MADIUN - Setia Hati (SH) Terate memasuki paradigma baru, terutama pada
konsep kepemimpinan. Yang semula bertumpu pada patron dengan konsep
kepemimpinan tunggal, kini bergeser ke konsep Kolektif Kolegial.
Pergeseran konsep kepemimpinan di SH Terate itu, merupakan salah satu
keputusan produk Parapatan Luhur (Palu) SH Terate 2016, yang digelar di
Asrama Haji, Jakarta tanggal 10 sampai dengan 13 Maret 2016. ”Keputusan itu merupakan mementum
penting dalam perjalanan sejarah SH Terate”, ujar Ketua Majelis Luhur
SH Terate Ir. H. RB Wijono.
Pada awal berdirinya, SH Terate menganut konsep kepemimpinan patron.
Sosok guru atau dikenal dengan sebutan Hadjar, memegang amanah tertinggi.
Sebut misalnya pada era Ki Hadjar Hardjo Oetomo. Sebagai perintis,
pendiri sekaligus guru pencak silat, Ki Hadjar Hardjo Oetomo sekaligus
juga berperan sebagai pemimpin.
Dalam perkembangannya, setelah Persaudaraan SH Terate berubah dari
sistem perguruan ke organisasi, sosok patron tetap memegang peranan dalam kepemimpinan SH Terate. Hanya sebutan atau namanya saja yang berubah dari
Hadjar menjadi Ketua. Era ini melahirkan pemimpin SH Terate yang cukup
disegani, antara lain Soetomo Mangkoedjojo, Santoso, Irsyad, dan Badini.
Mamasuki tahun 80-an, saat RM Imam Koesoepangat muncul ke permukaan,
konsep kepemimpinan SH Terate dipilah jadi dua jalur. Yaitu, jalur
idealisme (ajaran, keilmuan atau disebut juga ke-SH-an) dan jalur
profesional (organisasi dan pengembangan).
Pada era ini jalur
kepemimpinan idealisme dipegang oleh RM. Imam Koesoepangat, lebih akrab
dengan panggilan Mas Imam. Istilah yang digunakan adalah Ketua Dewan
Pusat.
Sedangkan jalur profesionalisme diamanahkan kepada KRH. H. Tarmadji
Boedi Harsono, SE. lebih akrab dengan panggilan Mas Maji. Istilah yang
digunakan adalah Ketua Umum Pusat.
Pasca Mas Imam wafat, praktis kepemimpinan SH Terate mengerucut
kembali ke kepemimpinan tunggal.
Alasan mendasar, sepeninggal Mas Imam,
SH Terate hanya memiliki satu orang Tingkat III, yaitu Mas Maji.
Al-hasil, Mas Madji yang semula diamanati memegang tanggung jawab sebagai
pelaksana organisasi, serta merta harus memegang amanah sebagai
pelaksana ajaran.
Dasarnya, pengampu keilmuan tertinggi di SH Terate
adalah Tingkat III.
Pada akhir hayat Mas Maji, konsep kepemimpinan SH Terate kembali
diformat jadi dua jalur, seperti pada era Mas Imam. Yakni, jalur ideal
dan profesional. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial mulai dijalankan.
Ini bisa dilihat dari jumlah Dewan Pusat yang dipasang. Yakni, jadi 9
orang. Mas Maji saat itu menyebutnya sebagai Nawa Pandhita (9 guru). Sedangkan amanah pada sisi pelaksana organisasi diserahkan kepada Ketua
Umum Pusat.
Dua nama tokoh muncul sejalan dengan kebijakan ini. Yaitu,
Kol Inf (Purn) Ricard Simorangkir, kemudian digantikan H. Arief
Suryono, karena Mas Ricard (panggilan akrab Ricard Simorangkir) wafat.
Konsep kepemimpinan kolektif kolegial ini, tampaknya menjadi bagian
paling dianggap pas oleh tokoh-tokoh SH Terate. Hingga, pada Parapatan Luhur SH
Terate 2016 yang baru saja digelar, kepimpinan kolektif kolegial, resmi
diusung menjadi bagian sejarah perkembangan SH Terate. Hanya namanya
diganti dari semula Dewan Pusat, menjadi Majelis Luhur. Sedangkan
pemimpin yang bertugas memegang amanah pelaksana organisasi, diserahkan
kepada Ketua Umum Pusat. Nama resminya sesuai AD/ART SH Terate produk
Palu SH Terate 2016, Ketua Umum Pengurus Pusat.
Mejelis Luhur hasil Parapatan Luhur SH Tertae 2016 sepakat memberi amanah
pemegang ajaran kepada sembilan orang tokoh yang diketuai Ir. RB Wijono
(panggilan akrabnya Mas Wie) dengan delapan anggota. Tujuh anggota sudah
resmi ditetapkan, sedangkan satu anggota lagi masih dalam proses
penetapan.
Sementara pada sisi pelaksana organisasi, Dr. Ir. Muhammad Taufik, SH.M.Sc (penggilan akarbnya Mas Taufik) diserahi amanah sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat.
Sementara pada sisi pelaksana organisasi, Dr. Ir. Muhammad Taufik, SH.M.Sc (penggilan akarbnya Mas Taufik) diserahi amanah sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat.
Sumber: lawupos.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar