Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Rabu, 28 Desember 2022

Hukum Jaranan


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 
Salam kenal bapak kiyai, saya Ahmad dari Lampung ingin bertanya masalah hukum kesenian nusantara khususnya kesenian Jaran Kepang? Karena di dalam kesenian tersebut terdapat unsur mistik dan sesaji bagaimana pandangan Islam mengenai hal itu serta mengapa para wali terdahulu tidak menghilangkan kesenian tersebut jikalau memang haram.
Terimakasih pak kiyai.

Wassalamu'alaikum, Wr. Wb.

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Pak Ahmad yang berbahagia, kuda Lumping juga disebut Jaran Kepang atau Jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda.

Beberapa penampilan Kuda Lumping menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.

Ada versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Juga ada yang mengatakan ada hubungannya dengan tari Reog Ponorogo, dan Jaran Kepang dari Kediri dalam cerita Songgo Langit.

Pakar budaya dan sejarah Nusantara, Agus Sunyoto menyatakan bahwa kesenian Kuda Kepang adalah kesenian yang lahir pada masa peralihan jaman Hindu ke Islam, di mana yang diketahui menggelar kesenian kuda kepang untuk dakwah yang pertama adalah Sunan Ngudung. Seni sejenis, di mana kuda kepang
ditambah Reog, Bujang Ganong, Penthul, dan Tembem dikembangkan raja muslim Bathara Katong.

Semua kesenian itu untuk mengumpulkan orang untuk didakwahi agama Islam. Dengan demikian adalah tergesa-gesa jika dinyatakan bahwa kesenian kuda kepang dianggap seni syirik warisan agama bukan Islam. Menurut al-faqir, tradisi yang berkembang di masyarakat seperti jaran kepang misalnya, selama dalam konteks tidak membawa kekufuran dan tidak membahayakan dirinya dan orang lain serta melestarikan budaya dan adat istiadat (yang tidak bertentangan dengan hukum syara') maka hukumnya diperbolehkan.

Adapun jika ada yang tidak sesuai maka perlu kita edukasi bersama agar masyarakat dan generasi muda tidak menyalah-artikan tradisi. Para Wali terdahulu ketika masuk dalam ranah masyarakat, diterapkan Fiqhud Dakwah, ajaran Islam diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat, dan dengan terus mengedukasinya. Dengan demikian para Muballigh dan Wali Songo mengembangkan agama Islam dengan bertahap (tadrijy).

Dengan demikian, bagaimana jawaban atas pertanyaan itu? Sebagian fenomena Jaran kepang diduga adalah bagian dari bentuk sihir.

Oleh karenanya, hukumnya ditafsil (diperinci) terlebih dahulu.
Pertama, jika wasilah untuk menjadikan orang kesurupan itu hal-hal yang mengandung kekufuran maka hukumnya kufur.

Kedua, jika jampi-jampinya berupa hal-hal yang haram maka hukumnya haram.

Ketiga, jika tidak keduanya, maka dilihat pada dampaknya. Jika Jaran Kepang itu berdampak negatif atau membahayakan (dirinya atau orang lain) maka hukumnya haram. Jika tidak berbahaya, maka hukumnya boleh. 

Apa Hukum Memainkan Tradisi atau Seni yang Menggunakan Jin?

Kuda lumping makan beling, nginjak bara, apa hukumnya?
Kita sekarang sering banyak mendapati fatwa tentang kegiatan kebudayaan di banyak daerah. Ada secuil kelompok yang gempar memberikan fatwa haram atas semua kegiatan kebudayaan dengan dalih tidak ada pada zaman Nabi Muhammad shalallahu'alaihi wassalam, dan dalih mengandung unsur kemusyrikan. Sebenarnya bagaimana hukumnya memainkan tradisi atau kesenian?

Hukum memainkan kesenian yang di dalamnya terdapat unsur menggunakan jin, yang biasanya menyebabkan tidak sadarkan diri, dan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya ataupun orang lain, atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat seperti kemusyrikan adalah haram.

Keharaman tersebut bukanlah dari dalam keseniannya itu sendiri, melainkan ada faktor yang menyebabkan timbulnya keharaman tersebut. Bagaimana jika kesenian tersebut tidak ada hal-hal yang melanggar syariat dan bertujuan melestarikan budaya? Maka, hukumnya boleh.

Seperti kutipan dalam al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, 5/406.
قال الإمام النووى رحمه الله تعالى : عمل السحر حرام وهو من الكبائر وقد عدها رسو ل الله صلوات وسلامه عليه من الموبقات السبع، ومن السحر ما يكون كفرا ومنه مالا يكون كفرا، بل معصية كبيرة فإن كان فيه قول او فعل يقتضى الكفر فهو كفر وإلا فلا.

"Imam Nawawi rahimahullah ta'ala berkata: Perbuatan sihir adalah haram, itu merupakan dari dosa-dosa besar dan Rasulullah saw telah memasukkannya ke dalam tujuh ketetapan. Ada sihir yang menjadikan kafir, ada juga sihir yang hanya masuk ke dalam dosa maksiat yang besar, jika di dalamnya ada ucapan atau perbuatan yang menjerumuskan ke kekafiran maka itu kafir jika tidak maka bukanlah kekafiran.”

Mengapa kesenian yang menggunakan jin disamakan dengan sihir bukan ma'unah, karomah dan mukjizat?, Karena ada kejadian-kejadian di luar nalar yang tidak mungkin itu bisa dipertontonkan semaunya, jika itu berupa ma'unah. Dan tidak mungkin dimiliki oleh orang fasik jika itu berupa karomah. Dan bukan mukjizat karena hanya dimiliki oleh para Nabi. Jelas itu adalah sihir yang dibantu oleh bangsa jin.

Kesenian haram jika di dalamnya ada kemusrikan yang dalam nash sudah jelas keharaman atas kemusyrikan dan membahayan diri dan orang lain seperti hadis nabi لا ضرار ولا ضرار "tidak boleh membahayakan orang lain dan dirinya". Dan kesenian sendiri itu hukumnya mubah sesuai kutipan hadis tentang adat ما راء المسلمون حسنا فهو عند الله حسن "apa yang menurut kaum muslimin adalah baik maka menurut Allah juga baik".
Wallahu a'lamu bish shawwab...

(Ketua Aswaja Center PCNU Jombang)