Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Sabtu, 14 April 2018

Sabuk Mori PSHT

Penjelasan tentang mori yang dijadikan sabuk bagi Warga PSHT:

1. Tanda bahwa siswa tersebut sudah disahkan menjadi warga. Sabuknya berbeda dengan sabuk siswa.

2. Sabuk mori mengandung banyak filosofi, di antaranya:
a. Ditalikan di sebelah kiri, maksudnya mengingatkan bahwa kiri (kiwo) itu  melambangkan keburukan atau sesuatu yang salah, karenanya hal-hal yang bernilai buruk/salah harus ditali agar tidak muncul dari dalam diri kita, baik niat, sikap, ucapan maupun perbuatan.
b. Ditali wangsul (bukan tali pati), maksudnya ketika kita berbuat keburukan/salah mudah untuk diingatkan.
c. Dicuci pada bulan Suro/Muharam. Mengambil kalender Jawa/Hijriyah, bulan Suro/Muharam adalah bulan permulaan tahun baru. Ada makna untuk melakukan hijrah/pindah, yaitu meninggalkan semua hal yang buruk/salah menuju hal yang baik/benar. Menutup tahun kemarin dengan introspeksi dan evaluasi diri, memasuki tahun baru dengan niat dan sikap perilaku yang lebih baik.
d. Dengan mencuci mori, kita diingatkan untuk juga mencuci hati kita dari segala bentuk kekotoran yang telah kita lakukan.
e. Dicuci dengan air kembang setaman yang harum, mengingatkan kita untuk mencuci kekotoran jiwa dengan sesuatu yang bisa mengharumkan jiwa, agar jiwa kita tidak sekedar bersih tapi juga memancarkan akhlak yang mulia, yang berbudi luhur.
f. Dicuci dengan pelan dan tidak diperas walaupun proses pengeringannya memerlukan waktu lebih lama, mengingatkan agar dalam melakukan suatu kebaikan hendaknya dilakukan dengan kesabaran dan kelembutan jiwa.
Tidak grusa grusu (instan) apalagi dengan kekerasan.
g. Dijemur tidak kena sinar matahari, maksudnya agar keringnya berproses sendiri secara alami tanpa pengaruh apapun. Ini mendidik agar dalam mengendalikan jiwa kita didasari oleh kesadaran pribadi, tanpa harus menunggu bantuan pihak lain. Membentuk kemandirian sikap.
Secara harfiah kering karena matahari bisa mempercepat kerusakan. Memang bisa diganti melalui pengesahan ulang tapi rasanya tidak semarem mori yang didapat pertama. Dan idealnya kita ini dapat mori cukup sekali seumur hidup.
h. Tidak kena matahari berarti malam hari. Malam hari adalah waktu terbaik untuk merenung mengevaluasi diri, menyadari kesalahan dan memohon yang terbaik kepada Tuhan. Tentu dengan cara melekan/tirakatan agar jiwa kita tenang dalam memanjatkan do'a.
i. Setelah selesai dibersihkan dari sesuatu yang menempel, dilipat yang rapi dan disimpan lagi di tempat yang semestinya. Ada rasa lega dan nyaman yang mengiringi aktifitas kita tersebut. Seperti itulah kira-kira suasana jiwa yang seharusnya selalu kita rasakan.

3. Mengambil cara muslim, mori adalah pembungkus jenazah, mengingatkan kita kepada kematian yang datangnya sewaktu-waktu dan tidak kita ketahui. Maka setiap ingat mati, harus ingat pula bekal yang harus dibawa, yaitu amal dan ibadah kita.

4. Ditulis nama dan weton, mengambil budaya Jawa, adalah sekedar untuk memudahkan pembedaan agar tidak tertukar dan mudah dicari/dikembalikan bila ketinggalan. Kalo cuma ditulis nama lengkapnya saja mungkin banyak yang sama, tapi kalo nama lengkap dan weton (yang sama keduanya) tentu mungkin hampir tidak pernah ada.

SH Terate bukan agama tetapi Warga SH Terate haruslah beragama. Bila menurut keyakinan pemiliknya mori bisa digunakan sebagai sarana, boleh-boleh saja berharap Tuhan memberikan pertolongan dengan sarana mori. Orang sakit saja bila ingin sembuh juga harus pakai sarana (ini yang bersifat fisik). Yang bersifat non fisik, contohnya kita berdzikir juga butuh sarana berupa tasbih.
Sekali lagi kalau sudah menyangkut spiritualitas, kembali pada niat dan keyakinan pribadi.

Wallahu a'lam
Semoga Bermanfaat

Salam PersaudaraaN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar