Sayyidi Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari lahir di Desa Lok
Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada 15 Shafar 1122 H, bertepatan dengan
19 Maret 1710 M. Dia merupakan putra tertua dari lima bersaudara, ayahnya
bernama 'Abdullah dan ibunya bernama Siti Aminah. Muhammad Arsyad lahir di
lingkungan keluarga yang terkenal taat beragama. Kondisi lingkungan yang baik
ini mempunyai andil yang besar dalam membentuk kepribadian
Muhammad Arsyad selanjutnya.
Ketika dia berumur sekitar tujuh tahun, Sultan Tahlil
Allah (1700-1745 M), penguasa Kesultanan Banjar pada waktu itu, meminta kepada
orang tua Arsyad agar bersedia menyerahkan anaknya untuk dididik dan dibesarkan
di lingkungan istana sekaligus diadopsi sebagai anak angkatnya. Keinginan ini
dilakukan, karena Sultan tertarik dengan kecerdasan dan ketrampilan Arsyad muda
ketika mengadakan kunjungan kerja ke Desa Lok Gabang. Meskipun 'Abdullah
dan Aminah orang tua Arsyad, sebetulnya merasa keberatan untuk melepaskan anak
tertuanya itu untuk diadopsi sultan, namun mereka tidak kuasa untuk menolak
maksud baik Sultan. Merekapun menyerahkan anaknya kepada Sultan untuk tinggal
bersama anak-anak dan cucu-cucu keluarga istana. Muhammad Arsyad tinggal di
lingkungan istana Kesultanan Banjar ini selama sekitar 23 tahun, karena pada umur
sekitar 30 tahun dia merantau untuk menuntut ilmu di Haramain; Mekkah dan
Madinah. Ia belajar di Mekkah kurang lebih 30 tahun dan belajar di Madinah
kurang lebih 5 tahun. Dia kembali lagi ke Banjar pada Ramadhan 1186 H/Desember
1772.
Sebelum
berangkat untuk menuntut ilmu ke Mekkah dan Madinah, Muhammad Arsyad dikawinkan
oleh Sultan dengan seorang wanita bernama Bajut yang ditinggalkannya dalam
kondisi hamil. Istrinya ini melahirkan seorang bayi perempuan yang kemudian
diberi nama Syarifah, ketika Muhammad Arsyad masih berada di perantauan, sibuk
menggeluti pelajaran-pelajarannya. Ketika Syarifah sudah beranjak dewasa, dia
(sebagai wali mujbir) mengawinkannya dengan sahabatnya sendiri, 'Abd Al Wahab
Bugis, sedangkan Sultan (sebagai wali hakim) juga menikahkan dengan seseorang
yang bernama Usman (permasalahan ini dibahas lebih lanjut dalam pemikiran Syekh
Arsyad dalam Ilmu Falak).
Sekembalinya
dari tanah suci, Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di wilayah
Kalimantan Selatan melalui jalur pendidikan, dakwah, tulisan dan keluarga.
Dalam jalur pendidikan, dia mendirikan pondok pesantren lengkap dengan sarana
dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para
santrinya. Dalam jalur dakwah, dia mengadakan pengajian-pengajian umum baik
untuk kalangan kelas bawah maupun kalangan istana. Dalam tulisan, dia aktif
menulis kitab-kitab yang bisa dibaca hingga sekarang.
Sedangkan dalam jalur keluarga, dia melakukan dakwah
dengan mengawini para wanita-wanita terhormat untuk mempermudah penyebaran
Islam di masyarakat, sehingga dalam catatan sejarah, ada sebelas orang isteri
dalam kehidupannya. Dia mengawini para isterinya tidak bersamaan
dan tidak lebih dari empat orang dalam hidupnya, tetapi apabila salah seorang
isterinya meninggal, dia menikah lagi dan begitu seterusnya. Syekh Arsyad dapat
berlaku bijaksana dan adil terhadap para isterinya, sehingga mereka hidup rukun
dan damai.
Isteri-isteri
Syekh Arsyad tersebut adalah:
1. Bajut; melahirkan Syarifah dan Aisyah.
2. Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Na'im, dan Khalifah H. Syahab Al-Din.
3. Lipur; melahirkan 'Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H. 'Abd Allah, 'Abd Al-Rahman, dan 'Alim al-fadhil 'Abd Al-Rahim.
4. Guwat (keturunan Cina; Go Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain Al-Din, Rihanah, Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad berusaha menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya untuk menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
5. Turiyah; melahirkan Nur’ain, Amah, dan Caya.
6. Ratu Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah, Muhammad, dan Maryamah.
7. Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman.
8. Kadarmik.
9. Markidah.
10. Liyyuhi, dan
11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak memberikan keturunan (Kadir, 1976).
Syekh Arsyad melakukan dakwah di Banjar selama kurang lebih 40 tahun. Menjelang ajalnya, dia menderita sakit lumpuh, darah tinggi, dan masuk angin dan akhirnya dia meninggal dalam usia 105 tahun (hitungan tahun Hijriyah) atau 102 tahun (hitungan tahun Masehi). Sebelum meninggal, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan apabila sungai dapat dilayari. Namun apabila tidak bisa, dia minta dikebumikan di Karang Tengah, tempat isteri pertamanya, Bajut dimakamkan. Ketika dia meninggal, air sedang surut, maka wasiat pertamanya yang dilaksanakan. Dia meninggal pada 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).
1. Bajut; melahirkan Syarifah dan Aisyah.
2. Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Na'im, dan Khalifah H. Syahab Al-Din.
3. Lipur; melahirkan 'Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H. 'Abd Allah, 'Abd Al-Rahman, dan 'Alim al-fadhil 'Abd Al-Rahim.
4. Guwat (keturunan Cina; Go Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain Al-Din, Rihanah, Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad berusaha menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya untuk menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
5. Turiyah; melahirkan Nur’ain, Amah, dan Caya.
6. Ratu Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah, Muhammad, dan Maryamah.
7. Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman.
8. Kadarmik.
9. Markidah.
10. Liyyuhi, dan
11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak memberikan keturunan (Kadir, 1976).
Syekh Arsyad melakukan dakwah di Banjar selama kurang lebih 40 tahun. Menjelang ajalnya, dia menderita sakit lumpuh, darah tinggi, dan masuk angin dan akhirnya dia meninggal dalam usia 105 tahun (hitungan tahun Hijriyah) atau 102 tahun (hitungan tahun Masehi). Sebelum meninggal, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan apabila sungai dapat dilayari. Namun apabila tidak bisa, dia minta dikebumikan di Karang Tengah, tempat isteri pertamanya, Bajut dimakamkan. Ketika dia meninggal, air sedang surut, maka wasiat pertamanya yang dilaksanakan. Dia meninggal pada 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).
Ø Riwayat Pendidikan
Muhammad Arsyad hidup di tengah-tengah lingkungan
keluarga yang taat beragama, dan di sinilah, untuk pertama kalinya dia
memperoleh pendidikan dan teladan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Di usia yang
sangat belia (sekitar umur tujuh tahun), dia telah fasih membaca Al Qur’an.
Karenanya, etika Sultan Tahlil Allah, penguasa Kesultanan Banjar pada waktu
itu, mengadakan kunjungan kerja ke Desa Lok Gabang, Sultan tertarik dengan
kecerdasan dan keterampilan Arsyad muda (7 tahun) dan meminta kepada orang
tuanya untuk dididik di lingkungan istana dan dijadikan sebagai anak angkat. Di
sinilah Muhammad Arsyad memperoleh pendidikan yang lebih berkualitas dari para
guru yang didatangkan Sultan ke istana (Azra, 1998 dan Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1994).
Ketika
Muhammad Arsyad berusia sekitar 30 tahun, Sultan Tahlil Allah mengirimkan dia
ke Mekkah untuk menuntut ilmu dengan biaya istana. Dia belajar di Mekkah kurang
lebih selama 30 tahun. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, dia tidak hanya
mendalami ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti geografi,
biologi, matematika, geometri dan astronomi. Kecintaan dan kehausannya terhadap
ilmu, mendorong Arsyad untuk belajar lagi ke Madinah kurang lebih selama lima
tahun kepada imam haramain, Syekh al-Islam Muhammad b. Sulaiman Al-Kurdi,
seorang mufti Madinah dan Syekh Muhammad b. 'Abd Al-Karîm Al-Sammani Al-Madani,
seorang sufi besar. Azyumardi Azra (1998) menyebutkan kemungkinan, bahwa Syekh
Arsyad juga belajar kepada Ibrahim Al-Ra’is Al-Zamzami, yang darinya dia
mempelajari ilmu falak (astronomi), disiplin keilmuan yang nanti menjadikannya
seorang ahli yang paling menonjol di antara para ulama Indonesia.
Ketika berada di
Mekkah, Arsyad belajar bersama dengan tokoh-tokoh abad ke-18 lainnya; Syekh 'Abd Al-Samad Al-Palimbani dari Palembang (Sumatera Selatan), 'Abd Al-Wahab
Bugis (Sadanring Daeng Bunga Wardiah) dari Ujung Pandang (Sulawesi Selatan),
dan Syekh 'Abd Al-Rahman Al-Masri Al-Batawi (Jakarta). Keempat serangkai ini
adalah sama-sama murid seorang sufi besar, Syekh Muhammad b. Abd Al-Karîm
Al-Sammani Al-Madani dari Madinah.
Pada mulanya,
empat serangkai ini bermaksud untuk melanjutkan studinya ke Mesir, tetapi oleh
gurunya, Syekh Muhammad b. Sulaiman Al-Kurdi, mereka disarankan untuk pulang ke
kampung halaman masing-masing. Imam Haramain tersebut menilai bahwa bekal
keilmuan mereka sudah memadai untuk membina umat di daerah-daerah tempat asal
mereka, sehingga mereka tidak perlu lagi melanjutkan studi ke Mesir, lagi pula
umat di kampung halaman masing-masing lebih membutuhkan pembinaan dari mereka
(Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994). Namun, menurut Azyumardi Azra (1998)
mereka memutuskan tetap pergi ke Mesir, tetapi hanya untuk berkunjung, bukan
untuk melanjutkan studinya. Indikasi ini ditunjukkan dengan pemberian gelar
kepada salah seorang teman Syekh Arsyad, Syekh ‘Abd Al-Rahman dari Betawi
dengan gelar al-Mashri/al-Misry pada namanya.
Karir Keilmuan
dan Pemikiran Syekh Arsyad
Ø Bidang Fatwa
Ketika Syekh
Arsyad berada di Mekkah, beberapa tahun sebelum kembali ke Indonesia, karena
kedalaman ilmunya dalam bidang keagamaan, dia diberi kepercayaan oleh gurunya,
Syekh Atha’ Allah, untuk mengajar dan memberikan fatwa di Masjid al-Haram,
tentu saja dengan bimbingan para gurunya. Persoalan yang mengemuka di sana
antara lain masalah kedaerahan Banjar yang sering dipantau oleh Syekh Arsyad
melalui surat menyurat, yaitu apakah Sultan Banjar berhak menghukum orang
laki-laki yang tidak melaksanakan shalat Jumat dengan denda membayar sejumlah
uang kepada sultan Banjar. Permasalahan ini juga ditanyakan kepada gurunya,
Syekh Muhammad b. Sulaiman Al-Kurdi, sehingga permasalahan ini dimasukkan ke
dalam Kitab Fatawa karangannya (Steenbrink, 1984).
Ø
Bidang Ilmu Falak:
1.
Kasus Arah Kiblat
Dalam perjalanan pulang
dari Tanah Suci ke Indonesia, Syekh Arsyad tidak langsung pulang ke
Banjarmasin, dia singgah dulu bersama sahabatnya Syekh ‘Abd Al-Wahab Bugis
beberapa bulan di rumah sahabatnya, Syekh ‘Abd Al-Rahman Al-Masri di Jakarta. Selama
di Jakarta, Syekh Arsyad sempat membetulkan arah kiblat masjid-masjid yang
menurut pelajaran ilmu falak yang telah dipelajari dan menurut keyakinannya
tidak tepat. Masjid-masjid
tersebut di antaranya adalah: Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang, dan
Masjid Pekojan. Dalam mihrab Masjid Jembatan Lima yang telah dibetulkan arah
kiblatnya tersebut terdapat prasasti Arab yang menunjukkan bahwa kiblat masjid
ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Al-Banjari (Muhammad Arsyad)
pada tanggal 4 Safar 1186 H/7 Mei 1772 M (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
1994). Dalam masalah ini Syekh Arsyad berpendapat bahwa arah kiblat harus
diperbaiki apabila arah tersebut terbukti tidak benar (Steenbrink, 1984).
2.
Kasus Perkawinan
Ketika Syekh Arsyad masih
berada di Mekkah, dia mendengar kabar bahwa anaknya yang bernama Syarifah dari
isterinya, Bajut, sudah beranjak dewasa. Oleh karena itu dia mengawinkan
anaknya tersebut dengan sahabatnya, ‘Abd Al-Wahab Bugis, dalam hal ini dia
berperan sebagai wali mujbir yang mempunyai kuasa penuh untuk mengawinkan
anaknya tanpa terlebih dahulu meminta ijin dari pihak anaknya.
Namun ketika Syekh Arsyad
kembali ke Banjarmasin, ternyata Syarifah telah dikawinkan oleh Sultan dengan
seseorang yang bernama Usman dan hubungan perkawinan ini telah melahirkan
seorang anak, dalam hal ini sultan bertindak sebagai wali hakim, karena wali
(ayah)nya dianggap uzur. Padahal dalam ketentuan fikih, kedua perkawinan ini
dapat dianggap benar dan sah.
Untuk memutuskan
permasalahan ini, Syekh Arsyad menetapkan dengan melihat masa terjadinya akad
pernikahan; akad perkawinan yang lebih dahulu dilakukan, maka perkawinan
tersebut yang dimenangkan. Berdasarkan keahliannya dalam bidang ilmu falak dan
berdasarkan penelitiannya terhadap kedua perkawinan tersebut dengan mengaitkan
perbedaan waktu antara Mekkah dan Martapura, maka dia mendapati bahwa akad
perkawinan yang terjadi di Mekkah lebih dahulu beberapa saat dari pada
perkawinan di Martapura. Berdasarkan penelitian ini, maka ikatan perkawinan
antara Syarifah dan Usman dibatalkan, kemudian sahabatnya, Syekh ‘Abd Al-Wahab
Bugis diresmikan sebagai suami Syarifah yang sah. Cerita ini
dituturkan oleh Zafry Zamzam dalam Dr. Karel Steenbrink (1984).
Ø
Bidang Pendidikan
(Pesantren) dan Pertanian
Syekh Arsyad Al-Banjari
datang ke Martapura (Ibu Kota Kesultanan Banjar) pada Ramadhan 1186 H/Desember
1772 M. Langkah pertama yang dilakukan di sana bukan menikmati kehidupan di
istana Banjar, tetapi dia berusaha membina kader-kader ulama, terutama para keluarga
dekatnya. Untuk
mensukseskan rencana ini, dia meminta sebidang tanah kepada sultan Tahmid Allah
(1187-1223 H/1778-1808 M), penguasa Kesultanan Banjar pada waktu itu untuk
dijadikan sebagai tempat tinggal, tempat pendidikan dan Islamic center (pusat
pengembangan Islam). Sultan mengabulkan permintaan mulia dari Syekh Arsyad
dengan memberikan sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar di luar
ibu kota Kesultanan Banjar (Azra, 1998).
Syekh
Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya
terdapat rumah-rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri.
Semenjak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri yang
datang dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini berikutnya dikenal dengan
kampung “Dalam Pagar”. Model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan
prasana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan
Syekh Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah
Islam di Kalimantan Selatan. Selain itu di Dalam Pagar, Syekh Arsyad juga
membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian, sehingga untuk
mengenang gagasannya ini, di dalam kampung Dalam Pagar ada daerah yang disebut
dengan Sungai Tuan (Steenbrink, 1984).
Pesantren yang dibangun
di daerah pelosok, di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri; tenang,
damai, akrab dan belum terkontaminasi dengan budaya-budaya perkotaan. Pesantren
yang dibangun di daerah pelosok, selain berfungsi sebagai pusat keagamaan juga
pusat pertanian, karena di sana Syekh Arsyad bersama dengan beberapa guru dan
murid mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan
kebun-kebun sayuran (Azra, 1998).
Ø Bidang Dakwah
Selain
menciptakan sistem pendidikan model pesantren, Syekh Arsyad juga aktif dan
gigih dalam melakukan aktifitas dakwah agama kepada masyarakat umum. Dalam
aktifitas berdakwah ini, dia terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, baik
masyarakat kota maupun masyarakat di kampung-kampung pelosok dan terpencil,
baik kepada para keluarga sultan maupun kepada rakyat biasa. Dakwah yang
dilakukan secara langsung kepada masyarakat ini disambut dengan sangat positif
oleh masyarakat, sehingga masyarakat selalu berduyun-duyun menghadiri
tempat-tempat dimana ada pengajian dan dakwah yang diselenggarakan oleh Syekh
Arsyad untuk meramaikannya.
Kegiatan
dakwah dan pengajian yang dilakukan Syekh Arsyad ini mempunyai arti penting
bagi penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Kegiatan tersebut ikut membentuk
perilaku religius masyarakat banyak. Orang-orang yang datang ke pengajian
tersebut, setelah kembali ke kampungnya masing-masing menularkannya dengan
memberikan pengajian kepada orang-orang awam di kampung mereka. Serentak suatu
kampung mempunyai seorang tokoh yang memberikan pelajaran agama dan membuat
para warga sekitarnya bergairah untuk megikutinya, karena dalam benak
masyarakat telah timbul kesadaran untuk selalu menambah pengetahuan agama
mereka (Daud, 1997: 521).
Ø Bidang Tasawuf
Ketika belajar di
Haramain, Syekh Arsyad tidak hanya mempunyai guru yang ahli dalam bidang fikih,
tetapi dia juga belajar kepada guru yang ahli dalam bidang tasawuf, yaitu Syekh
Muhammad b. Abd Al-Karîm Al-Sammani Al-Madani. Syekh Al-Sammani adalah seorang
sufi besar yang sebelumnya masuk dalam tarekat Naqsabandiyah dan tarekat
Qadiriyah, namun kemudian dia mendirikan tarekat sendiri yang diberi nama
tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan gabungan antara
tarekat Naqsabandiyah dan tarekat Qadiriyah yang ditambahi dengan qasyidah dan
bacaan lain karangannya sendiri (Bruinessen, 1999). Dengan keikutsertaannya
dalam tarekat ini, Azumardi Azra dan Oman Fathurrahman (2002) beranggapan bahwa
Syekh Arsyad adalah orang yang paling bertanggung jawab atas tersebar dan
berkembangnya tarekat Sammaniyah ini di Kalimantan.
Ø Bidang Kenegaraan
1.
Pemberlakuan Syari’at
Islam
Pemberlakuan
Syariat Islam kepada seluruh masyarakat dan kesultanan perlu adanya kekuatan
hukum yang bisa memaksakannya. Oleh karena itu, atas saran dan usulan Syekh
Arsyad, dalam pemerintahan Kesultanan Banjar di berlakukan hukum Islam. Hukum
Islam yang diterapkan di Kesultanan Banjar tidak hanya masalah-masalah yang
berkenaan dengan hukum perdata, tetapi juga menerima masalah-masalah yang
berkenaan dengan hukum pidana Islam; misalnya hukuman mati bagi pembunuh,
hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera bagi orang yang berzina, dan
hukuman mati bagi orang Islam yang keluar dari Islam (murtad) (Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1994).
2.
Pembentukan
Mahkamah Syari’ah dan Jabatan Mufti
Guna mengefektifkan
pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Banjar dan di masyarakat, maka diperlukan
adanya lembaga yang khusus mengurusi dan menampung permasalahan pemberlakuan
hukum Islam tersebut. Oleh karena itu Syekh Arsyad mengajukan saran untuk
dibentuk Mahkamah Syari’ah, semacam pengadilan tingkat banding untuk model
sekarang, setelah sebelumnya melakukan pembenahan-pembenahan di pengadilan
agama dan mungkin juga di pengadilan umum (pengadilan tingkat pertama)
(Steenbrink, 1984: 94).
Mahkamah Syari’ah yang
diusulkan Syekh Arsyad tersebut merupakan tempat kedudukan mufti. Mufti bertanggung
jawab untuk memberlakukan hukum Islam di masyarakat dan Kesultanan Banjar dan
bertugas menerima pengaduan-pengaduan dari hakim di tingkat pertama terhadap
suatu kasus perkara. Mufti pertama yang diangkat oleh Sultan adalah Syekh
Muhammad As’ad, cucu Syekh Arsyad; dan kadi pertama adalah Abu Zu’ud, putranya.
Keduanya merupakan sebagian ulama yang dihasilkan dari model pendidikan
pesantren yang didirikan dan dikembangkannya. Selama mereka memangku jabatan
ini, Syekh Arsyad merupakan penasehat utama di bidang ini. Dan pada masa
pemerintahan Sultan Tahmid Allah (1778-1808 M), Syekh Arsyad diangkat sebagai
mustasyar Kerajaan (Mufti Besar Negara Kalimantan) untuk mendampingi sultan
dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
1994).
Ø Bidang Fiqih
1.
Shalat Berjamaah
Para imam mazhab melihat
masalah shalat berjamaah dari sisi formalitasnya saja; syarat sah, syarat wajib
dan hukum formalnya; wajib, fardhu, fardhu kifayah, sunnah muakkad dan lain
sebagainya, tetapi mereka jarang yang memfokuskan pada maqâsid al-syari‘ah
dalam penetapan hukumnya. Dalam masalah shalat berjamaah Syekh Arsyad
menekankan akan pentingnya syiar Islam di dalamnya. Syekh Arsyad menentukan
ukuran syiar Islam dengan perbandingan wilayah. Menurut Syekh Arsyad jika suatu
dusun yang kecil berpenduduk 30 orang laki-laki, maka wajar mereka mendirikan
shalat jamaah di satu tempat. Akan tetapi apabila mereka mendiami suatu wilayah
yang luas, maka tidak cukup mendirikan shalat jamaah di satu tempat. Bahkan
kalau suatu penduduk kampung bersepakat untuk melaksanakan shalat berjamaah di
rumah masing-masing atau di tempat yang tertutup, maka tindakan ini, menurut
Syekh Arsyad belum menggugurkan hukum shalat berjamaah yang fardhu kifayah.
2.
Zakat
Pendapat
lebih maju yang dikemukakan oleh Syekh Arsyad dalam masalah zakat ini adalah
pada sisi pendayagunaan zakat. Dia berpendapat bahwa pendistribusian zakat
harus lebih diorientasikan kepada pembebasan kemiskinan yang melanda
masyarakat, sehingga mustahiq zakat yang utama adalah fakir miskin. Tidak
sepantasnya zakat digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif (habis seketika),
tetapi harus dimanfaatkan kepada hal-hal yang bersifat produkif, sehingga
mustahiq zakat bisa memanfaatkan secara berkesinambungan. Pemanfaatan zakat
secara konsumtif ini tidak bisa mengangkat harkat dan martabat orang-orang
fakir miskin dan tidak bisa menghapus kemiskinan yang menjadi tujuan
pendistribusian zakat.
Pendistribusian
zakat kepada orang-orang fakir dan miskin yang bersifat produktif ini, menurut
Syekh Arsyad harus diatur dan mendapat persetujuan sultan (imam) agar
distribusinya dapat terkoordinir dengan baik. Dalam rangka menciptakan
efektifitas pendistribusian zakat agar tidak tumpang tindih, maka Syekh Arsyad
mengajukan struktur amil zakat dan tugasnya masing-masing, mereka adalah:
1. Sa’i: orang
yang diangkat sultan atau wakilnya untuk memungut harta zakat. Syarat menjadi
sa’i adalah ahli dalam bidang tersebut, muslim, berakal, baligh, merdeka, jujur
dan mendengar lagi melihat.
2. Katib: orang
yang bertugas mencatat harta zakat yang diterima dari para muzakki.
3. Qasim: orang
yang bertugas membagi-bagikan harta zakat.
4. Hasyir:
orang yang bertugas mengumpulkan para muzakki.
5. Arif:
orang yang mengenal kondisi para mustahiq zakat.
6. Hasib:
orang yang bertugas menghitung harta zakat.
7. Jundiy:
pihak keamanan yang bertugas mengamankan harta zakat.
8. Hafidz:
orang yang bertugas memelihara dan menjaga harta zakat.
9. Jabi’:
orang yang bertugas menyuruh orang untuk mengeluarkan zakat.
10. Dan lain-lain
sesuai dengan kebutuhan setempat.
3.
Penguburan Mayat
Dalam penguburan mayat,
Syekh Arsyad sependapat dengan Syekh Abu Zakaria Al-Anshari bahwa ukuran
minimal kuburan mayat adalah apabila dapat mencegah keluarnya bau busuk dan
dapat mencegah dari gangguan binatang buas. Namun dalam hal ini, Syekh Arsyad
lebih menekankan perlu adanya penggalian tanah untuk kuburan tersebut, sehingga
dia tidak membenarkan apabila mayat hanya diletakkan di atas tanah kemudian
ditimbun tanah, meskipun hal itu sudah menghindarkan dari bau busuk dan dari
gangguan binatang buas. Dan mayat tidak boleh dikuburkan pada tempat
yang biasanya menjadi sasaran binatang buas.
Demi lebih menjamin
keamanan dari gangguan binatang buas atau dari penyebaran bau busuk, maka Syekh
Arsyad mewajibkan memasukkan mayat dalam tabala keranda (peti mati), meskipun
di kalangan ulama mazhab ada perbedaan pendapat dalam masalah ini; Ulama Hanafi
membolehkan, ulama Maliki melarang, Ulama Syafi’i memakruhkan dan ulama Hambali
mensunahkan. Pendapat Syekh Arsyad ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh
kondisi geografis daerah Banjar yang berupa rawa-rawa dan masih banyaknya
binatang buas. Dalam masalah ini, sebenarnya dia sependapat dengan ulama
Syafi’i, yaitu memakruhkan apabila penggunaan peti mati tidak diperlukan, namun
di sisi lain, dia mewajibkan ketika kondisi menutut penggunaannya.
Kedalaman kuburan yang
ideal yang tidak bisa menebarkan bau busuk dan menghindarkan dari gangguan
binatang buas, menurut Syekh Arsyad adalah “setumbang berdiri dan setengah
hasta dengan perdirian dan hasta yang pertengahan”. Dengan kedalaman kuburan
yang memenuhi syarat adalah setinggi ukuran manusia normal ditambah satu hasta
atau kurang lebih dua meter.
Dalam masalah penguburan
mayat, Syekh Arsyad juga memperbolehkan menempatkan dua mayat dalam satu
lobang, tanpa mengurangi penghormatan dan penghargaan terhadap mayat, dengan
syarat tidak bercampur antara mayat laki-laki dan perempuan. Dan mayat yang
baru meninggal diperbolehkan dikubur di atas mayat lama dengan syarat mayat
lama tersebut sudah benar-benar hancur, tanpa mengurangi penghormatan dan penghargaan
terhadap mayat yang lama.
Karya-Karya Syekh Arsyad
Al-Banjari
Guna mendukung dan
memperkuat penyebaran dan pendidikan Islam di nusantara, khususnya di
Kalimantan Selatan, Syekh Arsyad aktif menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam
kitab-kitab yang bisa dibaca oleh para generasi berikutnya. Karya terbesar
Syekh Arsyad adalah kitab Sabîl al-Muhtadîn (Jalan Orang-Orang yang Mendapatkan
Petunjuk). Kitab yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu tulisan Arab ini
merupakan kitab fikih Mazhab Syafi’i. Kitab ini merupakan kitab yang dipesan
oleh Sultan Tahmid Allah, ditulis mulai tahun 1193 H/1779 M hingga 1195 H/1781
M, terdiri dari dua jilid yang masing-masing berisi 500 halaman (Burhanuddin,
2002; Pijper, 1987).
Kitab-kitab fiqih lainnya
adalah Luqthah al-Ajlân, Kitâb al-Nikâh (Buku Nikah), Kitâb al-Farâidl (Buku
Pembagian Harta Warisan) dan Hâsiyah Fath al-Jawâd (Komentar terhadap Buku
Pembukaan Kemurahan Hati). Kitab-kitabnya dalam bidang tauhid, di antaranya:
Ushûl al-Dîn (Dasar-Dasar Agama), Tuhfah al-Râghibîn fî Bayân Haqîqah Imâm
al-Mu’minîn wa Mâ Yufsiduh min Riddah al-Murtaddîn (Hadiah Bagi Para Pencinta
dalam Menjelaskan Hakikat Imam Para Mukmin dan Apa yang Merusaknya; Kemurtadan
Orang-Orang Murtad), Qaul al-Mukhtashar fî ‘Alâmah al-Mahd al-Muntadzar
(Pembicaraan Singkat tentang Tanda Imam Mahdi yang Ditunggu), dan Tarjamah Fath
al-Rahmân (Terjemahan Buku Fath al-Rahmân). Sedangkan kitabnya dalam bidang
tasawuf adalah Kanz al-Ma’rifah (Gudang Pengetahuan). Di samping itu, dia juga
menulis Mushaf al-Qur’an dengan tulisan tangan Syekh Arsyad dalam ukuran besar
yang hingga sekarang masih dipajang di dekat makamnya.
SUMBER: MAJELIS AULIA
SUMBER: MAJELIS AULIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar