Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Kamis, 31 Mei 2018

Pemahaman Tentang Shof

MENGURAI SALAH PAHAM TENTANG MERAPATKAN & MELURUSKAN SHOF

Oleh : Abdullah Al Jirani

Awalnya, kami ingin menyusun artikel tentang permasalahan “meluruskan dan merapatkan shof” secara luas dan detail. Akan tetapi, karena telah ada beberapa penulis yang menyusunnya, maka niat tersebut kami urungkan. Kali ini kami hanya akan fokus untuk membahas kekeliruan dalam hal memahami dan mengamalkan hadits-hadits tentang merapatkan dan meluruskan shof saja. Dikarenkan masih sangat sedikit yang membahasnya.

Telah dimaklumi bersama, bahwa sebagian saudara-saudara kita, mempraktekkan hadits-hadits tentang merapatkan shof dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu ketika mulia sholat. Bahkan ada kejadian-kejadian yang lebih dari itu, seperti kondisi “mengangkang”, “mengejar” kaki orang lain, dan “tarik baju orang” yang tidak menempelkan mata kakinya.

Insya Allah, kita akan bahas masalah ini secara obyektif dan adil, tanpa ada niatan untuk menyudutkan atau ingin merendahkan pihak tertentu. Akan tetapi, hanya semata upaya untuk meluruskan suatu permasalahan yang telah berlangsung lama dan diyakini sebagai sesuatu yang benar.

Mereka yang berpendapat bahwa merapatkan shof dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu, berdalil dengan beberapa hadits.

Diantaranya hadits dari Anas bin Malik RA beliau berkata, Rosulullah SAW bersabda :

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»

“Luruskan shof-shof kalian! maka sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.” (Anas bin Malik berkata): Dan adalah salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya dan telapak kakinya dengan telapak kaki sahabatnya.” [HR. Al-Bukhari : 725].

Hadits ini bisa dijelaskan dari beberapa sisi :

[1]. Yang dimaksud dengan kata “melekatkan/menempelkan” pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki, bukanlah makna hakiki. Akan tetapi suatu kata yang dimaksudkan untuk “penyangatan” saja. Bukan benar-benar nempel antara mata kaki dan pundak. Hal ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar -Rohimahullah- :

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

“Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shof dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” [Fathul Bari : 2/211].

Jadi makna hadits di atas, para sahabat berusaha untuk merealisasikan perintah nabi untuk meluruskan dan merapatkan shof dengan sangat baik, sampai “seolah-olah” mereka menempelkan mata kaki dan pundak mereka dikarenakan sangat rapatnya. Bukan berarti benar-benar nempel. Ini salah satu uslub bahasa Arab dimaklumi oleh siapapun yang telah mempelajarinya.

Dalam bahasa Indonesia pun ada seperti ini. Misalnya ketika kita mau dipinjami uang oleh teman kita, maka kita akan menjawab: “Maaf, saya lagi tidak punya uang.” Jawaban ini bukan berarti kita tidak punya uang sama sekali. Akan tetapi maksudnya, kita punya uang cuma sedikit, “seolah-olah” tidak punya uang. Atau kalau kita sebagai seorang ustadz, lalu kita bicara kepada hadirin: “Mohon duduknya merapat!”. Bukan berarti harus sampai nempel kaki dan badan mereka. Kalau demikian, nanti malah tidak bisa atau minimal terganggu saat mau menulis. Di samping juga ada rasa risih tentunya.

Ternyata, pemahaman Al-Hafidz Ibnu Hajar -Rohimahullah- terhadap hadits di atas, merupakan pemahaman aimatul arba’ah (Imam Madzhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal). Seperti apa yang telah dinyatakan oleh Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi (w.1353 H) –rahimahullah- :

قال الحافظ: المراد بذلك المبالغة في تعديل الصفِّ وسدِّ خلله. قلتُ: وهو مراده عند الفقهاء الأربعة

“Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shaf dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” Aku (Al-Kasymiri) berkata : DAN INILAH (MAKNA) YANG DIINGINKAN OLEH PARA IMAM YANG EMPAT.” [Faidhul Bari ‘Ala Shahih Al-Bukhari : 2/302 ].

Jika imam madzhab yang empat saja TELAH SEPAKAT memahami demikian, maka pemahaman yang keluar darinya, berarti telah menyelisihi pendapat yang disepakati oleh mereka. Dan seperti ini, dikatagorikan oleh Imam Al-Qarafi –rahimahullah- “seperti” menyelisihi ijma’ (konsensus ulama’). Artiya, kesepakatan mereka memiliki kedudukan yang sangat kuat, hampir-hampir mendekati ijma’.Sehingga sangat tercela jika ada yang menyelisihinya.

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahullah- berkata :

وحديث أنس هذا يدل على أن تسوية الصفوف : محاذاة المناكب و الأقدام

“Hadits Anas ini menunjukkan, sesungguhya meluruskan shof itu (maksudnya): pundak dan kaki setentang/sejajar (bukan nempelnya yang diinginkan).” [ Fathul Bari : 6/282 ].

Seorang alim salafy, asy-syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- juga menjelaskan sebagaimana yang dipahami oleh para imam yang telah berlalu penyebutannya. Bahkan beliau menambahkan, bahwa penempelan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak itu hanya sarana (alat ukur) untuk menentukan kelurusan dan kerapatan shaf saja. Begitu sudah lurus, tidak ditempelkan lagi.
Kemudian shalat baru dimulai.

Beliau –rahimahullah- berkata :

الصحابة -رضي الله عنهم- فإنهم كانا يسوون الصفوف بإلصاق الكعبين بعضهما ببعض ، أي أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف، فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم، ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة،وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

“Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shof dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA : sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN  KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHOF. Dan ini (melekatkan mata kaki dan pundak), bukanlah sesuatu yang dimaksudkan. Akan tetapi ia merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk (mewujudkan) sesuatu yang lain, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh para ulama. Oleh karena itu, jika shof telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shof). BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA, BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHALATNYA.” [Fatawa Arkanil Islam : 312 ].

Pendekatan penjelasan Asy-Syaikh –rahimahullah- di atas seperti ini. Dalam baris berbaris, ada perintah dengan istilah “Lencang kanan” atau “setengah lencang kanan”. Dua perintah ini, hanyalah “alat” untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Nanti setelah lurus, maka tangan diturunkan. Bukan berarti tangan harus lencang terus. Ini perkara yang kita maklumi bersama.

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل, لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب

“Makna ini (apa yang disampaikan Ibnu Hajar) merupakan pemahaman para sahabat –radhiallahu ‘anhum- dalam meluruskan (shof), yaitu : lurus dan menutup celah, bukan melekatkan dan menempelkan pundak dan mata kaki.” [La Jadida fi Ahkamish Shalat: 12].

[2]. Bahkan, amaliah sebagian orang yang melekatkan mata kaki dan pundak mereka dengan mata kaki dan pundak orang yang ada di samping kanan dan kiri mereka, termasuk perbuatan yang ghuluw (melampaui batas), takalluf (memaksakan diri) serta aneh. Kenapa ? karena tidak ada satupun dalil yang menujukkan kepadanya dan tidak ada para ulama’ –sejauh pengetahuan kami- yang memahami dan mengamalkan demikian.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :

ومن الغلو في هذه المسألة ما يفعله بعض الناس من كونه يلصق كعبه بكعب صاحبه ويفتح قدميه فيما بينهما حتى يكون بينه وبين جاره في المناكب فرجة فيخالف السنة في ذلك، والمقصود أن المناكب والأكعب تتساوى

“Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shof), apa yang dilakukan oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah/jarak antara pundaknya dengan pundak temannya. Maka dia telah menyelisihi sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu bisa lurus (bukan melekatkannya).” [ Fatawa Arkanil Islam : 312 ].

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :

فإِن إِلزاق العنق بالعنق مستحيل, وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر. وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل, وإِلزاق الكعب بالكعب, فيه من التعذر, والتكلف

“Melekatkan pundak dengan pundak dalam setiap berdiri (ketika shalat) termasuk perbuatan takalluf (memberatkan diri) yang sangat jelas. Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud) dan memberatkan diri.” [La Jadida: 11].

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- berkata:

وليس معنى رص الصفوف ما يفعله بعض الجهال اليوم من فحج رجليه حتى يضايق من بجانبه؛ لأن هذا العمل يوجد فرجا في الصفوف، ويؤذي المصلين، ولا أصل له في الشرع

“Bukanlah makna merekatkan shof, apa yang dilakukan oleh sebagai orang-orang bodoh di hari ini berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.” [Al-Mulakhash Al-Fiqhi: 124].

[3]. Merapatkan shof, bukan berarti tanpa ada celah. Akan tetapi diperlukan celah untuk mendapatkan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan sholat. Di mana kadar celahnya tidak terlalu lebar, namun juga tidak sampai mepet/nempel. Celah yang dilarang itu jarak antara dua orang yang bershof yang bisa diisi oleh satu orang atau lebih.
Adapun jika kurang dari itu, maka ini dianjurkan.

Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menyatakan :

أي أن لا يَتْرُكَ في البين فرجةً تَسَعُ فيها ثالثًا. بقي الفصل بين الرجلين: ففي «شرح الوقاية» أنه يَفْصِلُ بينهما بقدر أربع أصابع، وهو قول عند الشافعية، وفي قولٍ آخر: قدر شبر.

“Artinya: Janganlah seorang meninggalkan celah/jarak di antara (dia dan orang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk satu orang ketiga di dalamnya. Telah tetap adanya jarak antara kedua kaki. Di dalam “Syarh Al-Wiqayah” : Sesungguhnya seorang menyela di atara keduanya seukuran EMPAT JARI. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iyyah. Dalam pendapat lain, : satu jengkal.” [ Faidhul Bari : 2/302 ].

Jadi yang dimaksud sabda nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

وسدوا الخلل ولا تذروا فرجات للشيطان

“Tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah-celah untuk syetan.”

Maksudnya, yang dilarang adalah meninggalkan celah yang bisa ditempati oleh satu orang. Bukan berarti tidak ada celah/jarak sama sekali. Seperti kalau nabi memerintahkan kita untuk shalat di awal waktu, bukan berarti kita sudah harus takbiratul Ihram pas detik pertama waktu shalat masuk. Tapi ada jaraknya, untuk berpakaian, untuk wudhu, dan juga berjalan ke masjid. Ini perkara yang dimaklumi bersama. Simak ucapan Ibnu Daqiqil Ied dalam kitabnya “Al-Ihkam” : 2/38.

Hal ini didasarkan berbagai indikasi, di antaranya:

■Kita diperintah untuk melembutkan diri dalam bershaf. Dan hal itu tidak akan terwujud kecuali ada jarak di antara orang-orang yang shalat.  Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

خياركم أَلينكم مناكب في الصلاة

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak/lembut pundaknya di dalam shalat.” [ HR. Abu Dawud ].

Menurut Al-Khathabi –rahimahullah- Kalimat  “paling lembut pundaknya”, maknanya :

ومعناه لزوم السكينة في الصلاة, والطمأْنينة فيها, لا يلتفت ولا يحاك منكبه منكب صاحبه

“Terus menerus tenang dalam sholat, tidak menoleh dan pundaknya tidak memotong (mengoyang) pundak orang lain.” [ Ma’alim Sunan lewat “La Jadida” : 14 ].

Menurut Al-Munawi –rahimahullah- :

ولا يُحاشر منكبُهُ منكبَ صَاحِبه

“Pundaknya jangan sampai berdesakan dengan pundak sahabatnya.” [Faidhul Qadir: 3/466].

■Dalam sebagian gerakan-gerakan shalat, sangat membutuhkan adanya jarak antara orang yang satu dengan yang lain, seperti mengangkat tangan ketika takbir, saat bersedekap, posisi tangan saat rukuk dan sujud yang dijauhkan dari tubuh, saat duduk tasyahhud terkhusus ketika tasyahhud akhir dengan posisi tawwaruk.

Apakah bisa jika tidak ada jarak, kita mengamalkan hadits nabi yang memerintahkan kita untuk merengangkan atau menjauh tangan dari rusuk saat sujud misalkan? tidak bisa.
Oleh karena itu standar jarak dalam bershaf, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Bughyatul Mustarsyidin” (140) :

وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق

“Dan jarak yang dianggap (diakui) dalam lebar shaf-shaf dengan apa yang seorang bisa mempersiapkan dan mengatur sholat. Dan ia adalah apa yang secara adat mencukupi mereka, orang-orang yang bershof tanpa berlebihan dalam keluasan dan kesempitan.”

Adapun hadits dari An-Nu’man bin Al-Basyir RA berkata :

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Aku melihat seorang dari kami melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya.”

Ucapan ini disebutkan oleh Al-Bukhari dalam “Shohih-nya” secara mu’allaq (1/146) di bawah Bab : “Melekatkan Pundak Dengan Pundak Dan Telapak Kaki Dengan Telapak Kaki Di Dalam Shaf” [ Lihat “Al-Fath” : 2/122 ].

Maka ada beberapa jawaban :

»Pertama: Jika memang tata cara merapatkan shaf dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, kenapa yang mengamalkan hanya “seorang” saja? kemana yang lain dari para sahabat. Padahal, para sahabat adalah generasi yang paling bersemangat dalam kebaikan dan sunnah.

Bahkan dalam “Musnad Al-Mushili” disebutkan, bahwa perbuatan tersebut sempat dicela oleh Anas bin Malik :

قَالَ أَنَسٌ: «لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ»

“Anas bin Malik berkata : Sungguh aku melihat salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundah sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya. Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan.”[ 6/381 ].

»Kedua: Makna melekatkan di situ bukan makna hakiki, akan tetapi makna majazi, artinya penyangatan dalam lurus dan rapat. Bukan benar-benar nempel.

»Ketiga: Itu dilakukan hanya untuk wasilah (perantara) meluruskan dan merapatkan shof saja. Jika sudah lurus, maka tidak nempel lagi. Lihat keterangan sebelumnya dari ucapan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah-.

[4]. Amaliah merapatkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak ketika bershaf, tidak mungkin akan konsisten. Karena jika konsisten, mereka harus melakukannya dalam seluruh keadaan ketika shalat, dari takbir pembukaan sampai salam. Dan ini perkara yang tidak mungkin terwujud seperti ketika posisi sujud, atau duduk di antara dua sujud, atau duduk tasyahud (awal ataupun akhir), dan yang lainnya. Ini semua justru menjadi indikasi tambahan, bahwa dibutuhkan celah/jarak dalam bershaf.

[5]. Para ulama kibar di Saudi pun tidak mengamalkan tata cara merapatkan shof sebagaiman yang diamalkan oleh sebagian kecil muslimin di Indonesia ini. Bisa disaksikan lewat video atau gambar. Tentunya amaliah mereka didasarkan kepada ilmu dan bukan kejahilan.

Kesimpulan :

1]. Meluruskan dan merapatkan shof dalam shalat, perkara yang disyari’atkan. Dan hukumnya sunnah menurut jumhur ulama’, tidak sampai derajat wajib.

2]. Meluruskan dan merapatkan shof tidak dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak. Akan tetapi dengan sedikit jarak antara keduanya. Dimana jaraknya tidak terlalu luas tapi juga tidak sampai nempel. Sekitar empat jari atau satu jengkal.

3]. Adanya celah yang dilarang, adalah celah yang cukup dipakai untuk satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka boleh, bahkan dianjurkan.

4]. Merapatkan shaf dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, hukumnya makruh. Hal ini muncul dari pemahaman terhadap dalil yang keliru, serta menyelisihi pemahaman para salaf, terkhusus para imam yang empat.

Semoga bermanfaat.

15 Ramadhan 1439 H

Rabu, 09 Mei 2018

Pengertian IMSAK

Istilah Imsak atau IMSAKIYAH diambil dari bahasa Arab yaitu Amsaka yumsiku imsak yang berarti menahan. Jadi, dari pengertian menahan, berarti waktu imsak adalah waktu dimulainya untuk menahan segala hal yang membatalkan puasa. Jadi, di saat imsak masih diperbolehkan untuk makan dan minum, selama belum memasuki waktu subuh.
Sayangnya, secara istilah yang umum dipahami oleh masyarakat mengenai pengertian imsak adalah saat seseorang harus memulai untuk berhenti makan sahur agar tidak terlewat hingga masuk subuh. Pengertian tersebut kuranglah tepat.

Imsak (Imsakiyah) sebenarnya mempunyai arti menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari waktu Subuh hingga waktu Maghrib.
Dengan kata lain sebelum adzan Subuh dikumandangkan, umat muslim masih diperbolehkan untuk makan dan minum. Tapi tidak boleh lewat dari waktu Subuh.

Jadi, ketika Anda bangun untuk makan sahur tapi waktu sudah sangat dekat dengan waktu adzan subuh, dan radio, masjid, serta televisi sudah menyatakan imsak, tidak usah khawatir. Karena sebenarnya Anda masih punya waktu 10 menit lagi untuk makan sahur. Manfaatkanlah waktu itu dengan makan dan minum.
Pergunakanlah 10 menit itu untuk makan sahur agar puasa di siang hari Anda tidak akan terasa berat.

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ummatku senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan melambatkan sahur,” (H.R. Imam Ahmad dari Abu Dzar R.A.).

Ketentuan waktu imsak sebagai ihtiyath (kehati-hatian) ini didasarkan hadits Rasul yang diriwayatkan dari Sayyidina Anas: Sayyidina Zaid bin Tsabit R.A. berkata, “Kami telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi Muhammad SAW, kemudian baginda bangun mengerjakan shalat.

Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid, ‘Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan waktu makan sahur itu?’ Dia menjawab, ‘Sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat.’”
Hadits ini menunjukkan bahwa jarak atau interval waktu antara bersahurnya Rasulullah SAW dan adzan Subuh adalah kira-kira 50 ayat. Itu artinya Rasulullah SAW tidak lagi makan sahur sampai berkumandangnya adzan subuh.

Pada redaksional hadits disebutkan secara jelas bahwa Rasulullah SAW bersahur dan berhenti kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat Al Qur'an sebelum masuk waktu subuh. Inilah yang dipahami oleh para ulama kita, sehingga menetapkan sunnah berimsak sekitar waktu yang dibutuhkan untuk pembaca 50 ayat Al Qur'an tersebut yang diperkirakan setara dengan 10–15 menit.

Sebagai pengetahuan berikut ini kriteria dalam cara menentukan Jadwal Sholat serta Jadwal Imsak/ Imsakiyah menurut Kementerian Agama Republik Indonesia, adalah:

1) Imsak 10 menit sebelum waktu Subuh.
2). Subuh saat Matahari berada pada sudut -20° di bawah horizon Timur ditambah ihtiyati 2 menit.
3) Syuruq/ Terbit  saat Matahari terbit dikurangi ihtiyati 2 menit.
4) Dhuha saat Matahari berada pada sudut 4,5° di atas horizon setelah terbit ditambah ihtiyati 2 menit.
5) Zuhur saat Matahari melintas Meridian (zawal/istiwa/noon) ditambah ihtiyati 2 menit.
6) Ashar saat panjang bayangan Matahari = panjang benda + panjang bayangan benda waktu Zuhur ditambah ihtiyati 2 menit.
7) Maghrib saat Matahari terbenam ditambah ihtiyati 2 menit.
8) Isya' saat Matahari berada pada sudut -18° di bawah horizon Barat ditambah ihtiyati 2 menit

Berikut ini Jadwal Imsakiyah Puasa Ramadhan 2018 atau 1439 H untuk Seluruh Kota di Indonesia ( Silahkan Anda sesuaikan Lokasi sesuai tempat tinggal Anda dengan memilih pada tanda Segi Tiga ).
Jadwal Sholat untuk Surabaya, GMT
Mei 2018
sebelum Pilih Kota
Tanggal Imsyak Shubuh Terbit Dhuha Dzuhur As

:: Parameter
Untuk Kota Surabaya 7°14' LS 112°45' BT
Arah : 294.03 ° ke Mekah
Jarak : 8563.625 km ke Mekah
:: Pilihan Fiqh
Penentapan Waktu Shubuh : 20.0 deg. Kemiringan Mat
Penetapan Waktu Ashr : Perbandingan bayangan 1 lainnya)
Berikut ini Jadwal Imsakiyah dan Sholat Lima Waktu
untuk seluruh wilayah kabupaten/kota di Indonesia. ( Silahkan Anda sesuaikan Lokasi sesuai tempat tinggal Anda dengan memilih pada tanda Segi Tiga)

Jadwal Sholat
Rabu, 9 Mei 2018
Subuh 04:13   WIB
Dhuhur 11:28   WIB
Ashar 14:49   WIB
Maghrib 17:22   WIB
Isya 18:34   WIB
Imsak : 04:03 WIB
Subuh : 20° , Isya : 18°

Silahkan bandingkan Jadwal Imsakiyah Puasa Ramadhan 2018 M / 1439 H di atas dengan jadwal Imsakiyah Puasa Ramadhan

Jadwal Imsakiyah Puasa Ramadhan seperti halnya Jadwal Imsakiyah Puasa Ramadhan 2018 M atau 1439 H memang sering dicari terutama saat menghadapi pelaksanaan shaum ramadhan. Biasanya Jadwal ini digunakan untuk persiapan sahur dan buka puasa, karena jadwal buka puasa atau sahur yang tepat sesungguhnya sering dikumandangkan di mesjid-mesjid atau mushola di tempat kita berada. Selain itu jadwal yang resmi juga terkadang harus menunggu keputusan menteri agama terkait Penetapan 1 Ramadhan 1439 H / 2018.

Semoga Bermanfaat