Jumlah
pengunjung di Kubah Habib Basirih walau belum dapat dibandingkan dengan makam
Sunan Ampel di Ampel, Surabaya tak mengurangi ketokohan beliau. Sunan Ampel
adalah tokoh utama Wali Songo, sebuah dewan (forum) ulama kelas wahid di zaman
Kesultanan Demak. Dari segi usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari
Habib Basirih yang hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman
penjajahan Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum
Habib Basirih. Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan
dari Waliyullah Muhammad Shahib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari
Rasulullah Muhammad SAW). Silsilah kedua tokoh ini bertemu di Alwi Umul Faqih
bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi Umul Faqih yang
bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut, Yaman ke India) sedang
Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama Abdurrahman. Jika Sunan Ampel
adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih
merupakan keturunan ke-36.
Nashab Habib Basirih adalah sebagai berikut: Hamid bin
Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad
bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad
bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath. Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin
Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan
jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah
beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah
satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.
Satu
versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan
anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima,
Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim
di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah
satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan
keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim
berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang
ke Tanah Banjar.
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek
angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih),
peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro
perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai
bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa
ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah.
Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas
Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius
(spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim,
suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya
hingga kini. Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di
pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa
Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan
tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah
merehab masjid ini.
Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).
Nama
Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat
(mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah
rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib
Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan
dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali,
misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu
tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak
bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang
yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke
rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu
kapal mereka hampir karam di tengah laut.
Perbuatan
Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu
hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu
gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dan sebagainya)
milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib
Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga
itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib
Hamid.
Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang). “Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. Habib Abdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan. Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi "air penerang" anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang). “Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. Habib Abdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan. Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi "air penerang" anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
Kisah
lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih.
Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik
Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang
pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita
lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu
menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib
Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun
barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya
yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat
sebab dagangannya hari itu tak bersisa.
Habib
Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya
segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang
Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di
Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa.
“Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah
Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih. “Selesai
berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar
Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang
bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa
waktu sebelum beliau berpulang ke Rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib
Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya
Beng Kiang,” tutur Syarifah Khadidjah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar