Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Rabu, 05 Oktober 2016

PUASA SUNAH BULAN MUHARRAM

Di dalam Kitab Hadits Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan beberapa hadits berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari ‘ASYURA (10 Muharram) dan TASU’A (9 Muharram), yaitu:

1. Dari Ibnu Abbas, “Bahwa Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
* 'muttafaq 'alaihi' secara bahasa berarti disepakati atasnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk hadits yang diriwayatkan dan disepakati keshahihannya oleh 2 imam hadits besar: Imam Al-Bukhâri dan Imam Muslim, jadi tingkat keshahihannya menempati posisi ‘paling shahih’.

2. Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) menghapuskan dosa (dosa-dosa kecil) satu tahun yang lalu.” (HR. Muslim)

3. Dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Rasulullah saw. bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan.” (HR. Muslim)

Hadits populer:

"Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘ASYURA (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu.” [Shahih riwayat Imam Muslim, Abu Dawud , Ahmad , Baihaqi, dan lain-lain]
----------------------------------------------------------------

Nah, yang menjadi beberapa kekeliruan adalah tentang bagaimana cara menyelisihi orang kafir/Yahudi (KARENA mereka juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram). Dan ini terbukti ketika penulis pernah 1 rumah dengan teman non muslim, ternyata mereka juga ikut berpuasa pada tanggal 10 Muharram.

Beberapa hadits tentang hal ini:
1.
  أَنَّ عَائِشَةَ رَضِي الهُِ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ الهِن صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah saw. pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Ahmad, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Nasa’i dalam Al-Kubra, Al-Humaidi, Al-Baihaqi, Abdurrazaq, Ad-Darimy, Ath-Thohawi dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)

2.  
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الهُل بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ
"Nabi saw. tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya: "Apa ini?" Mereka menjawab: "Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka kami berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab: "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dalam Al-Kubra, Ahmad, Abdurrazaq, Ibnu Majah, Baihaqi, Al-Humaidi, Ath-Thoyalisi)

Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari ‘Asyura di masa jahiliyah, dan “sebelum hijrah” pun Nabi saw. telah mengerjakannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.

Pada tanggal 9 Muharram (disebut hari Tasu’a) dinamakan “sunnah taqririyah” dimana Rasulullah belum sempat menjalankan ibadah puasa ini. Orang Yahudi juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram karena sebagai rasa syukur atas diselamatkan Nabi Musa as. dari Fir’aun, kemudian Rasulullah juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram, tetapi salah seorang sahabat ada yang bertanya kepada Rasulullah saw. mengapa kita menyamai umat nabi Musa as. Kemudian Rasulullah SAW menjawab puasa tanggal 10 Muharram ini adalah hakku dan untuk membedakannya maka tahun depan aku akan berpuasa 2 hari (Tasu’a dan ‘Asyura) tetapi Rasulullah belum sempat menjalankannya (karena wafat).


Dari berbagai riwayat dan pendapat, ada 4 Cara Menyikapi Puasa ‘Asyura:
1. Berpuasa tiga hari pada 9, 10, dan 11 Muharram.
2. Berpuasa pada hari 9 dan 10 Muharram.
3. Berpuasa pada hari 10 dan 11 Muharram seandainya pada tanggal 9 Muharram nya tidak berpuasa.
4. Berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) saja, sebagian saja ulama memakruhkannya karena Nabi saw. memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makruh).

PENJELASANNYA:

(1) Berpuasa pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
 خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ
“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ
“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al 2/76): ”Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan: ”Inilah yang Utama.”

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434.

Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma'al): "Ini adalah derajat yang paling sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang utama."

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan.

Namun ulama-ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

*Meskipun hadits tersebut dha’if, tetapi secara umum boleh diamalkan jika itu HANYA TERKAIT FADHILAH AMAL yang tidak menyangkut aqidah dan hukum.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits dha’if dalam keutamaan amal;
- Hadits itu tidak sampai derajat maudlu’ (=palsu).
- Orang yang mengamalkannya ‘mengetahui’ bahwa hadits itu adalah dha’if.
- Tidak memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih.

(2) Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:
صَامَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari 'Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[6]

Dalam riwayat lain :
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[7].

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245): ”Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”

عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ
“Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.

Juga pada Kitab Hadits Riyadhus Shalihin pun hanya dibahas mengenai puasa 9 dan 10 Muharram, dan tidak dikutip dalil satu pun tentang puasa 11 Muharram di sana.

(3) Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram

صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah pada hari 'Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”

Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
-. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
-. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’

Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49): ”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan….”

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246): ”Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa 'Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata: ”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”

Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213): ”Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″.

Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada illat (cacat). Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49): "Dalam sebagian riwayat disebutkan “atau sesudahnya” maka kata ‘atau’ di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…."

Al-Hafidz berkata dalam Fathul Baari: "Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah saw., dahulu beliau suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka MENYELISIHI AHLI KITAB SEBAGAIMANA DALAM HADITS SHAHIH. Maka ini (masalah puasa ‘Asyura) termasuk dalam hal itu. Bisa menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab."

(4) BERPUASA 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245): ”Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa 'Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata: ”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246): ”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan di atasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11.
Wallahu a’lam.”
--------------------------------------------

(referensi: Websites, Hadits Riyadhus Shalihin, 1001 Kisah Teladan, , Kitab Hisnul Muslim e-book)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar