Oleh Abdurrahman Arrasyid
Umat manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya, dalam era informasi dewasa ini, dihadapkan pada perubahan nilai bahwa seolah olah apa yang dikatakan atau dilaporkan media massa adalah benar.
Realitas sosial telah dipersempit maknanya menjadi “realitas media” atau realitas seperti apa yang tertera atau tersiar dalam media massa. Kecenderungan penyempitan makna informasi bukan hanya harus menjadi kesadaran bersama, tetapi juga semakin menambah besar tanggunjawab sosial media massa.
“Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas dan selektif serta kritis terhadap informasi. Dalam Islam sesuai dengan ayat Al-Qur’an telah diingatkan untuk melakukan ‘tabayyun’ terhadap sesuatu fakta, informasi dan berita yang tidak jelas asal usulnya,” kata Menteri Agama Suryadharma Ali ketika membuka Konferensi Internasional tentang Media Islam ke-3 yang berlangsung di Jakarta dari 3 sampai 5 Desember, 2013.
Di sisi lain, orang orang beriman diingatkan agar selalu berkata benar dan menjauhi fitnah serta kebohongan. Namun demikian umat Islam sering menjadi korban pembentukan opini yang salah oleh media barat karena kita tidak menguasai media massa.
Oleh karena itu Konferensi Internasional tentang Media Islam yang dihadiri para sarjana dan pakar dari berbagai disiplin ilmu, baik dari dalam maupun luar negeri ini sanggat penting bagi kita semua, kata Suryadharma Ali di depan para wakil dari berbagai media Islam dari beberapa Negara termasuk peserta dari Mi’raj News Agency (MINA) yang merupakan kantor berita Islam internasional yang bekedudukan di Jakarta.
Konferensi Internasional tentang Media Islam ke-3 yang bertemakan: “Media and Social Responsibility” (Media dan Tanggungjawab Sosial) dan diselenggarakan atas kerjasama Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) dan Kementerian Agama RI ini mengingatkan kita semua akan semakin besar dan kuatnya pengaruh media dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan di dunia ini di masa kini dan masa depan.
Para pakar dan pengamat media mengemukakan bahwa pada abad ke-21 yang merupakan abad teknologi informasi ini, umat manusia memasuki “millenium informasi” dimana komunikasi dan informasi yang disebarkan luaskan melalui media massa akan secara siginifikan menentukan arah perkembangan masyarakat.
Apa arti ‘tabayyun’?
Kata tabayyun berasal dari akar kata dalam bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu - tabayyunan, yang berarti mencari kejelasan hakekat suatu fakta dan informasi atau kebenaran suatu fakta dan informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa tabayyun berarti pemahaman atau penjelasan. Dengan demikian, tabayyun adalah usaha untuk memastikan dan mencari kebenaran dari sebuah fakta dan informasi sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi [berperang] di jalan Allah, maka lakukanlah tabayyun (telitilah) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mu’min” [lalu kamu membunuhnya], dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu lalu Allah menganugerahkan ni’mat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Qur’an, Surah An-Nisa, Ayat 94).
Pengertian tabayyun dalam ayat tersebut bisa dilihat antara lain dalam Tafsir Al-Qur’an Departemen Agama, 2004. Kata itu merupakan fiil amr untuk jamak, dari kata kerja tabayyana, masdarnya at-tabayyun, yang artinya adalah mencari kejelasan hakekat suatu fakta dan informasi atau kebenaran suatu fakta dan informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati (tidak tergesa-gesa).
Perintah untuk tabayyun merupakan perintah yang sangat penting, terutama pada akhir-akhir ini di mana kehidupan antar sesama umat sering dihinggapi prasangka.
Allah SWT memerintahkan kita untuk bersikap hati-hati dan mengharuskan untuk mencari bukti yang terkait dengan isu mengenai suatu tuduhan atau yang menyangkut identifikasi seseorang.
Belakangan ini seringnya orang gampang atau suatu kelompok berprasangka negatif terhadap kelompok lain, atau menuduh sesat golongan lain, dan kadang disertai hujatan, penghakiman secara sepihak, dan sebagainya.
Berprasangka tanpa meneliti duduk perkaranya, merupakan perbuatan apriori atau masa bodoh. Mensikapi orang lain hanya berdasar pada sangkaan-sangkaan negatif atau isu-isu yang beredar atau bisikan orang lain merupakan sikap yang tidak tabayyun, atau tidak mau tahu terhadap apa yang sebenarnya terjadi.
Perintah tabayyun atau mendalami masalah, merupakan peringatan, jangan sampai umat Islam melakukan tindakan yang menimbulkan dosa dan penyesalan akibat keputusannya yang tidak adil atau merugikan pihak lain.
Di dalam Al-Qur’an, perintah tabayyun juga terdapat pada Surah Al-Hujarat 49:6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam ayat ayat Al-Qur’an tersebut, tersirat suatu perintah Allah, bahwa setiap mukmin, yang sedang berjihad fi sabilillah hendaknya bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang lain.
Jangan tergesa-gesa menuduh orang lain, apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat merusak atau kekerasan. Terhadap mereka yang mengucap ”Assalamu’alaikum” atau ”la ilaha illallah”, misalnya, yaitu ucapan yang lazim dalam Islam, terhadap orang tersebut tidak boleh dituduh ”kafir”, sekalipun ucapan itu hanya dhahirnya. Ini hanya sekedar contoh, di mana kita tidak boleh gegabah dalam mensikapi orang lain.
Pengertian mendalam dari tabayyun
Pengertian lebih mendalam dari tabayyun adalah melakukan penelitian secara ilmiah atau berupaya mendalami dan memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Ciri metodologi yang lazim dalam dunia ilmu pengetahuan meliputi antara lain:
1. Rasional; berpijak pada cara berpikir rasional.
2. Obyektif; apapun yang ditelaah atau dikaji harus sesuai dengan objeknya.
3. Empiris; obyek yang dikaji merupakan realitas atau kenyataan yang dialami manusia.
4. Kebenaran atau kesimpulannya bisa diuji. Bahwa kebenaran teori-teori atau hukum yang diperoleh melalui proses analisa, harus sanggup diuji oleh siapa saja.
5 .Sistematis, semua unsur dalam proses kajian harus menjadi kebulatan yang konsisten.
6. Bebas; dalam penganalisaan fakta-fakta, seseorang harus dalam keadaan bebas dari segala tekanan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu.
7. Berasas manfaaf; kesimpulannya harus bersifat umum dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan dalam dakwah.
8. Relatif; apa yang ditemukan atau yang disimpulkan tidak dimutlakkan kebenarannya, dalam arti memungkinkan untuk diuji oleh temuan berikutnya atau temuan orang lain
Melakukan tabayyun dalam arti penelitian tersebut sudah lama melekat dalam tradisi keilmuan Islam. Sejarah kebudayaan Islam, yang diwarnai oleh temuan para sarjana-sarjana muslim seperti Al Faraby, Al Khawarizmi, Ibn Khaldun, Imam Gazali, dan banyak lagi para ilmuwan abad pertengahan, telah mengembangkan model-model riset seperti itu.
Ibnu Khaldun adalah yang kemudian membagi model-model riset menurut Islam, seperti berikut:
1. Riset Bayani; yakni penelitian yang ditujukan untuk mengenali gejala alam dengan segala gerak-gerik dan prosesnya. Misalnya, mengenai kenapa kupu-kupu berwarna-warni; kenapa ikan terdiri bergaman jenis dan bagaimana cara hidup dan pola makananya.
2. Riset Istiqra’i: Yaitu penelitian yang ditujukan untuk mencari kejelasan pola-pola kebudayaan dan kehidupan sosial manusia. Ini yang kemudian berkembang menjadi riset ilmu sosial.
3. Riset Jadali: yakni riset yang dimaksudkan untuk mencari hakekat atau kebenaran yang didasarkan oleh cara berpikir rasional (rasionale exercise). Di sana biasa digunakan ilmu mantiq dan filsafat.
4. Riset Burhani: yakni riset untuk tujuan eksperiman. Misalnya atas temuan obat tertentu, dilakukan tes di laboratorium. Contoh lain, mencobakan metode baru dalam pembelajaran terhadap siswa-siswa sekolah.
5. Riset Irfani: riset yang secara spesifik menjelajah hakekat ajaran Islam. Pada gilirannya menghasilkan ilmu tasawuf.
Mirip dengan istilah tabayyun, dalam Al-Qur’an adalah apa yang disebut nazhara, yang fiil amr-nya adalah unzhur, yang artinya: lihatlah, amatilah. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui proses yang disebut intizhar, yaitu dimulai dari pengamatan terhadap kenyataan (realitas) atau pengumpulan data, kemudian dilakukan analisa, dan menarik kesimpulan.
Istilah tersebut ada hubungannya dengan nazhar, dalam bahasa Indonesia berkembang menjadi kata nalar. Perintah melakukan intizhar dalam firman Allah biasanya dalam rangka mengenal lebih jauh ke-mahabesaran Allah atau untuk dapat mengenal sesuatu gejala secara mendalam.
Katakanlah: “Ber-Intizharlah kamu terhadap segala macam gejala di langit dan di bumi. (Bila tidak demikian) tidaklah memberi manfaat sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang tidak beriman.” (Al-Qur’an,.Surah Yunus 10: 101).
Ada beberapa hikmah lain dari tabayyun atau intizhar, yang bisa dipetik:
- Memperluas wawasan. Karena salah satu aspek dalam tabayyun adalah melakukan telaah dengan membandingkan suatu data dengan data yang lain, dan mengkaitkan dengan sekian banyak referensi. Sebelum akhirnya menarik kesimpulan;
- Mengusung pendalaman pengetahuan. Mengetahi secara mendalam atas sesuatu masalah akan menumbuhkan kearifan tersendiri dalam bertindak;
- Pengujian atas kebenaran informasi. Terlebih lagi, informasi yang hanya berdasar isu, sudah seharusnya dikonfirmasi, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman; Adakalanya juga suatu informasi sudah diyakini kebenarannya, namun tidak tersedia data yang lengkap dan akurat untuk membuktikan kebenaran itu. Maka melalui tabayyun, akan memperkuat keyakinan akan kebenaran informasi tersebut.
Tabayyun yang berhasil adalah apabila mampu mengungkapkan fakta yang bisa dijamin akurasinya, dan analisis yang jernih. Kejernihan berpikir dalam menghadapi suatu fakta akan membangun kearifan dalam bertindak.
Termasuk kearifan dalam berdakwah. Kebenaran-kebenaran informasi yang dihasilkan melalui proses yang obyektif, diharapkan juga akan membangun sikap toleran terhadap orang lain, yang sama-sama menjunjung tinggi obyektivitas.
Dalam kaitan dengan aktivitas dakwah juga, tabayyun membantu ketepatan dalam memilih sasaran dakwah. Pengetahuan yang benar yang diperoleh dari hasil penelitian, terutama menyangkut masyarakat yang akan dijadikan sasaran dakwah, akan sangat membantu ketepatan dalam memilih metode berdakwah.
Rumusan Komprehensif
Suryadharma Ali mengatakan konferensi ini membahas sejumlah sub topik antara lain “The World Media and Value-Based and Ethical Dimensions”, “Towards Islamic Vision of Relationship between Media and Society”, “Media in Muslim Society: Prospect and Challenges”, dan “Media in the Muslim World” (Examples and Applications).
Menag sangat mengapresiasi bahwa konferensi internasional ini akan menyoroti aspek-aspek penting yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab sosial media massa. Menurut dia, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan bercorak multidisiplin.
“Sehingga, dapat menghasilkan rumusan yang komprehensif dan memberikan sumbangan berarti pada tingkat akademik maupun pada perumusan regulasi akan pemanfaatan media bagi pembangunan di negara-negara muslim,” katanya yang dalam acara pembukaan konferensi tersebut didampingi oleh Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami Abdullah bin Abdul Mohsen Al-Turki dan Sekretaris Jenderal Kemenag Bahrul Hayat.
Menag berharap, dengan diselenggarakannya konferensi ini terbuka peluang bagi para peserta untuk membangun silaturrahim dan jejaring komunikasi, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk melakukan berbagai kerja sama yang bermanfaat bagi penguatan “ukhuwwah Islamiyah” dan kerja sama global.
Berdasarkan catatan, konferensi internasional ini merupakan yang ketiga. Sebelumnya, konferensi internasional serupa diadakan pada 1980. Sementara, yang kedua pada 2011.
Islam ajarkan kedamaian dan anti kekerasan
Selain sebagai pemberi informasi kepada masyarakat, media juga mengemban tanggung jawab mendakwahkan Islam kepada umat manusia sebagai wujud tanggung jawab sosial media Islam.
“Media perlu menyebarkan nilai-nilai keadilan, kedamaian, dan kerjasama kemanusiaan untuk meningkatkan kepedulian terhadap perbaikan nasib sebagian umat Islam,” kata Suryadharma Ali.
Selain itu, media mempunyai tanggung jawab sosial dalam mencitrakan Islam. “Umat Muslim sering jadi korban opini yang salah, karena tidak menguasai media,” kata Suryadharma.
Media berperan mengubah opini masyarakat terhadap nilai agama.Pengaruh media di masa kini dan masa depan sehingga media menentukan arah masyarakat.
“Mari kita manfaatkan pertemuan ini untuk berdiskusi tentang peran media Islam dalam perkembangan akhir akhir ini,” imbau Menag.
Sementara itu, Sekjen Rabithah Alam Islami Abdullah bin Abdul Mohsin At-Turki menegaskan, agama Islam mengajarkan kedamaian dan anti kekerasan, memerangi terorisme, serta menjauhi intoleransi.
Abdullah mengatakan, agama Islam sangat mengedepankan kedamaian, sangat anti kekerasan, termasuk memerangi terorisme.
Dia mengharapkan para tokoh Islam dapat memberi pencerahan kepada umat manusia melalui media massa. Media memiliki peran penting, pengaruh, dan karenanya dapat mendorong umat Islam patuh akan perintah Allah.
“Meski media memiliki sisi negatif, tetapi dapat diarahkan lebih baik agar umat dapat meningkatkan ketakwaannya terhadap perintah Allah. Untuk itu, kerja sama dengan media massa sangat penting, mengingat opini yang dibangun dapat membawa ke arah positif,” kata Sekjen Abdullah. (HSH)
Wallahu A'lamu Bishshowab
Umat manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya, dalam era informasi dewasa ini, dihadapkan pada perubahan nilai bahwa seolah olah apa yang dikatakan atau dilaporkan media massa adalah benar.
Realitas sosial telah dipersempit maknanya menjadi “realitas media” atau realitas seperti apa yang tertera atau tersiar dalam media massa. Kecenderungan penyempitan makna informasi bukan hanya harus menjadi kesadaran bersama, tetapi juga semakin menambah besar tanggunjawab sosial media massa.
“Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas dan selektif serta kritis terhadap informasi. Dalam Islam sesuai dengan ayat Al-Qur’an telah diingatkan untuk melakukan ‘tabayyun’ terhadap sesuatu fakta, informasi dan berita yang tidak jelas asal usulnya,” kata Menteri Agama Suryadharma Ali ketika membuka Konferensi Internasional tentang Media Islam ke-3 yang berlangsung di Jakarta dari 3 sampai 5 Desember, 2013.
Di sisi lain, orang orang beriman diingatkan agar selalu berkata benar dan menjauhi fitnah serta kebohongan. Namun demikian umat Islam sering menjadi korban pembentukan opini yang salah oleh media barat karena kita tidak menguasai media massa.
Oleh karena itu Konferensi Internasional tentang Media Islam yang dihadiri para sarjana dan pakar dari berbagai disiplin ilmu, baik dari dalam maupun luar negeri ini sanggat penting bagi kita semua, kata Suryadharma Ali di depan para wakil dari berbagai media Islam dari beberapa Negara termasuk peserta dari Mi’raj News Agency (MINA) yang merupakan kantor berita Islam internasional yang bekedudukan di Jakarta.
Konferensi Internasional tentang Media Islam ke-3 yang bertemakan: “Media and Social Responsibility” (Media dan Tanggungjawab Sosial) dan diselenggarakan atas kerjasama Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) dan Kementerian Agama RI ini mengingatkan kita semua akan semakin besar dan kuatnya pengaruh media dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan di dunia ini di masa kini dan masa depan.
Para pakar dan pengamat media mengemukakan bahwa pada abad ke-21 yang merupakan abad teknologi informasi ini, umat manusia memasuki “millenium informasi” dimana komunikasi dan informasi yang disebarkan luaskan melalui media massa akan secara siginifikan menentukan arah perkembangan masyarakat.
Apa arti ‘tabayyun’?
Kata tabayyun berasal dari akar kata dalam bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu - tabayyunan, yang berarti mencari kejelasan hakekat suatu fakta dan informasi atau kebenaran suatu fakta dan informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa tabayyun berarti pemahaman atau penjelasan. Dengan demikian, tabayyun adalah usaha untuk memastikan dan mencari kebenaran dari sebuah fakta dan informasi sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi [berperang] di jalan Allah, maka lakukanlah tabayyun (telitilah) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mu’min” [lalu kamu membunuhnya], dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu lalu Allah menganugerahkan ni’mat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Qur’an, Surah An-Nisa, Ayat 94).
Pengertian tabayyun dalam ayat tersebut bisa dilihat antara lain dalam Tafsir Al-Qur’an Departemen Agama, 2004. Kata itu merupakan fiil amr untuk jamak, dari kata kerja tabayyana, masdarnya at-tabayyun, yang artinya adalah mencari kejelasan hakekat suatu fakta dan informasi atau kebenaran suatu fakta dan informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati (tidak tergesa-gesa).
Perintah untuk tabayyun merupakan perintah yang sangat penting, terutama pada akhir-akhir ini di mana kehidupan antar sesama umat sering dihinggapi prasangka.
Allah SWT memerintahkan kita untuk bersikap hati-hati dan mengharuskan untuk mencari bukti yang terkait dengan isu mengenai suatu tuduhan atau yang menyangkut identifikasi seseorang.
Belakangan ini seringnya orang gampang atau suatu kelompok berprasangka negatif terhadap kelompok lain, atau menuduh sesat golongan lain, dan kadang disertai hujatan, penghakiman secara sepihak, dan sebagainya.
Berprasangka tanpa meneliti duduk perkaranya, merupakan perbuatan apriori atau masa bodoh. Mensikapi orang lain hanya berdasar pada sangkaan-sangkaan negatif atau isu-isu yang beredar atau bisikan orang lain merupakan sikap yang tidak tabayyun, atau tidak mau tahu terhadap apa yang sebenarnya terjadi.
Perintah tabayyun atau mendalami masalah, merupakan peringatan, jangan sampai umat Islam melakukan tindakan yang menimbulkan dosa dan penyesalan akibat keputusannya yang tidak adil atau merugikan pihak lain.
Di dalam Al-Qur’an, perintah tabayyun juga terdapat pada Surah Al-Hujarat 49:6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam ayat ayat Al-Qur’an tersebut, tersirat suatu perintah Allah, bahwa setiap mukmin, yang sedang berjihad fi sabilillah hendaknya bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang lain.
Jangan tergesa-gesa menuduh orang lain, apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat merusak atau kekerasan. Terhadap mereka yang mengucap ”Assalamu’alaikum” atau ”la ilaha illallah”, misalnya, yaitu ucapan yang lazim dalam Islam, terhadap orang tersebut tidak boleh dituduh ”kafir”, sekalipun ucapan itu hanya dhahirnya. Ini hanya sekedar contoh, di mana kita tidak boleh gegabah dalam mensikapi orang lain.
Pengertian mendalam dari tabayyun
Pengertian lebih mendalam dari tabayyun adalah melakukan penelitian secara ilmiah atau berupaya mendalami dan memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Ciri metodologi yang lazim dalam dunia ilmu pengetahuan meliputi antara lain:
1. Rasional; berpijak pada cara berpikir rasional.
2. Obyektif; apapun yang ditelaah atau dikaji harus sesuai dengan objeknya.
3. Empiris; obyek yang dikaji merupakan realitas atau kenyataan yang dialami manusia.
4. Kebenaran atau kesimpulannya bisa diuji. Bahwa kebenaran teori-teori atau hukum yang diperoleh melalui proses analisa, harus sanggup diuji oleh siapa saja.
5 .Sistematis, semua unsur dalam proses kajian harus menjadi kebulatan yang konsisten.
6. Bebas; dalam penganalisaan fakta-fakta, seseorang harus dalam keadaan bebas dari segala tekanan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu.
7. Berasas manfaaf; kesimpulannya harus bersifat umum dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan dalam dakwah.
8. Relatif; apa yang ditemukan atau yang disimpulkan tidak dimutlakkan kebenarannya, dalam arti memungkinkan untuk diuji oleh temuan berikutnya atau temuan orang lain
Melakukan tabayyun dalam arti penelitian tersebut sudah lama melekat dalam tradisi keilmuan Islam. Sejarah kebudayaan Islam, yang diwarnai oleh temuan para sarjana-sarjana muslim seperti Al Faraby, Al Khawarizmi, Ibn Khaldun, Imam Gazali, dan banyak lagi para ilmuwan abad pertengahan, telah mengembangkan model-model riset seperti itu.
Ibnu Khaldun adalah yang kemudian membagi model-model riset menurut Islam, seperti berikut:
1. Riset Bayani; yakni penelitian yang ditujukan untuk mengenali gejala alam dengan segala gerak-gerik dan prosesnya. Misalnya, mengenai kenapa kupu-kupu berwarna-warni; kenapa ikan terdiri bergaman jenis dan bagaimana cara hidup dan pola makananya.
2. Riset Istiqra’i: Yaitu penelitian yang ditujukan untuk mencari kejelasan pola-pola kebudayaan dan kehidupan sosial manusia. Ini yang kemudian berkembang menjadi riset ilmu sosial.
3. Riset Jadali: yakni riset yang dimaksudkan untuk mencari hakekat atau kebenaran yang didasarkan oleh cara berpikir rasional (rasionale exercise). Di sana biasa digunakan ilmu mantiq dan filsafat.
4. Riset Burhani: yakni riset untuk tujuan eksperiman. Misalnya atas temuan obat tertentu, dilakukan tes di laboratorium. Contoh lain, mencobakan metode baru dalam pembelajaran terhadap siswa-siswa sekolah.
5. Riset Irfani: riset yang secara spesifik menjelajah hakekat ajaran Islam. Pada gilirannya menghasilkan ilmu tasawuf.
Mirip dengan istilah tabayyun, dalam Al-Qur’an adalah apa yang disebut nazhara, yang fiil amr-nya adalah unzhur, yang artinya: lihatlah, amatilah. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui proses yang disebut intizhar, yaitu dimulai dari pengamatan terhadap kenyataan (realitas) atau pengumpulan data, kemudian dilakukan analisa, dan menarik kesimpulan.
Istilah tersebut ada hubungannya dengan nazhar, dalam bahasa Indonesia berkembang menjadi kata nalar. Perintah melakukan intizhar dalam firman Allah biasanya dalam rangka mengenal lebih jauh ke-mahabesaran Allah atau untuk dapat mengenal sesuatu gejala secara mendalam.
Katakanlah: “Ber-Intizharlah kamu terhadap segala macam gejala di langit dan di bumi. (Bila tidak demikian) tidaklah memberi manfaat sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang tidak beriman.” (Al-Qur’an,.Surah Yunus 10: 101).
Ada beberapa hikmah lain dari tabayyun atau intizhar, yang bisa dipetik:
- Memperluas wawasan. Karena salah satu aspek dalam tabayyun adalah melakukan telaah dengan membandingkan suatu data dengan data yang lain, dan mengkaitkan dengan sekian banyak referensi. Sebelum akhirnya menarik kesimpulan;
- Mengusung pendalaman pengetahuan. Mengetahi secara mendalam atas sesuatu masalah akan menumbuhkan kearifan tersendiri dalam bertindak;
- Pengujian atas kebenaran informasi. Terlebih lagi, informasi yang hanya berdasar isu, sudah seharusnya dikonfirmasi, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman; Adakalanya juga suatu informasi sudah diyakini kebenarannya, namun tidak tersedia data yang lengkap dan akurat untuk membuktikan kebenaran itu. Maka melalui tabayyun, akan memperkuat keyakinan akan kebenaran informasi tersebut.
Tabayyun yang berhasil adalah apabila mampu mengungkapkan fakta yang bisa dijamin akurasinya, dan analisis yang jernih. Kejernihan berpikir dalam menghadapi suatu fakta akan membangun kearifan dalam bertindak.
Termasuk kearifan dalam berdakwah. Kebenaran-kebenaran informasi yang dihasilkan melalui proses yang obyektif, diharapkan juga akan membangun sikap toleran terhadap orang lain, yang sama-sama menjunjung tinggi obyektivitas.
Dalam kaitan dengan aktivitas dakwah juga, tabayyun membantu ketepatan dalam memilih sasaran dakwah. Pengetahuan yang benar yang diperoleh dari hasil penelitian, terutama menyangkut masyarakat yang akan dijadikan sasaran dakwah, akan sangat membantu ketepatan dalam memilih metode berdakwah.
Rumusan Komprehensif
Suryadharma Ali mengatakan konferensi ini membahas sejumlah sub topik antara lain “The World Media and Value-Based and Ethical Dimensions”, “Towards Islamic Vision of Relationship between Media and Society”, “Media in Muslim Society: Prospect and Challenges”, dan “Media in the Muslim World” (Examples and Applications).
Menag sangat mengapresiasi bahwa konferensi internasional ini akan menyoroti aspek-aspek penting yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab sosial media massa. Menurut dia, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan bercorak multidisiplin.
“Sehingga, dapat menghasilkan rumusan yang komprehensif dan memberikan sumbangan berarti pada tingkat akademik maupun pada perumusan regulasi akan pemanfaatan media bagi pembangunan di negara-negara muslim,” katanya yang dalam acara pembukaan konferensi tersebut didampingi oleh Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami Abdullah bin Abdul Mohsen Al-Turki dan Sekretaris Jenderal Kemenag Bahrul Hayat.
Menag berharap, dengan diselenggarakannya konferensi ini terbuka peluang bagi para peserta untuk membangun silaturrahim dan jejaring komunikasi, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk melakukan berbagai kerja sama yang bermanfaat bagi penguatan “ukhuwwah Islamiyah” dan kerja sama global.
Berdasarkan catatan, konferensi internasional ini merupakan yang ketiga. Sebelumnya, konferensi internasional serupa diadakan pada 1980. Sementara, yang kedua pada 2011.
Islam ajarkan kedamaian dan anti kekerasan
Selain sebagai pemberi informasi kepada masyarakat, media juga mengemban tanggung jawab mendakwahkan Islam kepada umat manusia sebagai wujud tanggung jawab sosial media Islam.
“Media perlu menyebarkan nilai-nilai keadilan, kedamaian, dan kerjasama kemanusiaan untuk meningkatkan kepedulian terhadap perbaikan nasib sebagian umat Islam,” kata Suryadharma Ali.
Selain itu, media mempunyai tanggung jawab sosial dalam mencitrakan Islam. “Umat Muslim sering jadi korban opini yang salah, karena tidak menguasai media,” kata Suryadharma.
Media berperan mengubah opini masyarakat terhadap nilai agama.Pengaruh media di masa kini dan masa depan sehingga media menentukan arah masyarakat.
“Mari kita manfaatkan pertemuan ini untuk berdiskusi tentang peran media Islam dalam perkembangan akhir akhir ini,” imbau Menag.
Sementara itu, Sekjen Rabithah Alam Islami Abdullah bin Abdul Mohsin At-Turki menegaskan, agama Islam mengajarkan kedamaian dan anti kekerasan, memerangi terorisme, serta menjauhi intoleransi.
Abdullah mengatakan, agama Islam sangat mengedepankan kedamaian, sangat anti kekerasan, termasuk memerangi terorisme.
Dia mengharapkan para tokoh Islam dapat memberi pencerahan kepada umat manusia melalui media massa. Media memiliki peran penting, pengaruh, dan karenanya dapat mendorong umat Islam patuh akan perintah Allah.
“Meski media memiliki sisi negatif, tetapi dapat diarahkan lebih baik agar umat dapat meningkatkan ketakwaannya terhadap perintah Allah. Untuk itu, kerja sama dengan media massa sangat penting, mengingat opini yang dibangun dapat membawa ke arah positif,” kata Sekjen Abdullah. (HSH)
Wallahu A'lamu Bishshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar