Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Rabu, 10 Oktober 2018

KESALAHAN MAKNA AL-FATEKA

MENJAWAB SOAL KESALAHAN MAKNA "AL-FATEKA"

Oleh: Ust. Dr. Miftah el-Banjary
(Dosen Ilmu Semantik Arab)

Ada di antara kalangan para sahabat melaporkan pada Rasulullah SAW bahwa ada para sahabat lain di suatu perkampungan suku Arab badui lainnya yang keliru bacaan al-Qur'annya, lantas Rasulullah SAW memanggil sahabat itu dan meminta diperdengarkan.

Akhirnya, Rasulullah SAW bersabda bahwa "al-Qur'an itu diturunkan pada 7 dialek/aksen yang berbeda-beda." Mengapa Rasulullah SAW menerima perbedaan dialek para sahabat yang berbeda-beda bacaannya itu?
Jawabannya: karena perbedaan bacaan para sahabat, tidak mengubah pada makna substansi makna Al-Qur'an itu.

Menjadi lain persoalannya, jika ucapannya itu mengubah pada substansi makna dari ayat Al-Qur'an itu sendiri. Nah, tentu Rasulullah SAW tidak akan mentolerir.

Masih ingat kisah kemarahan Sayyidina Umar bin Khattab terhadap orang yang sembarangan menyebutkan lafal Al-Qur'an, beliau marah menegur seraya ingin memukulnya.

Soal aksen kita tidak boleh saling menghujat dan hina, tapi soal ketepatan makhrijul huruf dan ketepatan melafadzkan huruf itu wajib diluruskan dan wajib belajar untuk mengucapkan lafal yang tepat dan benar.

Apa pasalnya?

Sebab bahasa Arab merupakan bahasa yang paling kaya makna dan paling sensitif terhadap pergeseran makna. Artinya, kesalahan mengucapkan berakibat pada kesalahan makna.

Contohnya:
√ Lafadz "Qalbu" (قلب) bermakna "Hati", namun jika dibaca "Kalbu" (كلب) berubah menjadi "Anjing".

√ Kosakata "Katala" (كتل) bermaknan"Menawan", tapi jika dibaca "Qatala" (قتل) berarti "Membunuh".

√ Kata "Sakin" (سكين) dengan fathah bermakna "Ketenangan" bisa berubah menjadi "Pisau" jika dibaca "Sikin" dengan Kasrah.

Dari sinilah seharusnya kita belajar dan harus terus belajar memperbaiki bacaan makhrijul huruf kita, sebab kesalahan dalam pengucapan makhraj huruf pastinya berakibat pada kesalahan-kesalahan bacaan al-Qur'an selanjutnya.

Sekarang mari kita perhatikan pergeseran makna dari "Al-Fatihah" menjadi "Al-Fateka", bukan menurut saya, tapi menurut Al-Mu'jam Al-Wasithkamus yang menjadi rujukan bahasa Arab yang cukup dianggap sangat repesentatif saat ini.

Apakah merubah makna atau tidak?

Al-Fatihah bermakna "Pembuka"
Al-Fatika/ Al-Fateka bermakna "Kesewenangan", "Membunuh", dan "Kekerasan."

Jadi, kesimpulannya budaya dan aksen/dialek bahasa daerah tidak bisa dijadikan justifikasi atas kesalahan pengucapan makharijul huruf bahasa Arab yang bisa dianggap disepele.

Barangkali Allah ingin menunjukkan kepada kita siapa sosok pemimpin kita dari ucapan yang keluar dari ucapannya sendiri. Bukan sekedar kesalahan pengucapan, tapi faktornya karena ya tidak terbiasa melafalkan kalimah-kalimah thayyibah.
Ini faktor yang seringkali ditemui dari orang-orang yang sering keliru bacaan Al-Qur'annya.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar