Fardhu adalah kata dari bahasa Arab. Fardhu artinya adalah apa yang Pembuat Hukum haruskan untuk dikerjakan dan yang sifat wajibnya dibuktikan dengan bukti yang definitif.
Kewajiban
yang dituntut oleh Allah kepada manusia ada dua macam; kewajiban
individual dan kolektif. Macam yang pertama disebut dengan Fardlu ‘Ain dan yang kedua disebut dengan Fardlu Kifāyah.
Dua macam ini merupakan pembagian hukum wajib dilihat dari segi siapa yang dikenai tuntutan untuk mengerjakannya.
Perbuatan yang Fardlu ‘ain adalah
perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada tiap-tiap orang mukallaf
agar dikerjakan. Setiap orang mukallaf dibebani perbuatan tersebut tanpa
bisa digantikan oleh yang lain. Termasuk kategori perbuatan ini adalah
mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadlan, dan lain sebagainya.
Sedangkan perbuatan yang fardlu kifayah
adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada orang-orang mukallaf
secara kolektif. Artinya, jika ada salah seorang yang mengerjakan
perbuatan tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika
sama sekali tidak ada yang mengerjakan, maka berdosalah seluruhnya.
Termasuk kategori perbuatan ini adalah merawat mayyit (tajhīz al-mayyit),
melaksanakan jihad, melakukan amar makruf nahi mungkar, membangun
sekolah atau rumah sakit, menjabat sebagai presiden, dan lain sebagainya.
Apa yang membedakan antara perbuatan yang
fardlu ‘ain dan fardlu kifayah?
Pertama, dari sisi kepada siapa
perintah perbuatan tersebut ditujukan. Perintah untuk melaksanakan
perbuatan yang fardlu ‘ain ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf (al-kully al-afrādy).
Perintah Allah kepada manusia untuk melakukan shalat lima waktu,
misalnya, ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf. Setiap orang
mukallaf dibebani untuk melaksanakannya tanpa bisa digantikan oleh yang
lain. Sedangkan perintah untuk melaksanakan perbuatan yang fardlu
kifayah tidak ditujukan kepada masing-masing orang mukallaf, melainkan
keseluruhannya (al-kully al-majmū’iy/al-hai’ah al-ijtimā’iyah).
Perintah syariat agar ada pemimpin bagi suatu daerah tidak ditujukan
kepada tiap-tiap orang yang ada di daerah tersebut, melainkan secara
keseluruhan. Artinya, tidak setiap orang di daerah tersebut harus
menjadi pemimpin. Jika ada salah seorang di antara mereka yang dipilih
menjadi pemimpin, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.
Namun demikian, sebenarnya ulama berdebat
mengenai kepada siapa tuntutan untuk melakukan perbuatan fardlu
kifayah. Dalam contoh kewajiban merawat mayyit, misalnya, kepada siapa
tuntutan kewajiban untuk melaksanakannya ditujukan?
Pertama, tuntutan kewajiban itu
ditujukan kepada sebagian orang saja. Sebagian orang ini adalah mereka
yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakan perbuatan tersebut.
Jadi, yang dikenai kewajiban untuk merawat mayyit, misalnya, adalah
orang yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakannya. Jika ia
menduga sudah ada orang lain yang mengerjakan, maka ia tidak dikenai
kewajiban. Soal siapa sebagian itu, pendapat ini masih terbelah menjadi
tiga kubu. Ada yang mengatakan bahwa sebagian itu tidak tertentu atau mubham.
Ada pula yang mengatakan bahwa yang sebagian itu sudah ditentukan oleh
Allah. Sedangkan yang lain menyatakan bahwa yang sebagian itu adalah
orang yang telah melaksanakannya. Kelompok ini beralasan, perintah-perintah syariat yang menuntut untuk
melakukan perbuatan fardlu kifayah tidak ditujukan kepada seluruh
manusia, melainkan sebagian saja.
Sebagaimana firman Allah,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Ali Imrān [3]: 104)
Ayat di atas menuntut pelaksanaan amar
makruf nahi mungkar. Tuntutan kewajiban yang ada pada ayat tersebut
ditujukan kepada sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Hal tersebut
terbukti dengan adanya kata مِنْكُمْ . Kata min tersebut memberi pengertian tab’īdl,
yaitu sebagian. Di samping itu, kelompok ini juga beralasan, oleh
karena kewajiban fardlu kifayah ini gugur jika ada sebagian orang yang
mengerjakannya maka yang wajib mengerjakan hanya sebagian saja.
Kedua, kewajiban itu adalah untuk tiap-tiap orang (al-kully al-afrādy)
sebagaimana fardlu ‘ain, namun gugur bila ada sebagian yang
mengerjakannya. Pendapat ini berargumen dengan dua alasan: Pertama,
perintah yang menuntut untuk melakukan perbuatan yang fardlu kifayah
seringkali berbentuk umum. Sebagaimana firman Allah,
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190)
“Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190)
Perbuatan jihad yang diperintahkan oleh
ayat di atas adalah perbuatan fardlu kifayah. Perintah dalam ayat
tersebut bersifat umum, mencakup kepada tiap-tiap orang mukallaf. Di
samping itu, argumen kedua dari kelompok ini adalah, bahwa apabila
perintah untuk melaksanakan perbuatan fardlu kifayah diabaikan, maka
semua orang berdosa. Ini menunjukkan, bahwa kewajiban untuk melakukan
perbuatan yang fardlu kifayah ditujukan kepada setiap orang mukallaf.
Ketiga, kewajiban itu ditujukan kepada keseluruhan orang mukallaf (al-kully al-majmū’iy/al-ha’iah al-ijtimā’iyah)
dan gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Mengapa demikian?
sebab jika kewajiban itu ditujukan kepada tiap-tiap orang sebagaimana
pendapat sebelumnya, berarti itu sama dengan menghapus kewajiban yang
telah ditetapkan. Menghapus kewajiban itu hanya bisa dilakukan dengan
dalil yang menghapus (nasakh) kewajiban tersebut. Sedangkan kewajiban fardlu kifayah ini sama sekali bukan menasakh suatu kewajiban.
Ketiga pendapat di atas memiliki argumen
yang kuat dan benar menurut masing-masing. Namun demikian, semuanya
sepakat, bahwa perbuatan fardlu kifayah, apabila dikerjakan oleh
sebagian orang maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Dan jika tidak
ada seorang pun yang mengerjakannya, maka berdosalah seluruhnya.
Perbedaan fardlu ‘ain dan fardlu kifayah
yang kedua adalah, dalam perbuatan yang fardlu ‘ain, ada dua hal yang
diperhatikan, yaitu siapa yang mengerjakan dan ketercapaian maksud
perbuatannya. Sedangkan dalam fardlu kifayah, siapa yang mengerjakan
tidak menjadi perhatian utama, yang penting maksud dari perbuatan yang
diperintahkan bisa tercapai. Perbedaan ini dapat dilihat dari
pengertian, bahwa fardlu kifayah adalah,
مُهِمٌ يُقْصَدُ حُصُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ نَظْرٍ بِالذّاتِ اِلى فَاعِلِهِ
“Perbuatan penting yang ingin dicapai (tujuannya) tanpa memperhatikan secara terutama terhadap pelakunya.”
Membangun rumah sakit di sebuah daerah,
misalnya, adalah perbuatan yang fardlu kifayah. Tujuannya adalah agar
orang-orang dapat berobat ketika sakit. Untuk mencapai tujuan ini, tidak
menjadi soal utama siapa yang mengerjakannya. Yang penting tujuan bisa
tercapai. Berbeda dengan shalat lima waktu. Tujuannya adalah tercapainya
kekhusyu’an sebagai bentuk ketundukan dan ketakwaan kepada Allah. Dalam
shalat ini, siapa pelakunya menjadi perhatian utama.
Perbedaan yang ketiga adalah dari sisi
maslahat yang dicapai. Maslahat yang dicapai dalam mengerjakan perbuatan
fardlu ‘ain bersifat individual, artinya, ketika perbuatan tersebut
dikerjakan, yang selamat dari dosa hanyalah orang yang mengerjakannya
saja. Berbeda dengan perbuatan fardlu kifayah, yang selamat dari dosa
tidak hanya orang yang mengerjakan saja.
Dari sini, muncul perdebatan di
kalangan pakar ushul fiqh, soal lebih utama mana antara fardlu ‘ain dan
fardlu kifayah. Sebagian mengatakan lebih utama fardlu ‘ain, sebab dari
saking pentingnya, syariat mewajibkan kepada setiap orang mukallaf
untuk mengerjakannya. Sementara sebagian yang lain mengatakan lebih
utama fardlu kifayah, sebab jika perintahnya dilaksanakan oleh sebagian
orang, itu bisa menyelamatkan sebagian lain yang tidak megerjakan dari
dosa.
Selanjutnya, perbuatan yang fardlu
kifayah dapat berubah menjadi fardlu ‘ain. Hal tersebut disebabkan oleh
dua hal:
Pertama, ketika yang mampu melaksanakan perbuatan fardlu
kifayah hanya satu orang. Misalnya, jika ada orang tenggelam, dan hanya
seorang yang mampu menyelamatkannya, maka ia hukumnya fardlu ‘ain untuk
menyelamatkan orang yang tenggelam itu.
Kedua, ketika perbuatan fardlu
kifayah itu telah dikerjakan. Jika telah mengerjakan perbuatan yang
fardlu kifayah, maka itu sama dengan fardlu ‘ain, artinya sama-sama
harus diselesaikan.
Di samping fardlu ‘ain dan fardlu
kifayah, ada juga yang disebut dengan sunnah ‘ain dan sunnah kifayah.
Perbedaannya dengan fardlu adalah ketegasan perintahnya. Jika perintah
fardlu ‘ain dan kifayah bersifat tegas, sementara sunnah ‘ain dan sunnah
kifayah bersifat tidak tegas. Perbuatan sunnah ‘ain seperti shalat
dhuha. Sedangkan perbuatan yang sunnah kifayah seperti mendo'akan orang
yang bersin (tasymīt).
Wallahu a’lamu bisshowab
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar