Yakin dalam Logika dan Filsafat memiliki dua istilah: yang pertama, yakin
dalam istilah umumnya yang berarti “tahu secara pasti” dan yang lain memiliki
arti yang lebih khusus, yakni: “pengetahuan pasti yang sesuai dengan kenyataan”
atau “pengetahuan yang pasti terhadap sesuatu dan yakin bahwa segala yang
bertentangan dengan pengetahuannya adalah tidak benar”.
Yakin dengan artian khusus ini memiliki dua kriteria, yang mana segala pengetahuan yang memiliki dua kriteria tersebut dapat disebut “yakin”. Kedua kriteria itu adalah: yakin terhadap suatu yang diketahui dan yakin bahwa yang bertengan dengan keyakinan itu adalah salah.
Adapun yakin memiliki tiga tingkatan:
1. 'Ilmal Yaqin
2. 'Ainul Yaqin
3. Haqqul Yaqin
'ILMAL YAQIN
Adalah jenis yakin yang berasal dari orang lain
Contoh: kata temanku kemarin terjadi kecelakaan di jalan raya
Dalam islam seperti pembelajaran agama yang hanya berupa teori atau
diajarkan seperti pelajaran agama disekolah
'AINUL YAQIN
Adalah jenis yakin yang kita melihat langsung kejadian itu
Contoh : kemarin aku melihat kecelakaan di jalan raya
Dalam islam seperti menjalankan perintahNYA dan menjauhi larangan-NYA di
kehidupan sehari-hari
HAQQUL YAQIN
Adalah jenis yakin yang kita mengalami kejadian tersebut langsung
Contoh : kemarin aku mengalami kecelakaan di jalan raya
Dalam islam seperti menerapkan rukun iman dan islam ke kehidupan
sehari-hari serta membaginya ke orang lain
Yakin dalam bahasa berarti tidak memiliki keraguan dalam suatu perkara dan terjadinya perkara tersebut secara nyata. [1]
Dalam Logika dan Filsafat, yakin memiliki dua istilah:
Yang pertama, yakin dengan artian umum, yaitu yakin (tidak ragu) akan
sesuatu,
Yang kedua yakin dengan makna khusus: “pengetahuan pasti yang sesuai dengan
kenyataan” [2] atau
“pengetahuan akan sesuatu dengan yakin dan yakin bahwa yang bertentangan dengan
pengetahuan itu adalah salah”.
Yakin dengan
artian khusus memiliki dua kriteria yang mana setiap ilmu yang memiliki dua
kriteria itu bisa dikatakan dengan “yakin”.
Yang pertama yakin dengan sesuatu yang
diketahui itu, dan yang kedua adalah yakin bahwa segala yang bertentangan
dengan keyakinan tersebut adalah salah. [3]
Di hadapan yakin dengan artian umum itu, ada
sangkaan di atas 50% dan di bawah 50% serta keraguan, yang mana semua itu ada
kemungkinan salahnya.[4] Dalam sangkaan di atas 50% kemungkinan salah sedikit, dan
sangkaan di bawah 50% sebaliknya, banyak kemungkinan salahnya, sedangkan dalam
keraguan kemungkinan benar dan salah adalah 50-50.
Yakin dengan artian khusus memiliki dua kriteria yang mana setiap ilmu yang memiliki dua kriteria itu bisa dikatakan dengan “yakin”. Dua kriteria itu adalah: yang pertama yakin dengan sesuatu yang diketahui itu, dan yang kedua adalah yakin bahwa segala yang bertentangan dengan keyakinan tersebut adalah salah. Jadi, yakin dengan artian khusus tersusun dari dua pengetahuan.
Yakin dengan artian khusus memiliki dua kriteria yang mana setiap ilmu yang memiliki dua kriteria itu bisa dikatakan dengan “yakin”. Dua kriteria itu adalah: yang pertama yakin dengan sesuatu yang diketahui itu, dan yang kedua adalah yakin bahwa segala yang bertentangan dengan keyakinan tersebut adalah salah. Jadi, yakin dengan artian khusus tersusun dari dua pengetahuan.
Pengetahuan terhadap sesuatu dan
pengetahuan akan kebenaran pengetahuan itu (atau salahnya segala yang
bertentangan dengan pengetahuan itu).
Cara untuk
mendapatkan yakin seperti itu dalam Logika adalah menggunakan Burhan
(demonstrasi dan argumen). Burhan adalah Qiyas (silogisme) yang permis-permisnya adalah proposisi-proposisi yang
meyakinkan (yaqini), atau istilahnya Yaqiniyat.
Yaqiniyat adalah dalil dan pengetahuan-pengetahuan yang
selain hal itu meyakinkan, tidak ada juga kemungkinan salahnya sedikitpun.
Karena itu, yaqiniyat dalam istilah ilmu Logika dan Filsafat
memiliki bagian-bagian dan tingkatan yang tidak sama.
Karena Badihiyat Awwali bagi ahli Logika memiliki tingkatan yakin
(meyakinkan) yang tertinggi; karena ilmu Logika adalah ilmu cara berfikir
dengan benar, maka ilmu tersebut berusaha untuk mengkategorikan dalil-dalil
sedemikian rupa sehingga manusia dengan merujuk padanya bisa mendapatkan ilmu
dan pengetahuan yang benar dan meyakinkan.
Karena Yaqiniyat Nazhari kembalinya adalah kepada awwaliyat dan
semua awwaliyat bisa dikata kembalinya kepada “berkumpulnya dua hal yang
bertentangan” (ijtima’ al-naqidhain), maka para ahli Logika
meletakkannya di tingkatan paling atas.
Adapun berdasarkan
menurut pendapat para ahli Irfan tentang yakin,[6]yakin memiliki tiga
tingkatan, yang mana yakin tingkat terendah tidak mempunyai kriteria-kriteria
yakin tingkat yang paling tinggi.
Tiga tingkatan
tersebut adalah ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.
Untuk menjelaskan tiga tingkatan yakin ini perlu dijelaskan bahwa:
Terkadang seorang manusia menyaksikan tanda-tanda atau indikasi-indikasi
tertentu atau dengan menggunakan argumentasi ia menemukan suatu hakikat yang
tetap; terkadang selain hanya menggunakan argumentasi, ia juga mendapatkan
hakikat itu dengan ruh dan jiwanya; dan kadang tak hanya begitu saja, ia merasa
fana dan menyatu dengan hakikat tersebut. Misalnya,
tentang wujud Tuhan Swt, manusia awal mulanya membuktikan keberadaan Tuhan
dengan argumentasi dan pemikirannya, lalu menyaksikan tanda-tanda
kebesaran-Nya, yang mana dalam tahap ini dikatakan ia telah mendapatkan ‘Ilmal-Yaqin.
Lalu dalam
tahapan kedua, dengan pensucian jiwa ia dapat menggapai hakikat wujud-Nya
dengan batin dan jiwanya. Ia bisa menyaksikan Tuhan dengan mata batinnya. Dalam
tahap ini disebut ‘Ainul-Yaqin.
Kemudian di
tahapan yang paling tertinggi, ia mencapai hakikat Tuhannya dengan seluruh
wujudnya, yang istilahnya ia telah fana dan menyatu dengan wujud Tuhan.
Di tingkatan inilah ia mencapai Haqqul-Yaqin.
Dalam teks-teks agama kita sering disinggung hal tersebut. Misalnya dalam berdoa kita berkata: “Ya Tuhan, cahayai lahirku dengan taat-Mu, batinku dengan kecintaan-Mu, hatiku dengan ma’rifat-Mu, ruhku dengan penyaksian terhadap-Mu dan seluruh wujudku dengan bersatu dengan-Mu.”[7]
Kalimat pertama mengisyarahkan amal ibadah dan menjalankan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah serta menjauhi perbuatan-perbuatan
yang dilarang-Nya, yang istilahnya adalah Tajliyah; kalimat kedua
mengisyarahkan tingkatan awal dalam suluk; kalimat ketiga mengisyarahkan
‘Ilm al-Yaqin; kalimat keempat mengisyarahkan ‘Ainul Yaqin dan kalimat
terakhir mengisyarahkan Haqq al-Yaqin, yakni fana secara total
dalam wujud-Nya yang Maha Tinggi.[8]
Perlu diketahui pula bahwa setiap dari tiga tingkatan tersebut juga
memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri di dalamnya[9] yang mana di berbagai
tingkatan yang berbeda-beda itulah para nabi dan wali-wali Allah melakukan sair
wa suluk, yang dengan demikian setiap satu dari mereka memiliki tingkatan
dan derajat yang berbeda dengan yang lainnya. Mengenai
hal ini disebutkan dalam riwayat:
Imam Ali As berkata: “Yakin memiliki empat cabang: memandang dengan jeli dan cerdik, mencapai hikmah dan kebijakan, mengambil pelajaran dari masa yang telah lalu dan memanfaatkan cara-cara orang yang telah mendahului. Orang yang melihat dengan jeli bakal mencapai hikmah dan kebijaksanaan, lalu dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, kemudian menjalankan tradisi umat sebelumnya dan jika demikian ia bagai hidup dengan mereka.”[10]
Imam Ali As berkata: “Yakin memiliki empat cabang: memandang dengan jeli dan cerdik, mencapai hikmah dan kebijakan, mengambil pelajaran dari masa yang telah lalu dan memanfaatkan cara-cara orang yang telah mendahului. Orang yang melihat dengan jeli bakal mencapai hikmah dan kebijaksanaan, lalu dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, kemudian menjalankan tradisi umat sebelumnya dan jika demikian ia bagai hidup dengan mereka.”[10]
Imam Shadiq As
berkata: “Yakin dapat mengantar manusia ke tempat yang sangat tinggi dan
menakjubkan. Saat berbicara tentang kriteria-kriteria Nabi Isa As, khususnya
tentang kemampuannya berjalan di atas air, Rasulullah Saw berkata: ‘Seandainya
keyakinannya lebih dari itu, dia juga bisa berjalan di atas udara.’ Dengan
perkataannya itu, Rasulullah Saw memahamkan kepada kita bahwa para nabi
memiliki tingkatan-tingkatan keistimewaan yang berbeda sesuai dengan keyakinan (yaqin)
yang mereka punya, bukan dikarenakan hal lainnya.”[11]
Pada suatu hari Rasulullah saw bertemu dengan Haritsah bin Malik bin Nu’man Anshari dan berkata kepadanya: “Bagaimana keadaanmu?” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah mu’min hakiki yang telah mencapai tingkat yaqin.” Rasulullah Saw bertanya: “Segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat perkataanmu?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku telah kehilangan selera terhadap dunia. Aku bangun di malam hari untuk ibadah dan aku kehausan di siang hari karena berpuasa. Seakan-akan aku melihat lebarnya ‘Arsy Ilahi, seakan aku menyaksikan hisab, seakan aku melihat penduduk surga yang saling bertemu di antara taman-tamannya, seakan aku melihat penduduk neraka tersiksa di dalamnya.” Rasulullah Saw bersabda: “Haritsah adalah hamba yang telah Allah Swt terangi hatinya.” Lalu beliau berkata kepada Haritsah: “Engkau telah mendapatkan bashirah (suatu keistimewaan dalam pemahaman)” maka tetaplah dalam keadaan itu.” Lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah Saw, doakan untukku agar aku bisa syahid di bawah benderamu.” Beliau menjawab: “Ya Allah, karuniakan ia kesyahidan.” Tak lama kemudian Rasulullah mengirimkan pasukan untuk berperang dan Haritsah ada di antara pasukan-pasukan itu lalu ia mati setelah membunuh beberapa musuh Allah dalam peperangan.”[12]
Tanda orang yang yakinnya kuat adalah ia tidak lagi mempedulikan selain kekuasaan Allah dan kekuatan-Nya, teguh dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan setia menjadi hambanya baik secara dhahir maupun batin. Ada dan tidak ada, sedikit atau banyak, pujian atau celaan, penghormatan atau penghinaan, semuanya adalah sama baginya. Namun orang yang yakinnya lemah, selalu berusaha mencari solusi dari makhluk-makhluk Allah (tanpa mengingat pencipta-Nya). Dalam dunia selalu mempedulikan komentar dan perkataan orang lain tanpa melihat apa hakikat sejati dari hidup ini. Selalu berusaha keras mengumpulkan harta duniawi dan menjaganya meski dengan lidahnya berkata bahwa tiada yang memberi rizki selain Allah, dan hamba-hamba-Nya mendapatkan rizki sesuai pengaturan-Nya serta usaha dan jerih payah hamba tidak mempengaruhi banyak dan sedikitnya rizki; namun secara praktek ia tidak meyakininya. Allah swt berfirman: “Mereka menyatakan apa yang tidak mereka yakini dengan hati. Sedangkan Allah maha tahu apa yang ada di dalam hati.”[13]
Dalam sebuah riwayat ditanyakan kepada Imam Shadiq As tentang iman dan Islam. Beliau menjawab dengan menukil perkataan Imam Baqir As: “Sesungguhnya agama adalah Islam dan iman satu tingkat lebih tinggi darinya, ketakwaan setingkat lebih tinggi dari iman, yaqin juga setingkat lebih tinggi dari taqwa. Tidak ada yang lebih sedikit dari yaqin yang dibagikan kepada manusia.”[14]
Adapun tolak ukur
menentukan yakin (dalam pengertian irfani dan riwayat) dapat dikatakan bahwa
setiap tingkatan yakin memiliki kriteria dan tanda-tandanya tersendiri.
Beberaba tanda yakin seperti tidak peduli dengan kesenangan-kesenangan dunia,
tidak terikat dengan harta benda, perhatian dengan alam akherat, berada dalam
tingkat tawakal dan pasrah kepada Allah Swt, menyerahkan segala perkara
kepada-Nya dan lain sebagainya. [iQuest]
Tafsir:
[1].
Farahidi, Khalil bin Ahmad, Kitâb Al-‘Ain, Riset dan edit oleh Makhzumi,
Mahdi, Samara’i, Ibrahim, jil. 5, hal. 220, Intesyarat Hijrat, Qum,
Cetakan Kedua, 1410 H.
[2].
Silahkan lihat, Muhaqqiq, Mahdi, Toshihiko Izutsu, Manthiq wa Mabâhitsh
Alfâz (kumpulan artikel dan makalah), hal. 313, Intesyarat Danesygah
Teheran, 1370 S.; Shaliba, Jamil, Shanei Dare Bidi, Manucehr, Farhangg
Falsafi, hal. 682, Intisyarat Hikmat, Teheran, Cetakan Pertama, 1366 S.
[3].
Thusi, Khajah Nashiruddin, Ta’dil al-Mi’yâr fi Naqd Tanzil al-Afkâr,
hal. 226, Intisyarat Danesygah Teheran, Cetakan Pertama, 1358 S.
[4].
Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Burhân, hal. 11, Moasasah
Bustan Kitab, Qum, Cetakan Kedua, 1387 S.
[5].
Silahkan lihat Ta’rif Maqbulât dar Ilm Mantiq, Pertanyaan 26405.
[6].
Pengetahuan ada dua macam: Yang pertama, ilmu yang dengan sendirinya merupakan
tujuan dan maksud, yang mana itu adalah cahaya yang muncul di dalam hati;
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat: “Ilmu bukanlah apa yang didapat dari
banyak belajar, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan Allah Swt di hati
siapapun yang Ia kehendaki.” (dinisbatkan kepada Imam Shadiq As, Mishbah
Al-Syari’ah, hal. 16, Al-A’lami, Beirut, cetakan pertama, 1400 H.) Berkat
ilmu inilah hal-hal ghaib dapat disaksikan oleh sang arif. Ilmu ini adalah ilmu
yang paling mulia dan tujuan utama.
Yang kedua, ilmu yang tujuan dari mengetahuinya adalah amal atau mengamalkan sesuai dengan pengetahuan tersebut. Yakni ilmu dan pengetahuan tentang apa saja yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya dan yang dapat menjauhkannya dari-Nya. Yang jelas ilmu ini masih ada kaitannya dengan ilmu pertama. Ilmu yang pertama disebut dengan ilmu batin dan ilmu hakikat, sedangkan yang kedua disebut dengan ilmu dhohir dan ilmu syari’at. Ketika keduanya disatukan, disebut dengan Hikmat (hikmah). Namun tak ada satupun ilmu yang hakiki kecuali ia telah mencapai derajat yakin. (Naraqi, Mulla Ahmad, Khazâin, hal. 484, Nasyr Kongre Buzurghdasyt Muhaqiqan Naraqi, Cetakan Pertama, Qum, 1380 S)
Yang kedua, ilmu yang tujuan dari mengetahuinya adalah amal atau mengamalkan sesuai dengan pengetahuan tersebut. Yakni ilmu dan pengetahuan tentang apa saja yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya dan yang dapat menjauhkannya dari-Nya. Yang jelas ilmu ini masih ada kaitannya dengan ilmu pertama. Ilmu yang pertama disebut dengan ilmu batin dan ilmu hakikat, sedangkan yang kedua disebut dengan ilmu dhohir dan ilmu syari’at. Ketika keduanya disatukan, disebut dengan Hikmat (hikmah). Namun tak ada satupun ilmu yang hakiki kecuali ia telah mencapai derajat yakin. (Naraqi, Mulla Ahmad, Khazâin, hal. 484, Nasyr Kongre Buzurghdasyt Muhaqiqan Naraqi, Cetakan Pertama, Qum, 1380 S)
[7].
Syaikh Baha’i, Muhammad bin Husain, Busthami, Ali bin Thaifur, Minhaj
Al-Najah fi Tarjumah Mafatih Al-Falah, mukadimah 2, hal. 49, Hikmat,
Tehran, cetakan keenam, 1384 H.S.
[8].
Silahkan rujuk: Hasan Zade Amuli, Hasan, Nushush Al-Hikam bar Fushush
Al-Hikam, hal. 158, Entesharat e Raja’, Tehran, cetakan kedua, 1375 H.S.
[9].
Karena kesempurnaan itu tidak terbatas dan jumlah manzilah (tingkatan)
kesempurnaan pun pasti bermacam-macam. Jadi di setiap tingkatan yakin pasti ada
kriteria tersendiri yang di tingkatan lainnya tak dapat ditemukan.
[10].
Tsaqafi, Ibrahim bin Muhammad, Al-Gharât (Al-Istinfar wa Al-Gharaat),
Riset dan edit oleh Husaini, Abduzzahra, jil. 1, hal. 84, Darul Kitab
Al-Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1410 H.
[11].
Mishbah Al-Syari’ah, hal. 177.
[12].
Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kâfi, jil. 3, hal. 138-139, Dar
Al-Hadith, Qom, Cetakan Pertama, 1429 H.
[13].
Mishbâh Al-Syari’ah, hal. 177-178.
[14].
Al-Kâfi, jil. 3, hal. 134-135.
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar