Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah.
Merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai
hal-hal berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture. Berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau
bertani. Kata culture, juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam
bahasa Indonesia.
Dalam Islam, istilah ini disebut dengan adab. Islam
telah menggariskan adab-adab Islami yang mengatur etika dan norma-norma
pemeluknya. Adab-adab Islami ini meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Tuntunannya turun langsung dari Allah Subhanahu wa ta’ala
melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
teladan terbaik dalam hal etika dan adab ini.Sebelum kedatangan Islam,
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu ialah budaya
jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh Islam,
misalnya tathayyur, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan lain
sebagainya.
Dinul-Islam sangat menitik
beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan yang
universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya
yang membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia
modern untuk kemaslahatan masyarakat Islami.
Allah berfirman:
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il,
Ishaq, Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa
dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri”. Barang
siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi” [‘Ali ‘Imran/3:84-85]
PENETRASI BUDAYA
Proses penetrasi budaya merupakan suatu hal yang tak bisa dihindari.
Karena kehidupan manusia yang saling berhubungan satu sama lain.
Interaksi sosial di antara manusia menyebabkan terjadinya proses
penetrasi budaya ini. Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan, ialah
masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke dalam kebudayaan lainnya.
Penetrasi budaya dapat terjadi dengan dua cara.
1. Penetrasi Damai (Penetration Pasifique).
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan inipun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi atau sintesis.
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan inipun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi atau sintesis.
Akulturasi, ialah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk
kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya,
bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan asli Indonesia dengan India. Asimilasi, adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk
kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis, yaitu bercampurnya dua kebudayaan
yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat
berbeda dengan kebudayaan asli.
Dan sesudah tersebarnya agama Islam di Nusantara, pengaruh-pengaruh
kebudayaan yang telah berasimilasi itu masih tersisa dan dipertahankan
oleh sebagian orang. Oleh karena itu, kita melihat unsur-unsur budaya
India ini pada sebagian ritual keagamaan yang dilakukan oleh sebagian
orang Islam, misalnya dalam upacara-upacara selamatan, seperti halnya
upah-upah di Mandailing, peusijeuk di Aceh, dan tepung tawar di Melayu,
serta upacara-upacara perkawinan dan kematian.
2. Penetrasi Kekerasan (Penetration Violante).
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Sebagai contoh, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan, sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Sebagai contoh, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan, sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.
KEBUDAYAAN DI INDONESIA
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan
lokal yang telah ada sebelum terbentuknya negara Indonesia pada tahun
1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari berbagai budaya
suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan
Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya
terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya, seperti
kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan India. Kebudayaan India terutama
masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum
Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan
Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi, ditandai
dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, yakni kerajaan Kutai,
sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia
karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang
Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk
bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan
Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikah dengan
penduduk local, hingga akhirnya menghasilkan perpaduan kebudayaan
Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian
menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia,
semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Adapun adab-adab Islam masuk ke Indonesia seiring dengan
perkembangannya di Nusantara, yang dibawa oleh dai-dai dari Timur Tengah
dan Asia Selatan.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN MANUSIA
'Aisyah Radhiyalahu 'anha menceritakan: “Sesungguhnya pernikahan pada
masa jahiliyah ada empat macam. Pernikahan sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang sekarang. Yaitu seseorang datang meminang wanita atau
anak gadis kepada walinya, lalu ia memberi mahar kepadanya kemudian
menikahinya”.
Jenis pernikahan lainnya, seorang lelaki berkata kepada istrinya
apabila telah suci dari haidhnya, “pergilah menemui si Fulan lalu
ambillah benih darinya,” kemudian suaminya menjauhi dan tidak
menyentuhnya lagi hingga jelas kehamilannya dari benih si fulan tadi.
Jika ternyata hamil, maka si suami boleh menyetubuhinya bila ia mau. Ia
melakukan itu untuk mendapatkan anak. Pernikahan jenis ini disebut nikah
istibdhâ`.
Pernikahan jenis lain, yaitu berkumpullah beberapa orang lelaki yang
berjumlah sekitar sepuluh orang. Mereka semua menyetubuhi seorang
wanita. Apabila wanita itu hamil atau mengandung, dan telah lewat
beberapa hari setelah melahirkan kandungannya, maka iapun mengirim
bayinya kepada salah seorang dari laki-laki itu. Maka mereka pun tidak
bisa mengelak. Kemudian mereka semua berkumpul dengan wanita itu, lalu
si wanita berkata kepada mereka: “Tentunya kalian telah mengetahui
urusan kalian. Aku telah melahirkan seorang anak, dan anak ini adalah
anakmu hai Fulan”. Si wanita menyebutkan nama salah seorang dari mereka
yang ia sukai, dan anak tersebut dinisbatkan kepada lelaki itu tanpa
bisa menolaknya lagi.
Pernikahan jenis lain, yaitu sejumlah lelaki menyetubuhi seorang
wanita tanpa menolak siapapun lelaki yang datang kepadanya. Dia ini
ialah perempuan pelacur. Mereka menancapkan bendera pada pintu-pintu
rumah sebagai tanda. Siapa saja lelaki yang ingin menyetubuhinya, ia
bebas mendatanginya. Jika perempuan ini hamil dan melahirkan anak, maka
para lelaki itupun dikumpulkan. Lalu dipanggilah qâfah [1] kemudian anak
tersebut dinisbatkan kepada salah seorang dari mereka yang telah
ditunjuk oleh qâfah tersebut. Maka anak itupun dinisbatkan kepadanya
tanpa bisa menolaknya.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi
rasul dengan membawa kebenaran, dihapuslah seluruh jenis pernikahan
jahiliyah kecuali penikahan yang dilakukan oleh orang-orang sekarang
ini.[2]
Dari riwayat ini, kita dapat mengetahui bahwa Islam membiarkan
beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat
dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghapus seluruh adat dan budaya
masyarakat Arab yang ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang budaya-budaya yang mengandung
unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan
budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, silakan melakukannya. Namun jika bertentangan dengan ajaran
Islam, seperti memamerkan aurat pada sebagian pakaian adat daerah, atau
budaya itu berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik dan
pemujaan atau penyembahan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan selain
Allah, maka budaya seperti itu hukumnya haram.
BEBERAPA CONTOH KEBUDAYAAN MASYARAKAT INDONESIA
======================================================
A. Budaya Tumpeng.
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk
kerucut. Itulah sebabnya disebut “nasi tumpeng”. Olahan nasi yang
dipakai, umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi
putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau
masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri
atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat
Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di
atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai
“tumpengan”. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi “tumpengan” pada
malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak
tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan
bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini
dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.
Ada beberapa macam tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut:
1. Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
2. Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan, dan terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini juga dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
3. Tumpeng Pungkur. Digunakan pada saat kematian
seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang
disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong
vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
4. Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
5. Tumpeng Nasi Kuning. Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
6. Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
Dari situ dapat kita ketahui bila tumpeng dibuat dalam rangka
acara-acara atau ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya.
Namun kalau sekedar membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa disertai
acara dan ritual tersebut, maka tidaklah mengapa.
B. Peusijeuk, upah-upah (manyonggot), tepung tawar dan selamatan.
Adat istiadat ini biasa diadakan apabila seseorang memiliki hajatan
atau hendak pergi jauh untuk menghilangkan kesialan. Di daerah Aceh,
acara ini disebut peusijeuk. Di pesisir Melayu disebut tepung tawar, dan
di Jawa dikenal dengan sebutan selamatan. Di daerah Tapanuli Utara dan
Asahan dikenal dengan sebutan upah-upah atau manyonggot.
Tepung tawar biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada
orang yang ditepung tawari. Adapun upah-upah, juga merupakan upacara
menolak kesialan. Biasanya dilakukan terhadap orang yang sakit agar
spiritualnya (roh) kembali ke jasadnya. Yaitu dengan memasak ayam
kemudian diletakkan di piring lalu dibawa mengitari orang yang akan
diupah-upahi, kemudian disuapkan kepada orang tersebut. Tujuannya ialah
mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Acara-acara seperti tersebut di atas, tidak lepas dari unsur-unsur
kepercayaan animisme, dan konon asal-usulnya berasal dari ritual-ritual
nenek moyang.
C. Sungkeman.
Biasanya, kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya
dilakukan pada saat Hari Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang
kala dilakukan juga setiap kali bertemu. Dilakukan dengan cara sujud
kepada orang tua atau orang yang dianggap sepuh (Jawa, tua atau
dituakan). Adat ini mengandung unsur sujud dan rukuk kepada selain
Allah, yang tentunya dilarang dalam Islam.
D. Beberapa adat-istiadat dalam upacara perkawinan adat Jawa
yang bertentangan dengan syariat Islam, karena mengandung unsur syirik
atau maksiat atau lainnya.
1. Tarub atau janur kuning. Sehari sebelum
pernikahan, biasanya gerbang rumah pengantin perempuan akan dihiasi
tarub atau janur kuning yang terdiri dari bermacam tumbuhan dan
daun-daunan, dua pohon pisang dengan setandan pisang masak pada
masing-masing pohon, melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah
tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun
mereka berada (seperti pohon pisang yang mudah tumbuh di manapun).
Tebu Wulung atau tebu merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran sehat.
Cengkir Gading atau buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan saling mencintai dan saling menjagai dan merawat satu sama lain.
Berbagai macam daun seperti daun beringin, mojo-koro, alang-alang,
dadap serep, sebagai simbol kedua pengantin akan hidup aman dan keluarga
mereka terlindung dari mara bahaya. Selain itu di atas gerbang rumah
juga dipasang belketepe, yaitu hiasan dari daun kelapa untuk mengusir
roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada acara pernikahan sedang
berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum tarub dan janur kuning tersebut dipasang, sesajen atau
persembahan sesajian biasanya dipersiapkan terlebih dahulu. Sesajian
tersebut antara lain terdiri dari pisang, kelapa, beras, daging sapi,
tempe, buah-buahan, roti, bunga, bermacam-macam minuman termasuk jamu,
lampu, dan lainnya. Arti simbolis dari sesajian ini ialah agar diberkati
leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di
tempat-tempat dimana upacara pernikahan akan dilangsungkan, seperti
kamar mandi, dapur, pintu gerbang, di bawah tarub, di jalanan di dekat
rumah, dan sebagainya. Dekorasi lain yang dipersiapkan adalah Kembar
Mayang yang akan digunakan dalam upacara panggih.
2. Upacara Siraman.
Acara yang dilakukan pada siang
hari sebelum ijab atau upacara pernikahan ini, bertujuan untuk
membersihkan jiwa dan raga. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi
atau taman keluarga masing-masing dan dilakukan oleh orang tua atau
wakil mereka.
Ada tujuh Pitulungan atau penolong (Pitu artinya tujuh) -biasanya
tujuh orang yang dianggap baik atau penting- yang membantu acara ini.
Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu
Perwitosari, yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata air dan
melambangkan kehidupan. Keluarga pengantin perempuan akan mengirim
utusan dengan membawa Banyu Perwitosari ke kediaman keluarga pengantin
pria dan menuangkannya di dalam rumah pengantin pria.
3. Pecah Kendi.
Yaitu ibu pengantin perempuan atau
Pameas (untuk siraman pengantin pria) atau orang yang terakhir akan
memecahkan kendi dan mengatakan “wis pecah pamore”, artinya sekarang
sang pengantin siap untuk menikah.
4. Pangkas Rikmo lan Tanam Rikmo.
Acara memotong sedikit rambut pengantin perempuan dan potongan rambut tersebut ditanam di rumah belakang.
5. Ngerik.
Yaitu pengantin perempuan duduk di dalam
kamarnya. Pameas lalu mengeringkan rambutnya dan memberi pewangi di
rambutnya. Rambutnya lalu disisir dan digelung atau dibentuk konde.
Setelah Pameas mengeringkan wajah dan leher sang pengantin, lalu ia
mulai mendandani wajah sang pengantin. Lalu sang pengantin akan
dipakaikan baju kebaya dan kain batik. Sesajian untuk upacara Ngerik
pada dasarnya sama untuk acara siraman. Biasanya supaya lebih mudah
sesajian untuk siraman digunakan / dimasukkan ke kamar pengantin dan
dipakai untuk sesajian upacara Ngerik.
6. Gendhongan.
Kedua orangtua pengantin perempuan menggendong anak mereka yang melambangkan ngentaske, artinya mengentaskan seorang anak.
7. Dodol Dhawet.
Kedua orangtua pengantin wanita berjualan minuman dawet, yaitu minuman manis khas Solo, tujuannya agar banyak tamu yang datang.
8. Temu Panggih.
Penyerahan pisang sanggan berupa gedung ayu suruh ayu sebagai tebusan atau syarat untuk pengantin perempuan.
9. Penyerahan Cikal.
Sebagai tanda agar kehidupan mendatang menjadi orang berguna dan tak kurang suatu apapun.
10. Penyerahan Jago Kisoh.
Sebagai tanda melepaskan anak dengan penuh ikhlas.
11. Tukar Manuk Cengkir Gading.
Acara tukar menukar
kembang mayang diawali tukar menukar manuk cengkir gading, sebagai
simbol agar kedua pengantin menjadi pasangan yang berguna bagi keluarga
dan masyarakat.
12. Upacara Midodaren.
Acara ini dilakukan pada
malam hari sesudah siraman. Midodaren berarti menjadikan sang pengantin
perempuan secantik dewi Widodari. Pengantin perempuan akan tinggal di
kamarnya mulai dari jam enam sore sampai tengah malam dan ditemani oleh
kerabat-kerabatnya yang perempuan. Mereka akan bercakap-cakap dan
memberikan nasihat kepada pengantin perempuan.
Orang tua pengantin perempuan akan memberinya makan untuk terakhir
kalinya, karena mulai besok ia akan menjadi tanggung jawab suaminya.
13. Peningsetan.
Peningsetan yang berasal dari kata
“singset” atau langsing, memiliki arti untuk mempersatukan. Kedua
keluarga mempelai setuju untuk kedua anak mereka disatukan dalam tali
pernikahan. Keluarga pengantin pria datang berkunjung ke kediaman
keluarga pengantin perempuan membawa berbagai macam hantaran sebagai
berikut:
Satu set Suruh Ayu (semacam daun yang wangi), mendoakan keselamatan.
Pakaian batik dengan motif yang berbeda-beda, mendoakan kebahagiaan.
Kain kebaya, mendoakan kebahagiaan. Ikat pinggang kain (setagen) bewarna
putih, melambangkan kemauan yang kuat dari mempelai perempuan.
Buah-buahan, mendoakan kesehatan. Beras, gula, garam, minyak, dll,
melambangkan kebutuhan hidup sehari-hari. Sepasang cincin untuk kedua
mempelai. Sejumlah uang untuk digunakan di acara pernikahan.
Acara ini disebut juga acara serah-serahan. Bisa diartikan bahwa sang
calon mempelai perempuan “diserahkan” kepada keluarga calon mempelai
pria sebagai menantu mereka atau calon mempelai pria nyantri di kediaman
keluarga calon mempelai perempuan.
Pada masa kini, demi alasan kepraktisan, kedua belah pihak
kadang-kadang dapat berbicara langsung tanpa upacara apapun. Selain
menghemat waktu dan uang, juga langsung pada pokok persoalan.
14. Nyantri.
Selama acara midodaren berlangsung,
calon mempelai pria tidak boleh masuk menemui keluarga calon mempelai
perempuan. Selama keluarganya berada di dalam rumah, ia hanya boleh
duduk di depan rumah ditemani oleh beberapa teman atau anggota keluarga.
Dalam kurun waktu itu, ia hanya boleh diberi segelas air, dan tidak
diperbolehkan merokok. Sang calon mempelai pria baru boleh makan setelah
tengah malam. Hal itu merupakan pelajaran bahwa ia harus dapat menahan
lapar dan godaan.
Sebelum keluarganya meninggalkan rumah tersebut, kedua orangtuanya
akan menitipkan anak mereka kepada keluarga calon mempelai perempuan,
dan malam itu sang calon mempelai pria tidak akan pulang ke rumah.
Setelah mereka keluar dari rumah dan pulang, calon mempelai pria
diijinkan masuk ke rumah namun tidak diijinkan masuk ke kamar pengantin.
Calon mertuanya akan mengatur tempat tinggalnya malam itu. Ini disebut
dengan Nyantri. Nyantri dilakukan untuk alasan keamanan dan praktis,
mengingat bahwa besok paginya calon pengantin akan didandani dan
dipersiapkan untuk acara Ijab dan acara-acara lainnya.
15. Upacara panggih/temu (mengawali acara resepsi).
Pada upacara ini kembar mayang dibawa keluar rumah dan diletakan di
persimpangan dekat rumah yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Kembar
mayang adalah karangan bunga yang terdiri dari daun-daun pohon kelapa
yang ditancapkan ke sebatang tanggul kelapa. Dekorasi ini memiliki
makna:
Berbentuk seperti gunung, tinggi dan luas, melambangkan seorang
laki-laki harus berpengetahuan luas, berpengalaman, dan sabar. Hiasan
menyerupai keris, pasangan harus berhati-hati di dalam hidup mereka.
Hiasan menyerupai cemeti, pasangan harus selalu berpikir positif dengan
harapan untuk hidup bahagia. Hiasan menyerupai payung, pasangan harus
melindungi keluarga mereka. Hiasan menyerupai belalang, pasangan harus
tangkas, berpikir cepat dan mengambil keputusan untuk keselamatan
keluarga mereka. Hiasan menyerupai burung, pasangan harus memiliki
tujuan hidup yang tinggi. Daun beringin, pasangan harus selalu
melindungi keluarga mereka dan orang lain. Daun kruton, melindungi
pasangan pengantin dari roh-roh jahat. Daun dadap serep, daun ini dapat
menjadi obat turun panas, menandakan pasangan harus selalu berpikiran
jernih dan tenang dalam menghadapi segala permasalahan (menenangkan
perasaan dan mendinginkan kepala). Bunga Patra Manggala, digunakan untuk
mempercantik hiasan kembar mayang.
Sebagai hiasan, sepasang kembar mayang diletakkan di samping kanan
dan kiri tempat duduk pengantin selama resepsi pernikahan. Kembar mayang
hanya digunakan jika pasangan pengantin belum pernah menikah
sebelumnya.
Dan kemudian melanjutkan upacara dengan melakukan beberapa ritual:
16. Balangan Suruh.
Setelah pengantin laki-laki
(dengan ditemani kerabat dekatnya, dan orang tuanya tidak boleh
menemaninya dalam acara ini) tiba di depan gerbang rumah pengantin
perempuan dan pengantin perempuan keluar dari kamar pengantin dengan
diapit oleh dua orang tetua perempuan dan diikuti dengan orangtua dan
keluarganya. Di depannya dua anak perempuan (yang disebut Patah)
berjalan dan dua remaja laki-laki berjalan membawa kembar mayang. Pada
saat jarak mereka sekitar tiga meter, mereka saling melempar tujuh
bungusan yang berisi daun sirih, jeruk, yang ditali dengan benang putih.
Mereka melempar dengan penuh semangat dan tertawa. Dengan melempar daun
sirih satu sama lain, menandakan bahwa mereka adalah manusia, bukan
makhluk jadi-jadian yang menyamar jadi pengantin. Selain itu ritual ini
juga melambangkan cinta kasih dan kesetiaan.
17. Wiji Dadi.
Mempelai laki-laki menginjak telur
ayam hingga pecah dengan kaki kanan, kemudian pengantin perempuan akan
membasuh kaki sang suami dengan air bunga. Proses ini melambangkan
seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya dan
istri yang taat melayani suaminya.
18. Pupuk.
Ibu pengantin perempuan yang mengusap pengantin laki-laki sebagai tanda ikhlas menerimanya sebagai bagian dari keluarga.
19. Sindur Binayang.
Di dalam ritual ini ayah
pengantin perempuan menuntun pasangan pengantin ke kursi pelaminan, ibu
pengantin perempuan menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa sang
ayah menunjukkan jalan menuju kebahagiaan dan sang ibu memberikan
dukungan moral.
20. Timbang/Pangkon.
Di dalam ritual ini pasangan
pengantin duduk di pangkuan ayah pengantin perempuan, dan sang ayah akan
berkata bahwa berat mereka sama, berarti bahwa cinta mereka sama-sama
kuat dan juga sebagai tanda kasih sayang orang tua terhadap anak dan
menantu sama besarnya.
21. Tanem.
Di dalam ritual ini ayah pengantin
perempuan mendudukkan pasangan pengantin di kursi pengantin sebagai
tanda merestui pernikahan mereka dan memberikan berkat.
22. Tukar Kalpika.
Mula-mula pengantin pria
meninggalkan kamarnya dengan diapit oleh anggota laki-laki keluarga
(saudara laki-laki dan paman-paman). Seorang anggota keluarga yang
dihormati terpilih untuk berperan sebagai kepala rombongan. Pada waktu
yang sama, pengantin perempuan juga meninggalkan kamar sambil diapit
oleh bibi-bibinya untuk menemui pengantin pria. Sekarang kedua pengantin
duduk di meja dengan wakil-wakil dari masing-masing keluarga, dan
kemudian saling menukarkan cincin sebagai tanda cinta.
23. Kacar-Kucur/Tampa Kaya/Tandur.
Dengan bantuan
Pemaes, pasangan pengantin berjalan dengan memegang jari kelingking
pasangannya, ke tempat ritual kacar-kucur atau tampa kaya. Pengantin
pria akan menuangkan kacang kedelai, kacang tanah, beras, jagung, beras
ketan, bunga dan uang logam (jumlahnya harus genap) ke pangkuan
perempuan sebagai simbol pemberian nafkah. Pengantin perempuan menerima
hadiah ini dengan dibungkus kain putih yang ada di pangkuannya sebagai
simbol istri yang baik dan peduli.
24. Dahar Kembul/Dahar Walimah.
Kedua pengantin
saling menyuapi nasi satu sama lain yang melambangkan kedua mempelai
akan hidup bersama dalam susah dan senang dan saling menikmati milik
mereka bersama. Pemaes akan memberikan sebuah piring kepada pengantin
perempuan (berisi nasi kuning, telur goreng, kedelai, tempe, abon, dan
hati ayam). Pertama-tama, pengantin pria membuat tiga bulatan nasi
dengan tangan kanannya dan menyuapkannya ke mulut pengantin perempuan.
Setelah itu ganti pengantin perempuan yang menyuapi pengantin pria.
Setelah makan, mereka lalu minum teh manis.
25. Rujak Degan.
Acara pembuka untuk anak pertama,
memohon supaya segera memiliki anak. Rujak degan artinya agar dalam
pernikahan selalu sehat sejahtera.
26. Bubak Kawah.
Acara perebutan alat-alat dapur untuk anak pertama. Artinya agar pernikahan keduanya sehat dan sejahtera.
27. Tumplak Punjen.
Acara awal untuk anak bungsu. Artinya segala kekayaan ditumpahkan karena menantu yang terakhir.
28. Mertui.
Orang tua pengantin perempuan menjemput
orang tua pengantin laki-laki di depan rumah untuk berjalan bersama
menuju tempat upacara. Kedua ibu berjalan di muka, kedua ayah di
belakang. Orangtua pengantin pria duduk di sebelah kiri pasangan
pengantin, dan sebaliknya.
29. Sungkeman.
Kedua pengantin bersujud memohon
restu dari masing-masing orangtua. Pertama-tama ayah dan ibu pengantin
perempuan, kemudian baru ayah dan ibu pengantin pria. Selama sungkeman,
Pemaes mengambil keris dari pengantin pria, dan setelah sungkeman baru
dikembalikan lagi.
Itulah beberapa adat istiadat dan kebudayaan di kalangan masyarakat
Jawa yang bertentangan dengan ajaran Islam. Di antaranya ada yang berupa
syirik, dan di antaranya ada yang berupa maksiat dan
penghambur-hamburan harta dan pemberatan atas manusia.
Maha Benar Allah
yang mengatakan:
“Kami tidak menurunkan Al-Qur`ân ini kepadamu agar kamu menjadi susah” [Thaha 20:2].
Siapa saja yang berpaling dari pedoman dan syariatnya pasti sempit dan susah hidupnya,
Allah juga berfirman:
“Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. [Thaha/20:124].
E. Tabot atau Tabuik.
Tabot atau Tabuik, adalah upacara
tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan
kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib
dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala,
Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syaikh
Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaih
Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu kemudian anak
mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga
Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar
kalendar islam) setiap tahun.
Pada awalnya, inti upacara Tabot ialah
untuk mengenang upaya pemimpin Syi’ah dan kaumnya mengumpulkan potongan
tubuh Husein, mengarak dan memakamkannya di Padang Karbala.
Istilah Tabot berasal dari kata Arab, “tabut”, yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti.
Dalam Al-Qur`ân, kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang
berisikan kitab Taurat. Bani Israil pada masa itu percaya bahwa mereka
akan mendapatkan kebaikan bila Tabot ini muncul dan berada di tangan
pemimpin mereka. Sebaliknya mereka akan mendapatkan malapetaka bila
benda itu hilang.
Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di
Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara
berkabung para penganut paham Syi’ah ini dibawa oleh para tukang yang
membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang
bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di
bagian selatan India yang kebetulan merupakan penganut Islam Syi‘ah.
Para pekerja yang merasa cocok dengan tata kehidupan masyarakat
Bengkulu, dipimpin oleh Imam Senggolo alias Syaikh Burhanuddin,
memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas,
sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Tengah Padang. Tradisi yang
dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan kepada keturunan mereka yang
telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli dan menghasilkan
keturunan yang dikenal dengan sebutan orang-orang Sipai.
Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami
asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan
dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan sebutan
upacara Tabot. Upacara Tabot ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan,
Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil.
Namun dalam perkembangannya, kegiatan Tabot menghilang di banyak tempat.
Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yaitu di Bengkulu
dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumbar (masuk sekitar tahun 1831)
dengan sebutan Tabuik. Keduanya sama, namun cara pelaksanaannya agak
berbeda.
Jika pada awalnya upacara Tabot (Tabuik)
digunakan oleh orang-orang Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husain bin
Ali bin Abi Thalib, maka sejak orang-orang Sipai lepas dari pengaruh
ajaran Syi‘ah, upacara ini dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga
untuk memenuhi wasiat leluhur mereka. Belakangan, sejak satu dekade
terakhir, selain melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga
dimaksudkan sebagai wujud partisipasi orang-orang Sipai dalam pembinaan
dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat.
Dengan alasan melestarikan budaya itulah, banyak kaum muslimin
melakukannya. Padahal tidak diragukan lagi bahwa adat dan budaya seperti
itu sangat jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan mengandung
unsur syirik dan bid’ah. Sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk
menjauhinya.
F. Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain:
1. Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2. Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3. Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4. Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5. Sunatan yaitu acara khinatan.
3. Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4. Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5. Sunatan yaitu acara khinatan.
Masyarakat di Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami.
Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako’ake
(menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu
dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan
acara temu atau kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal,
biasanya pihak keluarga melakukan acara kirim donga (kirim doa) pada
hari ke-1, ke-3 (telung dino), ke-7 (pitung dino), ke-40 (patang puluh
dino), ke-100 (satus dino), 1 tahun (pendak pisan), 2 tahun (pendak
pindo) dan 3 tahun atau 1000 hari setelah kematian (nyewu).
Acara-acara seperti ini berbau budaya Hindu yang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat.
Kesimpulannya: Sebenarnya masih banyak lagi adat dan budaya yang
menyebar di tengah-tengah masyarakat yang bertentangan dengan
nilai-nilai Islam yang benar. Adapun yang kami sebutkan itu hanyalah
sebagai contoh, dan bentuknya bisa berubah-ubah dan bervariasi sesuai
dengan perkembangan budaya itu sendiri.
Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin secara cermat meneliti asal
usulnya, apakah budaya itu mengandung unsur yang dilarang dalam agama
atau tidak? Sebab, kita harus menjadikan syariat Islam sebagai
barometernya, bukan sebaliknya. Karena sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah, dan sebenar-benar pedoman adalah pedoman para
salaf.
Wallahu A'lamu Bishshowab...
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar