalah dilipatgandakannya amal kebaikan di dalamnya. Diriwayatkan bahwa amalan sunnah di bulan Ramadhan memiliki pahala yang sama dengan amal wajib. Satu amal wajib yang dikerjakan di bulan ini setara dengan 70 amal wajib. Barangsiapa yang memberi buka puasa untuk seorang yang berpuasa, maka diampuni dosanya dan dibebaskan dari api neraka, dan baginya pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala oarang yang berpuasa tersebut sedikit pun.
Semua kebaikan, berkah, dan anugerah ini diberikan untuk kaum muslimin dengan datangnya bulan yang penuh berkah ini. Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin menyambut bulan ini dengan kegembiraan dan keceriaan, memuji Allah yang telah mempertemukannya (dengan bulan Ramadhan), dan meminta pertolongan kepada-Nya untuk dapat berpuasa dan mengerjakan berbagai amal shalih di bulan Ramadhan.
Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan yang agung dan mulia, bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Kami memohon kepada Allah Ta’ala untuk menganugerahkan keberkahan bulan Ramadhan kepada kami.

7 Hal Yang Membatalkan Puasa

Ada 7 hal pembatal puasa yang disepakati para ulama 4 madzhab atau berdasarkan keterangan para ulama ahli tahqiq. 
Berikut ulasan selengkapnya.
1. Makan
2. Minum
3. Hubungan badan

Dalilnya adalah firman Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..(QS. Al-Baqarah: 187).

Makan, minum, dan hubungan badan dihalalkan ketika malam hari ramadhan.
Kemudian Allah perintahkan agar kaum muslimin menyempurnakan puasa sampai malam, merupakan dalil bahwa tiga perbuatan itu dilarang ketika siang hari ramadhan.

Ibnul Mundzir mengatakan,

لم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرَّم على الصائم في نهار الصوم الرفث وهو الجماع والأكل والشرب

“Tidak terdapat perbedaan di kalangan para ulama bahwa Allah mengharamkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan rafats yaitu jimak, makan, dan minum di siang hari.” (Al-ijma’, Ibnul Mundzir, hlm. 59)

Ibnu Qudamah mengatakan,

يفطر بالأكل والشرب بالإجماع، وبدلالة الكتاب والسنة

“Orang yang berpuasa menjadi batal karena makan dan minum dengan sepakat ulama, dan berdasarkan dalil Al-Quran dan sunah.” (Al-Mughni, 3/119).

Beliau juga mengatakan,

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من جامع في الفرج فأنزل، أو لم ينزل، أو دون الفرج فأنزل، أنه يفسد صومه

“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di antara ulama bahwa orang yang melakukan hubungan badan sampai keluar mani, maupun tidak sampai keluar mani, atau di selain kemaluan kemudian keluar mani, maka puasanya batal.” (Al-Mughni, 3/134)

Pernyataan ijma juga disampaikan Syaikhul islam Ibn Taimiyah,

ما يفطر بالنصٍّ والإجماع وهو: الأكل والشرب والجماع

“Sesuatu yang bisa membatalkan puasa berdasarkan dalil dan sepakat ulama: makan, minum, dan hubungan badan.” (25/219)

4. Haid

5. Nifas

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah ketika wanita sedang haid dia tidak boleh shalat dan puasa..” (HR. Bukhari 304).

Ibnu Qudamah mengatakan,

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم، وأنهما يفطران رمضان ويقضيان، وأنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم
“Ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Mereka harus berbuka ketika ramadhan dan mengqadha di hari yang lain. Dan jika ada wanita haid dan nifas yang nekat puasa maka puasanya tidak sah.” (Al-Mughni, 3/152).

Syaikhul Islam juga menegaskan adanya ijma’,

وكذلك ثبت بالسنة واتفاق المسلمين أنّ دم الحيض ينافي الصوم، فلا تصوم الحائض، لكن تقضي الصوم

“Demikiann pula terdapat dalil sunah dan sepakat kaum muslimin, bahwa keluarnya darah haid, menyebabkan puasa batal. Karena itu, wanita haid tidak boleh puasa, namun wajib mengqadha puasanya.” (Majmu’ Fatawa, 25/220).
Di tempat lain dalam Majmu’ Fatawa, beliau juga menegaskan,

وخروج دم الحيض والنفاس يفطر باتفاق العلماء

“Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa dengan sepakat ulama.” (Majmu’ Fatawa, 25/267)

6. Murtad

Allah berfirman,

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (islam), lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217)

Ibnu Qudamah mengatakan,

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من ارتد عن الإسلام في أثناء الصوم أنه يفسد صومه، وعليه قضاء ذلك إذا عاد إلى الإسلام، سواءٌ أسلم في أثناء اليوم أو بعد انقضائه…

“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama bahwa orang yang murtad dari agama islam ketika sedang puasa maka puasanya batal, dan dia wajib mengqadha pusanya di hari itu, jika dia kembali masuk islam. Baik masuk islam di hari murtadnya atau di hari yang lain…” (Al-Mughni, 3/133)

7. Muntah dengan Sengaja

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Siapa yang muntah tidak sengaja dan dia sedang puasa maka tidak perlu dia qadha. Namun barangsiapa yang sengaja muntah maka dia harus mengqadha.” (HR. Abu Daud 2380 dan dishahihkan Al-Albani).


Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma’ mengatakan,

وأجمعوا على إبطال صوم من استقاء عامداً

“Para ulama sepakat bahwa puasa orang yang muntah dengan sengaja statusnya batal.” (Al-Ijma’, 49).
Inilah pendapat ulama 4 madzhab, hanya saja mereka berbeda pendapat tantang rincian muntah yang membatalkan puasa. Berapa ukuran muntah yang bisa menyebabkan puasa seseorang batal.
Menurut Abu Yusuf, muntah yang membatalkan adalah muntah yang ukurannya sepenuh mulut. Jika kurang dari itu, puasanya tidak batal, karena tidak dianggap muntah. (Al-Hidayah, 1/120).
Sementara dari Imam Ahmad, ada 3 riwayat yang berbeda,
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa baik sedikit maupun banyak
Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika sepenuh mulut.
Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika banyaknya setengah mulut
Riwayat pertama yang lebih kuat, berdasarkan makna umum dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.

Wallahu A'lam
Semoga Bermanfaat

Salam Persaudaraan
 

Rabu, 24 Mei 2017

Fiqih Puasa

Fiqh Puasa
Episode 1
(dari kitab kifayatul akhyar)

ﺑﺎﺏ ﻓﺮاﺋﺾ اﻟﺼﻮﻡ
(ﻭﻓﺮاﺋﺾ اﻟﺼﻮﻡ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﺷﻴﺎء اﻟﻨﻴﺔ ﻭاﻹﻣﺴﺎﻙ ﻋﻦ اﻷﻛﻞ ﻭاﻟﺸﺮﺏ ﻭاﻟﺠﻤﺎﻉ)
fardhu puasa ada 5,niat dan bertahan dari makan, minum dan jima'

ﻻ ﻳﺼﺢ اﻟﺼﻮﻡ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻨﻴﺔ ﻟﻠﺨﻴﺮ

tidak sah puasa kecuali dgn niat untuk kebaikan
.
ﻭﻣﺤﻠﻬﺎ اﻟﻘﻠﺐ
.
letak niatnya di dalam hati
.
ﻭﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ اﻟﻨﻄﻖ ﺑﻬﺎ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ
.
tdk di syaratkan adanya talaffuz (adanya ucapan dimulut yg berhuruf dan bersuara) dgn niat itu,tanpa ada khilafiyah dikalangan ulama
.
jadi nawaitu shauma godin dst... nya ckp dalam hati saja,gak perlu lg di ucapin,,kecuali untuk pemantapan di hati,bagus dilafazkan dulu baru hati menyambutnya untk meniatkannya,
.
ﻭﺗﺠﺐ اﻟﻨﻴﺔ ﻟﻜﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﻷﻥ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻣﺴﺘﻘﻠﺔ
.
wajib berniat di tiap tiap malam,karena tiap hari yg di lalui di bulan puasa adalah ibadah yang terpisah2,terpencar2,tdk menjadi satu,
.
beda hal nya dgn sholat,misalnya sholat 4 raka'at,antara raka'at dgn raka'at lainnya ada hubungan erat,ketika di raka'at ke 4 terkentut,maka batal semua raka'at,makanya 1x niat di awal raka'at sdh ckp,,
sm spt motogp, antara lap dgn lap selanjutnya ada hubungan erat,meskipun valentino rossi di sirkuit le mans sdh melalui 22 lap,tp tepat ditikungan terakhir di lap terakhir dia jatuh,maka dia dianggap gagal finis,dan gak dapat poin,maka 22 lap yg dilaluinya gak ada harganya,, (apank benafsu bnr hndk membalap vinales)
.
ﺃﻻ ﺗﺮﻯ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻔﺴﺪ ﺑﻘﻴﺔ اﻷﻳﺎﻡ ﺑﻔﺴﺎﺩ ﻳﻮﻡ ﻣﻨﻪ
.
coba kamu perhatikan:
misalnya pengantin baru yg nikah di akhir sya'ban,sdh mereka lalui puasa sehari,dst... smpy 10hari msh tahan,tiba2 di hari ke 11 udah gak tahan lg kebelet kepingin main disiang hari,
lalu rusak puasa mereka di hari yg ke 11,,
apakah puasa 10 hari yg sdh mereka lalui sebelumnya itu ikut rusak? tidak kan,,
begitu juga puasa di hari 12 dst... juga tdk rusak dgn sebab rusaknya 1 hari td,(yaitu hari ke 11)
.
ﻓﻠﻮ ﻧﻮﻯ ﺻﻮﻡ اﻟﺸﻬﺮ ﻛﻠﻪ ﺻﺢ ﻟﻪ اﻟﻴﻮﻡ اﻷﻭﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺬﻫﺐ ﻭﻳﺠﺐ ﺗﻌﻴﻴﻦ اﻟﻨﻴﺔ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ اﻟﻔﺮﺽ
.
jika penganut mazhab syafi'i ngotot mau niru mazhab maliki (tp gak ada ilmunya tentang selok belok tata cara mazhab malikinya),mereka berniat puasanya sekaligus aja satu kali di awal puasa ramadhan,"berniat nawaitu shaumas syahri kullihi an ada-i fardhi ramadhani hazihis sanah "
maka niat yg di niatkannya itu sah sah saja,tp sahnya hanya pd awal hari itu saja,hari yg kedua ketiga dst... tetap harus berniat tiap malamnya,kalau gak niat maka gak sah puasanya dan wajib qodha,
dan wajib menta'yin niatnya pd puasa fardhu,,
kalau itu ramadhan,maka ramadhannya jgn smpy gak disebut,atau puasa nazar,atau puasa kifarat zihar dll... maka wajib disebutkan nama kefardhuan puasa itu,
.
ﻭﻛﺬا ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻟﻴﻼ ﻭﻻ ﻳﻀﺮ اﻟﻨﻮﻡ ﻭاﻷﻛﻞ ﻭاﻟﺠﻤﺎﻉ ﺑﻌﺪ اﻟﻨﻴﺔ ﻭﻟﻮ ﻧﻮﻯ ﻣﻊ ﻃﻠﻮﻉ اﻟﻔﺠﺮ ﻻ ﺗﺼﺢ ﻟﻪ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺒﻴﺖ
.
begitu pula wajib berniatnya malam hari,
dan setelah melakukan niat td,tdk apa2 tidur,makan,berjima...
andainya iya berniat berbarengan dgn terbitnya fajar,maka tidak sah niat,karena dia tdk memalamkan niat itu (harusnya niatnya dilakukan wkt malam,atau msh mlm,atau fajar blm timbul,,kalau fajar sdh timbul meski sdkt,maka itu dianggap sdh siang,bkn malam lg)
.
bersambung...

Selasa, 16 Mei 2017

Tata Cara Sholat Rosulullah SAW

Tuntunan Tata Cara Sifat Shalat Rasulullah Nabi Muhammad SAW

Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, Yang Maha Suci lagi Maha Agung. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan hanya kepada-Nya pula kita memohon pertolongan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Berbagai macam ragam cara shalat yang diajarkan oleh para ulama, kyai, dai, ustadz dan muallim. Namun masih saja banyak perbedaan satu dengan lainnya. Bahkan perbedaan itu membawa perselisihan umat. Padahal sumber utama yang mengajarkan shalat itu hanya satu orang, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Jadi sudah seharusnya yang menjadi panutan itu adalah Rasulullah SAW.
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah Swt, di antara ibadah yang paling agung dalam agama Islam ialah shalat. Shalat secara bahasa artinya do’a. Adapun menurut istilah syari’at, shalat adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah Swt berupa perkataan dan perbuatan dengan tata cara tertentu, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. 

Kewajban shalat lima waktu
Shalat merupakan ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt atas seluruh hamba-Nya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
   إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa: 103),
Yakni sebanyak lima kali dalam sehari semalam yang telah diketahui oleh seluruh kaum muslimin. Nabi Muhammad Saw mengutus Mu’adz (untuk berdakwah) ke Yaman, beliau bersabda: “Ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Shalatlah sebagaimana Rasulullah mengerjakan shalat
Dalam mengerjakan shalat, kita wajib mengikuti tata cara yang diajarkan Rasulullah, baik dari segi waktu maupun tata caranya. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat.” (HR. Bukhari).

Sebelum melaksanakan shalat, seseorang wajib memenuhi syarat sahnya shalat, yaitu: mengetahui bahwa waktu shalat telah masuk, bersuci dari hadats besar dan hadats kecil, sucinya pakaian, badan dan tempat shalat, menutup aurat serta niat ikhlas karena Allah Swt. 

Menyempurnakan Wudhu
Seseorang yang hendak melakukan shalat hendaknya berwudhu

Firman Allah SWT:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah muka kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan (cucilah) kedua kaki kalian hingga kedua mata kaki." (QS. Al Maidah:6).

Dan sabda Nabi Muhammad SAW:
"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shodaqah dari hasil penipuan." (HR. Muslim). 

Berdiri menghadap kiblat dekat dengan sutrah (Penutup/pelindung/garis pembatas sajadah)
Rasulullah Saw apabila hendak mengerjakan shalat, beliau berdiri menghadap kiblat dan meletakan sutrah di dekat tempat sujud.
Berdiri merupakan salah satu rukun dalam shalat fardhu bagi yang mampu berdiri.

Allah Swt berfirman (yang artinya): “Berdirilah (mengerjakan shalat) karena Allah dengan khusyuk.” (QS. Al Baqarah : 238). 

Apabila tidak mampu berdiri, maka diperbolehkan mengerjakan shalat dengan duduk atau berbaring. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalatlah dengan berdiri, jika engkau tidak mampu maka dengan duduk, apabila tidak mampu juga maka dengan berbaring (HR. Bukhari).

Menghadap ke arah kiblat (masjidil haram) termasuk rukun shalat, sebagaimana firman Allah SWT: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu” (QS. Al Baqarah : 150).

Nabi bersabda kepada orang yang jelek shalatnya: “Jika engkau hendak berdiri mengerjakan shalat maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke arah kiblat” (HR Bukhari dan Muslim).

Diperbolehkan tidak mengahadap ke arah kiblat bagi orang yang dalam keadaan sangat ketakutan, dan ketika dalam perjalanan di atas kendaraan (lihat Al Wajiz karya DR. Abdul Azhim Badawiy). 

Catatan: Sutrah merupakan suatu benda yang diletakkan di depan tempat sujud (jika di Indonesia adalah sebelah barat tempat sujud) yang berfungsi untuk mencegah sesuatu yang lewat di depannya.

Sebagian ulama mewajibkan hal tersebut, beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar,. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau shalat kecuali dengan sutrah (pembatas), jangan biarkan ada seorangpun yang lewat di depanmu, apabila dia mengabaikannya (tetap lewat) maka cegahlah dia, karena ada qarin (setan) bersamanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih). 

Niat ikhlas karena Allah Ta’ala
Salah satu syarat yang harus terpenuhi ketika hendak mengerjakan shalat yaitu berniat ikhlas karena Allah Ta’ala. Bahkan segala macam jenis ibadah wajib mengikhlaskan niat untuk Allah semata.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung dari niatnya, dan seseorang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkan.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Perlu diketahui bahwa niat letaknya di dalam hati, dan tidak disyariatkan melafalkannya dengan lisan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri hendak mengerjakan shalat beliau mengucapkan “Allahu Akbar” dan tidak mengucapkan apapun sebelumnya, dan tidak melafalkan apapun di dalam niatnya (Al Wajiz hal. 102). 

Berikut Tata Cara Sifat Shalat Rasulullah SAW:

1. Nabi Muhammad SAW membuka shalatnya dengan takbiratul ihram.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalatnya dengan ucapan “Allahu Akbar” sebagaimana beliau memerintahkan hal tersebut kepada orang yang jelek shalatnya. Kemudian mengangkat kedua tangan beliau, terkadang bersama takbir, setelah takbir, atau sebelum takbir. Dan beliau mengangkat kedua tangannya dengan jemari dijulurkan sehingga sejajar dengan kedua pundaknya atau sejajar dengan kedua telinganya. Setelah itu beliau meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kirinya, atau pada pergelangan tangan kirinya, atau pada lengan tangan kirinya (bersedekap) dan melatakkan kedua tangannya di atas dada atau di antara pusat dan dada dengan mengarahkan pandangan ke arah tempat sujud. 

2. Bacaan-bacaan setelah takbiratul ihram
Setelah melakukan takbiratul ihram, beliau membaca do’a iftitah, yang berisi pujian dan sanjungan kepada Allah Ta’ala.

Beliau bersabda: ”Tidak sempurna shalat seseorang sampai dia bertakbir, memuji dan menyanjung Allah jalla wa ‘azza, kemudian membaca (beberapa ayat) dari Al-Qur’an yang mudah baginya.” (HR. Abu Dawud dan Al Hakim, Shahih).

Salah satu bacaan do’a iftitah yang diajarkan Rasulullah adalah: Subhanakallahumma wabihamdika tabaarokasmuka wata’ala Jadduka Walaa ilaaha ghoiruka (Artinya): Maha suci Engkau, ya Allah. Ku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah. Maha tinggi Engkau. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau” (HR. Abu Daud dan An Nasa-i, dihasankan oleh Al Albani 1/252).

Kemudian beliau beristi’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan hadits dari Abu Said Al Khudri: “Apabila beliau berdiri mengerjakan shalat beliau membaca do’a iftitah kemudian mengucapkan: “A’udzubillahi As Sami’i Al ‘Alimi minasy syaithanirrajim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi, Shahih).

Selanjutnya beliau membaca surat Al Fatihah di setiap rakaat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (suarat Al Fatihah).” (HR Bukhari dan Muslim).
Beliau membaca surat Al Fatihah dengan berhenti pada setiap ayat hingga ayat terakhir, lalu mengucapkan “Aamiin”. Dilanjutkan dengan membaca surat selain Al Fatihah (pada dua rakaat pertama dalam setiap shalat).
Disunnahkan membacanya dengan suara lantang pada shalat shubuh, dua rakaat pertama shalat maghrib, dua rakaat pertama shalat Isya’, dan membacanya dengan lirih pada shalat zhuhur, ashar, rakaat ketiga shalat maghrib, dan dua rakaat terakhir shalat isya. (lihat Al Wajiz karya DR Abdul ‘Azhim Badawiy). 

3. Ruku' dengan tuma'ninah
Nabi bersabda kepada orang yang jelak shalatnya: “Kemudian ruku'lah sampai engkau tuma'ninah dalam ruku'.” (HR Bukhari dan Muslim).
Beliau ruku' sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinganya dengan menjadikan kepala sejajar dengan punggung dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lututnya dengan jari-jari direnggangkan dan menjauhkan lengan dari lambung.

Kemudian disunnahkan membaca tasbih dengan lafal “Subhana rabbiyal Azhim” (artinya: Maha suci Rabbku yang Maha Agung) sebanyak tiga kali (lihat Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al Albani). 

4. I’tidal (bangkit dari rukuk) dengan tuma'ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang jelek shalatnya: “Kemudian bangkitlah (dari ruku') hingga tegak berdiri” (HR Bukhari dan Muslim).

Sambil mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinganya lalu mengucapkan “Sami’Allahu liman hamidah” (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) dan “Rabbana lakal hamdu” (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala pujian) (HR Bukhari dan Muslim). 

5. Sujud dengan tuma'ninah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman ruku' dan sujudlah kalian” (QS. Al Hajj : 77).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang jelek shalatnya: “Kemudian sujudlah sampai engkau tuma'ninah, lalu bangkit sampai engkau duduk dengan tuma'ninah, kemudian sujud sampai engkau tuma'ninah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Beliau sujud sambil bertakbir dengan meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan sambil menghadapkan jari-jari kedua telapak tangan ke arah kiblat dengan posisi jari-jari dirapatkan, dan sujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung telapak kaki dengan posisi jari-jari kaki menghadap kiblat. Merenggangkan kedua lengan tangan dari kedua lambung dan perut dan kedua pahanya sambil mengangkat kedua hasta/lengan dari tanah.

Di dalam sujud beliau membaca “Subhana Rabbiyal A’la” (Artinya: Mahasuci Rabb-ku Yang Maha Tinggi) sebanyak tiga kali (lihat Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al Albani). 

6. Duduk di antara dua sujud dengan tuma'ninah
Beliau mengangkat kepala untuk duduk bangkit dari sujud sambil bertakbir, kemudian duduk dengan bertumpu pada telapak kaki kiri dan mendudukinya, sedangkan kaki kanannya tetap tegak seperti halnya ketika sujud dan meletakkan kedua telapak tangan di atas ujung kedua paha dan lutut, dan beliau membaca do’a ketika duduk di antara dua sujud dengan mengucapkan “Rabbighfirli, rabbighfirli” (Artinya: Wahai Rabbku ampunilah aku) (HR. An Nasa’I, Shahih) dan do’a lainnya yang berasal dari Rasulullah. 

7. Sujud yang kedua dengan tuma'ninah
Beliau melalukan sujud yang kedua seperti halnya sujud yang pertama. 

8. Duduk Iftirasy dengan tuma'ninah
Beliau mengangkat kepala sambil bertakbir untuk duduk bangkit dari sujud kedua yang dinamakan duduk Iftirasy, yaitu duduk dengan bertumpu pada telapak kaki kiri dan mendudukinya, sedangkan kaki kanannya tetap tegak, meletakkan kedua telapak tangan di atas ujung kedua paha dan lutut. Semua jari telapak tangan kanan dilipat/digenggamkan kecuali jari telunjuk. Jari manis dan kelingking tangan kanan digenggamkan, sedangkan ibu jari membentuk lingkaran bersama dengan jari tengah dan berisyarat dengan jari telunjuk dengan mengangkat sedikit jari telunjuk pada saat membaca syahadat tauhid (antara lafadz "Asyhadu alla ilaha" dengan "Illallah") pada bacaan tasyahud. Sedangkan jari telapak tangan kiri diletakkan di atas ujung paha dan lutut kaki kiri. 

9. Duduk Tawarruk dengan tuma'ninah
Beliau mengangkat kepala sambil bertakbir untuk duduk bangkit dari sujud kedua pada raka'at terakhir yang dinamakan duduk Tawarruk, yaitu duduk dengan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan dan kemudian mendudukan pantat di atas tanah, sedangkan kaki kanannya tetap tegak, meletakkan kedua telapak tangan di atas ujung kedua paha dan lutut.

Semua jari telapak tangan kanan dilipat/digenggamkan kecuali jari telunjuk. Jari manis dan kelingking tangan kanan digenggamkan, sedangkan ibu jari membentuk lingkaran bersama dengan jari tengah dan berisyarat dengan jari telunjuk dengan mengangkat sedikit jari telunjuk pada saat membaca syahadat tauhid (antara lafadz "Asyhadu alla ilaha" dengan "Illallah") pada bacaan tasyahud. Sedangkan jari telapak tangan kiri diletakkan di atas ujung paha dan lutut kaki kiri. 

10. Tasyahud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian duduk pada setiap dua rakaat, ucapkanlah: at tahiyatu lillah…(hingga akhir)” (An Nasa’I, Shahih).

Salah satu bacaan tasyahud adalah: “At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh” (artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Bukhari). 

11. Membaca shalawat atas Nabi setelah tasyahud
Membaca shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud yang pertama hukumnya sunnah, sedangkan membaca shalawat atas Nabi setelah tasyahud akhir termasuk rukun shalat. (lihat Al Wajiz karya DR Abdul ‘Azhim Badawiy).

Salah satu bacaan shalawat adalah: “Allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala aali muhammad, kamaa shallaita ‘ala ibrahim wa ‘ala aali ibrahim innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala muhammad wa ‘ala aali muhammad, kamaa baarakta ‘ala ibrahim wa ‘ala aali ibrahim innaka hamiidum majiid” (artinya: Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya Allah, Berkahilah Muhammaddan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia) (HR. Bukhari dan Muslim). 

12. Salam
Salam merupakan rukun sekaligus penutup ibadah shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkan (awal shalat) adalah takbir dan yang menghalalkan (akhir shalat) adalah salam.” (HR Ibnu Majah, Shahih). Salah satu bacaan salam untuk menoleh ke kanan dan kiri adalah "Assalamu 'alaikum warahmatullah" (artinya: Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian) (HR. Nasai, Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).

Beliau ketika salam mengucapkan "Assalamu 'alaikum" pada saat posisi wajah masih menghadap ke arah kiblat, dan kemudian menoleh ke arah samping kanan tanpa merubah posisi badan (tetap menghadap kiblat) dengan mengucapkan "Warahmatullah", begitu juga ketika menoleh ke arah kiri. Hanya pipi sebelah kanan beliau saja yang terlihat oleh orang yang berada di belakangnya ketika beliau menoleh ke kanan, dan hanya pipi sebelah kiri beliau saja yang terlihat oleh orang yang berada di belakangnya ketika beliau menoleh ke kiri. Kemudian beliau membaca istighfar yang dilanjutkan dengan membaca tasbih, tahlil dan takbir dan bacaan-bacaan yang lain sebelum kemudian membaca do'a.

Demikian pemaparan yang dapat kami sampaikan, semoga Allah Ta’ala memberikan kepahaman dan ilmu yang bermanfaat sebagai pedoman dalam beribadah kepada Allah Swt, Aamiin...

Wallahu a'lamu bish showab
Semoga Bermanfaat

Minggu, 14 Mei 2017

Ukara Pakon

UKARA PAKON
(KALIMAT PERINTAH ATAU IMPERATIF)
Oleh : Abdurrahman

I. Definisi Ukara Pakon
Ukara pakon atau kalimat perintah adalah kalimat yang isinya memerlukan responsi berupa tindakan atau perbuatan.
Ukara pakon atau imperatif adalah kalimat yang modus verbalnya (kata) menyatakan perintah, ajakan atau larangan.
Ukara pakon atau imperatif yaiku ukara kang surasane awujud pakon utawa perintah marang wong liya supaya nindakake sawijining bab utawa sawijining pakaryan kaya kang dikarepake sing kongkon.
Ukara pakon suraosipun awujud paken utawi perintah katujukaken dhateng tiyang sanes supados nindhakaken satunggaling bab utawi pakaryan cocok kaliyan menapa ingkang dipun prentahaken.

Contoh kalimat perintah (ukara pakon):
Sardi, tukua lawuh dhisik!
Njupukana cidhuk!
Tase jupuken!
Kancamu gawakna pelem!
Kowe lungaa!
Adusa dhisik!
Mlebu!

II. Ciri-Ciri dan Jenis-Jenis Ukara Pakon

Ciri-Ciri Ukara Pakon
1. Menggunakan partikel -a, -en, -ana, dan -na.
Contoh :
a. Lungaa seka kene!
b. Gawanen tas kuwi!
c. Rewangana adhimu!
d. Delokna garapan mbakyumu kae!

Verba imperatif dinyatakan oleh kata lungaa ‘ambilah’ yang berbentuk L- + -a, dalam kalimat b dinyatakan oleh kata rewangana ‘bantulah’ yang berbentuk L- + -ana, kalimat c dinyatakan oleh kata delokna ‘lihatlah’ yang berbentuk L- + -na.

2. Ada yang bersusun inversi

Kalimat yang predikatnya  berada di depan subjek (S).
Contoh :
a. Jupukna buku kuwi!
b. Gawenen layang!
c. Wacanen buku kuwi!

3. Menggunakan tanda seru (!) bila dipergunakan dalam bahasa tulis.
Contoh :
a. Ayo mlebu!
b. Balia kowe!
c. Pilihana kertas kae, Na!
d. Kancamu gawakna rambutan!
e. Aja pisan-pisan teka rene!

4. Jika dilisankan memiliki intonasi:

a) Mendatar kemudian berakhir dengan nada naik.
Contoh :
a. Mangga / | cathetani/pun | panjenengan pirsa/ ni
b. Minggir/a
c. Nabuha bo/nang

b) Menurun diakhir tuturan.
Contoh :
a. Panjeneng/an | kula aturi ndherekaken Pak Sastra
b. Tabuh-tabuh gamelan ku/wi | jupuk/ana

5. Pelaku tindakan tidak selalu terungkap.
Contoh :
a. Tulung buku iki gawanen mrono!
b. Wacanen layang kabar kae!
c. Gawanen kabeh yen isih kurang!
d. Ndang panganen!

Dalam dua kalimat diatas, kita tidak mengetahui siapa yang dikenai pekerjaan tersebut.

Jenis-Jenis Ukara Pakon:

Ukara Pakon Lumrah.
Yaitu kalimat yang isinya hanya perintah biasa.
Contoh :
a. Awas sing ngati-ati!
b. Wis enggal digarap!
c. Ndang panganen!
d. Jogan kae sapunen!

Ukara Pakon Pangajak.
Yaitu kalimat yang isinya mengajak pendengar untuk bersama-sama melakukan suatu tindakan.
Contoh :
a. Kula kinten, langkung sae tindak rumiyin!
b. Ayo enggal diresiki bebarengan barang-barang iki!
c. Mangga ta dipun srantos sawetawis!
d. Cobi kula aturi maos sekedhap!
e. Saenipun kula aturi nggatosaken pangandikan menika!

Ukara Pakon Pamenging.
Yaitu kalimat yang memerintahkan orang yang diajak bicara, tidak boleh melakukan perbuatan yang diinginkan pembicara.
Contoh :
a. Aja mangan ing ngarep lawang!
b. Aja rame-rame simbah lagi sare!
c. Kowe ora kena dolan yen durung sinau!
d. Yen pinuju ngisi bensin, mesine aja diuripake!
e. Bocah sekolah ore pareng ngrokok!

Ukara Pakon Paminta.
Yaitu kalimat yang isinya memerintah pendengar untuk melaksanakan tindakan namun secara halus, seolah-olah meminta tetapi sebetulnya memerintah yang tidak kentara. Tetapi jika dipandang dari maksud penyampaian gagasan ada kemungkinan kalimat tersebut masuk kalimat berita dan perintah.
Contoh :
a. Mbok kowe kuwi mengko dolan menyang omahku!
b. Dul, tulung jupukna buku kuwi!
c. Dhik, tulung jendelane ditutup bae!
d. Adhimu kae mbok diwarahi nulis aksara Jawa!

Ukara Pakon Panantang.
Yaitu kalimat perintah yang isinya menyindir seseorang untuk melaksanakan suatu tindakan.
Contoh :
a. Antemen yen pancen kowe wani!
b. Yen nyata kowe kendel, Aryaka kae kongkonen turu ing kuburan!
c. Maraa mrene yen nyata-nyata dhugdheg!
d. Cabuten tulisan kuwi yen kepengin dikamplengi uwong!
e. Gage balangen yen arep njaluk benjut sirahmu!

III. Kesimpulan
Ukara Pakon utau kalimat perintah adalah kalimat yang menyatakan perintah, ajakan, atau larangan kepada orang lain untuk melakukan suatu hal yang diinginkan oleh yang memerintah.

Ukara Pakon memiliki ciri-ciri:
(1) menggunakan partikel -a, -en, -ana, dan -na,
(2) ada yang bersusun inversi,
(3) menggunakan tanda seru,
(4) jika dilisankan memiliki intonasi mendatar kemudian berakhir dengan nada naik dan menurun diakhir tuturan, dan
(5) pelaku tindakan tidak selalu terungkap.

Dan Ukara Pakon memiliki jenis-jenis:
(1) ukara pakon lumrah,
(2) ukara pakon pangajak,
(3) ukara pakon pamenging,
(4) ukara pakon paminta, dan
(5) ukara pakon panantang.

Semoga bermanfaat.
Silakan share bilamana tulisan ini mengandung kemanfaatan

#SalamPersaudaraan

Sabtu, 13 Mei 2017

Beberapa Arti dari kalimat Aamiin

~ Aamiin (آميۡنۡ)   <> kabulkanlah
~ Aammiin (آمِّيۡنۡ)<> bertujuan
~ Aamin (آمِنۡ)      <> beriman
~ Amiin (اَمِيۡنۡ)<> amanah/terpercaya
~ Amin (اَمِنۡ)        <> aman

Selain itu seseorang seringkali keliru dalam penulisan kalimat sehingga mengakibatkan perbedaan arti, seperti halnya kalimat "Husnul" dan "Khusnul" seperti pada kalimat husnul khotimah...

1. Husnul khotimah: Husnul asal katanya adalah "Hasan” yang berarti BAIK. “Husnul” berarti TERBAIK. Jadi makna dari kalimat “HUSNUL KHOTIMAH” adalah: “MATI DI SAAT (dalam keadaan) YANG TERBAIK”

2. Khusnul khotimah: Khusnul artinya TERHINA/ TERENDAH.
Maka jika ditulis dengan "khusnul khotimah" makna kalimatnya berbeda arti menjadi “MATI DI SAAT (dalam keadaan) DIHINAKAN/ DIRENDAHKAN*.

Astaghfirullah,,,, sungguh jauh sekali perbedaan maknanya kalau kita salah menulis lafadz/kalimat Al Qur'an.

*SEMOGA BERMANFAAT*

Rabu, 10 Mei 2017

Awalan Kata

Seringkali seseorang tidak memahami bahwa dalam pelajaran bahasa indonesia itu penuh dengan aneka kosakata sehingga seringkali menulis kalimat yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Sebelumnya kita perlu ingat bahwa ada "awalan" dari kata kerja yang sama persis dengan "awalan" yang menunjukkan tempat, yaitu "Di".

Contoh:
"Dimakan" (awalan kata kerja) sebab akibat "Termakan".
"Di Rumah" (awalan untuk menunjukkan tempat) sebab akibatnya "berada di rumah".

Jadi apabila ada yang menulis "di maafkan" konotasinya berbeda dengan "dimaafkan", begitu juga "di pasar" konotasinya berbeda dengan "dipasar"...
.
Jadi, jika maksudnya bahwa anda mau bertanya atau memberitahukan tentang suatu "tempat" maka menulisnya harus dengan "di rumah, di sekolah, di kantor, di ...., dan sebagainya", bukan "dirumah, disekolah, dan sebagainya".
Tapi jika maksudnya bahwa anda mau bertanya atau memberitahukan tentang suatu "pekerjaan" maka menulisnya harus dengan "ditunggu, ditinggal, dimaklumi, dimaafkan, dan sebagainya" bukan "di tunggu, di tinggal, di maklumi, di maafkan, dan sebagainya".

Karena kalau tidak seperti itu, maka konotasinya jelas berbeda dengan maksudnya.
Semoga bermanfaat

Selasa, 02 Mei 2017

Penjelasan Syekh Alawi al-Maliki tentang Amalan di Malam Nisfu Sya'ban

Sebagaimana biasanya pada malam Nisfu sya'ban, banyak kita temui di beberapa masjid masyarakat Nusantara selepas soalat Maghrib berjama'ah, mereka bersama-sama membaca Al-Qur'an surat Yasin 3 kali, lalu berdo'a dengan do'a nisfu sya'ban dengan harapan agar hajatnya dikabulkan oleh Allah dan kebaikan dunia akhirat. <>

Amalan seperti itu tidaklah diharamkan dalam agama, karena masuk dalam kategori bertawassul dengan amal sholih. Sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani rahimahullah dalam kitabnya yang khusus membahas tentang bulan Sya'ban berjudul "Syahru Sya'ban Maadza Fiiha", Beliau mengatakan: Membaca surah Yasin dengan niat meminta kebaikan dunia dan akhirat atau membaca al Qur'an seluruhnya sampai khotam semua itu tidak diharamkan juga tidak dilarang.
 
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa amalan seperti itu adalah haram, dilarang. Mereka mengatakan: Orang-orang awam apa yang mereka lakukan mulai dari membaca surah yasin 3 kali, satu kali agar niat panjang umur disertai kemampuan untuk taat. Kedua kali dengan niat agar dijaga dari keburukan dan dilapangkan rezekinya, ketiga kali dengan niat agar hati menjadi tenang tentram dan husnul khotimah. Kemudian melakukan shalat hajat di sela-sela do'a.
 
Dikatakan bahwa semua itu adalah tidak ada dasarnya dan tidak sah sholat kecuali dengan niat ikhlas kepada Allah bukan semata mata tujuan tertentu.
 
Maka aku menjawab: sesungguhnya tuduhan seperti ini dengan sendirinya bathil (tidak benar). Dugaan seperti ini akan menutupi karunia Allah dan rahmatnya.
 
Dan yang benar adalah amalan seperti ini tidaklah dilarang sama sekali selamanya. Mulai dari membaca Al-Quran, wirid-wirid, dzikir, doa-doa untuk tujuan bersifat duniawiah atau permintaan setiap orang, hajat-hajat, dan cita-cita setelah mengikhlaskan niat kepada Allah pada semua itu. Maka adapun syaratnya adalah Ikhlasnya niat melakukan karena Allah SWT. Dan niat ini memang dituntut di segala ibadah dan perbuatan mulai dari shalat, zakat, haji, berjihad, berdo'a, dan membaca al qur'an. Maka sahnya amal harus dibarengi niat ikhlas kepada Allah SWT. Dan ini memang dituntut tidak dikhilafkan di dalamnya. Bahkan jika suatu amalan tidak dibarengi ikhlas karena Allah maka ia tertolak sebagaimana firman Allah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّين ... الآية

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Al bayyinah : 5)

Akan tetapi tidak ada yang melarang seseorang menambahkan pada amalnya beserta niat ikhlas kepada Allah juga permintaan-permintaan atau hajat-hajatnya yang bersifat agama dan duniawiah, materi ataupun tidak materi, yang tampak ataupun yang bathin. Dan siapa saja yang membaca surah Yasin atau lainnya dari surah-surah al qur'an lillah ta'aala mengharap keberkahan di dalam umurnya, keberkahan di dalam hartanya, keberkahan di dalam sehatnya, maka sesungguhnya semua itu tidak berdosa baginya melakukannya. Karena ia menempuh jalan kebaikan dengan syarat tidak meyakini amalan tersebut secara khusus disyariatkan. Maka ia membaca surah Yasin tiga 3 kali, 30 kali atau 300 kali, bahkan ia membaca Al-Quran sampai khatampun ikhlas karna Allah SWT. Serta mengharap hajatnya dikabulkan, keinginannya ditunaikan, kesusahannya dihilangkan, penyakitnya disembuhkan dan hutang-hutangnya dilunaskan.

Maka apa semua itu pantas dianggap berdosa sedangkan Allah menyukai hamba yang meminta-minta kepadanya segala sesuatu? Maka ia hadapkan kepada Allah dengan bacaan surah yasin atau sholawat kepada nabi SAW. Tidaklah itu melainkan hanya sebagai perantara dalam bertawassul dengan Amal amal saleh. Dan tiada seorangpun dari umat islam yang mengkhilafkan tawassul dengan amal saleh. Maka siapa saja yang ia berpuasa, sembahyang atau membaca Al-Qur’an dan bershodaqoh maka sesungguhnya ia bertawassul dengan shalatnya, puasanya, bacaannya dan sedekahnya. Bahkan ia lebih diharapkan dikabulkan.

Sebagaimana dalam hadits Shahih, hadits yang menceritakan tiga orang yang terjebak di dalam Gua. Lalu satu orang bertawassul dengan perbuatan baiknya dengan orang tua, yang kedua bertawassul dengan menjauhi perbuatan buruk, dan yang ketiga bertawassul dengan amanahnya dengan menjaga harta orang lain dan menunaikannya dengan sempurna. Kemudian Allah mengabulkan do'a mereka sehingga mereka terbeaskan dari gua tersebut. Inilah satu macam dari Tawassul yang mana oleh ibnu Taimiyah dijelaskan secara rinci dalam kitabnya " Qaa'idah jaliilah fit tawassul wal wasiilah ".

Dengan ini jelas sudah amalan nisfu sya'ban termasuk amalan yang dibolehkan bahkan dianjurkan dalam agama, bertawassul dengan amal-amal saleh.

Adapun doa yang biasanya dibaca dalam nisfu sya'ban setelah membacan Yasin 3 kali yaitu:
 
بسم الله الرحمن الرحيم وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
أللهم يا ذا المن ولا يمن عليه يا ذا الجلال والإكرام يا ذا الطول والإنعام لا إله إلا الله أنت ظهر اللاجئين ، وجار المستجيرين ومأمن الخائفين . أللهم إن كنت كتبتني عندك ( في أم الكتاب ) شقيا أو محرما أو مطرودا أو مقترا علي في الرزق فامح
أللهم بفضلك شقاوتي وحرماني وطردي وإقتار رزقي وأثبتني عندك غي أم الكتاب سعيدا مرزوقا موفقا للخيرات فإنك قلت وقولك الحق في كتابك المنزل على لسان نبيك المرسل : يمحو الله ما يشاء ويثبت عنده أم الكتاب (سورة الرعد : 39). إلهي بالتجلي الأعظم في ليلة النصف من شهر شعبان المكرم التي يفرق فيها كل أمر حكيم ويبرم . أسألك أن تكشف عنا من البلاء ما نعلم وما لا نعلم وما أنت به أعلم إنك أنت الأعز الأكرم . وصلى الله تعالى على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه وسلم


Doa ini oleh sayyid Alawi al Maliki telah ditunjukkan kepada para masyaayikh guru-guru beliau dari ulama hadits dan fiqih, mereka semua memastikannya dan membenarkannya. Dalam hadits pun doa ini ditemukan dalam hadits mauquf. dalam kitab al Mushannaf libni abi Syaibah dan ibnu abu dunya dalam ad du'a:
 
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : مَا دَعَا قَطُّ عَبْدٌ بِهَذِهِ الدَّعَوَاتِ إِلَّا وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي مَعِيشَتِهِ : " يَا ذَا الْمَنِّ ، فَلَا يُمَنَّ عَلَيْكَ , يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ، يَا ذَا الطَّوْلِ وَالْإِنْعَامِ ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ , ظَهْرُ اللَّاجِئِينَ وَجَارُ الْمُسْتَجِيرِينَ وَمَأْمَنُ الْخَائِفِينَ , إِنْ كُنْتَ كَتَبْتنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا فَامْحُ عَنِّي اسْمَ الشَّقَاءِ , وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ سَعِيدًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرِ فَإِنَّكَ تَقُولُ فِي كِتَابِكَ يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ سورة الرعد آية 39

Inilah keyakinan kita, manhaj Ahlussunah wal jamaah.

Semoga manfaat, Wallahu a'lam bishowwab.

Tiga Amalan Utama Malam Nisfu Sya'ban

 Tiga Amalan Utama pada Malam Nisfu Sya’ban

Sya’ban berarti bulan penuh berkah dan kebaikan. Pada bulan ini Allah membuka pintu rahmat dan ampunan seluas-luasnya. Karenanya, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sunah seperti puasa sunah. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Sebuah hadits mengatakan bahwa Nabi SAW lebih sering puasa sunah di bulan Sya’ban dibandingkan pada bulan lainnya, (HR Al-Bukhari).

Selain puasa, menghidupkan malam sya’ban juga sangat dianjurkan khususnya malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Maksud menghidupkan malam di sini ialah memperbanyak ibadah dan melakukan amalan baik pada malam nisfu Sya’ban. Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki menegaskan bahwa terdapat banyak kemuliaan di malam nisfu Sya’ban: Allah SWT akan mengampuni dosa orang yang minta ampunan pada malam itu, mengasihi orang yang minta kasih, menjawab do’a orang yang meminta, melapangkan penderitaan orang susah, dan membebaskan sekelompok orang dari neraka.

Setidaknya terdapat tiga amalan yang dapat dilakukan pada malam nisfu Sya’ban. Tiga amalan ini disarikan dari kitab Madza fi Sya’ban karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.

Pertama, memperbanyak doa. Anjuran ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Bakar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
ينزل الله إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لكل شيء، إلا لرجل مشرك أو رجل في قلبه شحناء
Artinya, “(Rahmat) Allah SWT turun ke bumi pada malam nisfu Sya’ban. Dia akan mengampuni segala sesuatu kecuali dosa musyrik dan orang yang di dalam hatinya tersimpan kebencian (kemunafikan),” (HR Al-Baihaqi).

Kedua, membaca dua kalimat syahadat sebanyak-banyaknya. Dua kalimat syahadat termasuk kalimat mulia. Dua kalimat ini sangat baik dibaca kapan pun dan di mana pun terlebih lagi pada malam nisfu Sya’ban. Sayyid Muhammad bin Alawi mengatakan,
وينبغي للمسلم أن يغتنم الأوقات المباركة والأزمنة الفاضلة، وخصوصا شهر شعبان وليلة النصف منه، بالاستكثار فيها من الاشتغال بكلمة الشهادة "لا إله إلا الله محمد رسول الله".
Artinya, “Seyogyanya seorang muslim mengisi waktu yang penuh berkah dan keutamaan dengan memperbanyak membaca dua kalimat syahadat, La Ilaha Illallah Muhammad Rasululullah, khususnya bulan Sya’ban dan malam pertengahannya.”

Ketiga, memperbanyak istighfar. Tidak ada satu pun manusia yang bersih dari dosa dan salah. Itulah manusia. Kesehariannya bergelimang dosa. Namun kendati manusia berdosa, Allah SWT senantiasa membuka pintu ampunan kepada siapa pun. Karenanya, meminta ampunan (istighfar) sangat dianjurkan terlebih lagi di malam nisfu Sya’ban. Sayyid Muhammad bin Alawi menjelaskan,
الاستغفار من أعظم وأولى ما ينبغي على المسلم الحريص أن يشتغل به في الأزمنة الفاضلة التي منها: شعبان وليلة النصف، وهو من أسباب تيسير الرزق، ودلت على فضله نصوص الكتاب، وأحاديث سيد الأحباب صلى الله عليه وسلم، وفيه تكفير للذنوب وتفريج للكروب، وإذهاب للهموم ودفع للغموم
Artinya, “Istighfar merupakan amalan utama yang harus dibiasakan orang Islam, terutama pada waktu yang memiliki keutamaan, seperti Sya’ban dan malam pertengahannya. Istighfar dapat memudahkan rezeki, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Pada bulan Sya’ban pula dosa diampuni, kesulitan dimudahkan, dan kesedihan dihilangkan.

Demikianlah tiga amalan utama di malam nisfu Sya’ban menurut Sayyid Muhammad. Semua amalan itu berdampak baik dan memberi keberkahan kepada orang yang mengamalkannya.
Semoga kita termasuk orang yang menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan memperbanyak do’a, membaca dua kalimat syahadat, istighfar, dan kalimat mulia lainnya.

Wallahu a’lam.