Dalam terminologi sastra Jawa dikenal kata ujug-ujug.
Dalam bahasa Indonesia kata ini diartikan tiba-tiba atau spontanitas.
Kesan awal yang tertangkap cenderung berkonotasi negatif, setidaknya
bila acuan kita pada nilai kata, sebab kata ujag-ujug ini nyaris sepadan dengan kata grusa-grusu dalam bahasa Indonesia berarti ceroboh. Namun dalam konteks filsafat hidup, ternyata kata ini mengandung makna pasrah dan sumrawah. Bahkan
kata ini dijabarkan oleh ketua umum PSHT H. Tarmadji Boedi Harsono,
S.E. sebagai universalitas kemanusiaan manusia. Acuannya adalah bahwa
hidup bukanlah sesuatu yang bisa direncanakan, sebab proses hidup
sesungguhnya terangkai dalam kepastian-kepastian.
Yang tidak boleh dilupakan bahwa proses
hidup juga terjalin melalui tindakan-tindakan (aktifitas) sehingga
menghasilkan suatu output yang tidak ternyana tapi bernilai. Karena
perencanaan adalah suatu bentuk pemikiran yang jauh kedepan sedangkan
manusia adalah makhluk yang hanya mampu berkisar pada kekinian, sehingga
sebaiknya seseorang tidak usah terlalu banyak berencana yang cenderung ngayawara (berbual), jadi tindakan nyata adalah jalan sekaligus pilihan terbaik.
Bukanlah inspirasi selalu datang ujug-ujug (spontanitas),
padahal mesti disepakati inspirasi adalah jantung perencanaan, pelatuk
dari fokus bidikan. Padahal tanpa inspirasi mustahil rencana tersusun,
tanpa inspirasi mustahil langkah akan terformat. Bahwa hidup bukan
tertata dalam konteks matematis, adalah benar adanya. Hidup adalah tema
tekstual dimana dua ditambah dua tidak lagi empat tapi bisa tambah bisa
berkurang, dan jika demikian hukum yang terjadi kenapa kita mengharamkan
manajemen ujug-ujug yang dijabarkan dan dilandasi dengan konsepsi Ilahiah, dilambari keyakinan, keimanan dan ketaqwaan.
Adalagi falsafah Jawa yang disampaikan
yang artinya kurang lebih adalah hati yang bersih. Para linuih dalam
kultur Jawa sering menyarankan kepada siswanya untuk mengasah jati diri,
sehingga mampu menemukan ”Tapake wayang galihe kangkung”. Seorang manusia tidak mungkin akan menemukan tapak kaki wayang atau pokok (galihe) kangkung. Bahwa tapak wayang dan galihe kangkung adalah
sesuatu yang tidak mungkin ditemukan di dunia nyata ini. Ia merupakan
fenomena dalam terma ma'rifat, yang tidak sembarang orang mampu
menerjemahkannya, apalagi menemukannya.
Pertanyaannya, di mana kita bisa
menemukan ”Tapake wayang lan galihe kangkung” itu. Mencermati
kalimat ini dalam sebuah wawancara khusus dengan Mas Madji selaku ketua
umum PSHT pusat Madiun dikatakan bahwa kalimat itu merupakan kalimat sanepan atau juga prolampitan yaitu sebuah kalimat yang menyembunyikan makna kesejatian, kecerdasan logika saja tidak akan mampu mendekati makna sesungguhnya.
Secara harfiah, tapak wayang atau
jejak wayang tidak akan terlihat oleh mata. Sebab wayang digerakkan oleh
Sang Dalang dan jejaknya hanya terpantul lewat cahaya (yang menyorot
dari arah Sang Dalang) kemudian menimpa kelir atau bentangan kain putih
di ruang kosong berpigura gunungan. Dalam pagelaran wayang kulit atau
di dunia pakeliran, di sebelah kiri ruang kosong dipajang
ratusan bahkan ribuan wayang (biasa disebut Bala Kurawa atau kelompok
kiri), berjajar-jajar menunggu waktu Sang Dalang berkenan menggerakkan
untuk melengkapi peran dalam sebuah fragmen atau lakon. Sedangkan
di sebelah kanan gunungan juga berjajar ratusan wayang (biasa disebut
Bala Pandhawa atau kelompok kanan), keberadaan merekapun sama menunggu
Sang Dalang memainkan dalam sebuah peran. Makna lainnya adalah jika
tidak ada cahaya yang menerangi kaki wayang, maka tapak kaki itupun
tidak akan tampak di bentangan kain putih yang disebut kelir. Sehingga
menjadi hampa atau kosong atau juga hawa, ada tetapi tidak terlihat,
bisa dirasa kehadirannya tetapi tidak bisa diraba. Sampai di sini lantas
banyak orang yang kemudian mencoba menerjemahkan bahwa tapake wayang itu
sama dengan udara. Misteri inilah yang sesungguhnya menjadi PR
(Pekerjaan Rumah) bagi para komunitas penghayat ilmu ma'rifat.
Sampai pada tema ini pun Mas Madji selaku
ketua umum PSHT pusat Madiun cenderung diam, Mas madji justru
menyarankan kita mulai detik ini berlomba-lomba resik resikan ati (membersihkan
hati). Beliau menegaskan bahwa hati yang bersih adalah awal terbukanya
selubung ilmu ghaib. Namun demikian usaha membersihkan hati itu tidak
mungkin terjadi tanpa kita terus menerus mengasah diri, sabar dan ikhlas
menerima suratan takdir baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Dan
lebih penting lagi, selalu berserah diri dan berharap ridlo Allah, sebab
puncak dari segala ilmu itu bersumber pada ridlo Allah. Maka muuncul
keyakinan bahwa terma ini sudah menyerpih pada tataran ilmu kasunyatan dengan apa yang disebut ”Mencari Sang Mutiara Hidup Bertahta” ”Lelakuning Urip” itulah kata yang paling tepat untuk merujuk pada fenomena ini dan ”tirakat” adalah kata yang dimaksud.
Berikut beberapa ungkapan peribahasa
Jawa atau bisa disebut juga falsafah hidup orang Jawa yang biasa
dijadikan falsafah hidup para insan pencak silat:
- Aluwung tan entengake patiku tinimbang aku kalah, amargo bungah susah, kendel jerih iku sing nduwe manungso, yen pati urip, rejeki lan jodo iku amung kagungane Gusti Allah Sing Murbeng Gesang, (saya lebih baik mati daripada saya kalah, karena gembira susah, berani takut itu yang memiliki manusia, tetapi hidup mati, rizki dan jodoh itu hanyalah milik Allah yang maha kuasa atas segala yang hidup).
- Cilik ora kurang akal, gede ora turah akal, waton isih kena tak pandeng aku ora bakal mundur kalah, (kecil tidak kurang alat, besar tidak lebih alat, asal masih bisa aku lihat tidak harus kalah).
- Kewan gelut kalah gede kalah, manungso gelut kalah gede durung mesti kalah, (binatang berkelahi kalah besar sudah pasti kalah, manusia berkelahi kalah besar belum pasti kalah).
- Sepiro gedening sengsoro yen tinompo amung dadi coba, (seberapa besarnya kesengsaraan apabila kita terima dengan tabah, rela dan ikhlas itu hanya akan menjadi ujian dari tuhan yang maha kuasa).
- Yen mlaku aja sok ndangak mundhak kesandhung, mula luwih becik tumungkul (bila berjalan jangan suka melihat ke atas karena dapat tersandung, maka lebih baik melihat ke bawah). Maksudnya dalam hidup itu jangan suka memandang mereka yang lebih kaya, karena dapat menimbulkan perasaan iri hati. Lebih baik memandang mereka yang tingkat ekonominya di bawah kita, sebab sikap ini dapat membawa perasaan dan kesadaran untuk bersyukur kepada
- Aja kedhuwuran ing pajangka (jangan ketinggian dalam cita-cita). Maksudnya cita-cita yang terlalu tinggi tidak sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki sulit untuk mencapainya.
- Sing sapa rasa risi (barang siapa yang merasa, maka tidak enak perasaannya). Maksudnya bila seseorang berbuat kesalahan kepada orang lain dan belum sempat minta maaf atau berutang kepada orang lain dan belum dapat membayarnya, maka apabila bertemu dengan orang yang bersangkutan dia akan merasa tidak enak dan tidak
- Aja dumeh (jangan mentang-mentang). Maksudnya, mentang-mentang sedang berkuasa atau lebih kuat kemudian ber-aji mumpung dan berbuat sewenang-wenang. Karena kekuasaan dan kekuatan hanyalah sementara.
- Tepa slira (ukur badan). Maksudnya, segala perbuatan seseorang kepada orang lain harus berdasarkan perasaan diri sendiri. Misalnya jika kita dipukul terasa sakit maka jangan memukul orang lain.
- Ngerti sakdurunge winarah (tahu sebelum peristiwa itu terjadi). Maksudnya, dikalangan orang Jawa ada orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu kejadian yang belum terjadi.
- Wong ngalah kuwi luhur wekasane (orang mengalah itu mulia akhirnya). Maksudnya, orang yang mau mengalah dengan orang lain misalnya dalam suatu pertikaian maka akhirnya dialah yang akan
- Urip iki mung mampir ngombe (hidup
itu hanya sekedar singgah untuk minum). Hidup manusia di dunia dapat
diibaratkan seperti orang pergi ke pasar, maka dia tidak akan lama di
pasar dan akan
kembali ke rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar