Iman adalah rasa percaya dan keyakinan hati terhadap wujud dan
kebenaran (haq) serta eksisitensinya suatu Dzat yaitu Alah swt. Keimanan
ini tidak hanya sebatas mempercayai dan menyakini adanya dzat Allah
saja, tetapi mempercayai dan meyakini tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan keberadaan Allah itu sendiri.
Misalnya tentang keberadaan Malaikat, tentang firman-firman yang
diturunkan melalui wahyu kepada para Rasul, yang sudah terhimpun dalam
kitab, tentang para Rasul atau orang-orang yang diutus untuk
menyampaikan firman-firman yang telah turun kepada sekelompok kaum,
tentang kebenaran akan datangnya hari kiamat atau hari penghisaban, yang
terakhir tentang ketentuan dan ketetapan Allah yang dinamakan takdir.
Iman ini sendiri terbagi menjadi lapisan-lapisan yang relatif tipis
atau tebalnya antara satu orang dengan orang yang lain, tetapi secara
garis besar lapisan atau tingkatan iman itu terbagi menjadi 3 (tiga)
yaitu, Ilmul Yakin, ainul yakin dan haqqul yakin.
Ilmul Yakin adalah kesadaran untuk meyakini tentang segala sesuatu
khususnya tentang ketauhidan Allah dan segala yang berkaitan dengan
sifat-sifatNya melalui orang lain, misalnya guru di sekolah, kyai atau
para ustadz bahkan mungkin orang-orang yang dekat dengan kita yang
bersedia untuk memberikan masukan tentang berbagai hal. Khususnya
mengenai ilmu agama.
Ainul Yakin adalah suatu keyakinan yang tidak hanya di dapat dari
seseorang, tetapi keyakinan yang terbangun karena suatu pencarian
tentang bukti-bukti keberadaan Allah dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan kekuasaan dan kemutlakan mengenai hukum-hukum alam yang telah diciptakannya. Pada tahap ini seseorang akan melihat sendiri dan bahkan
akan mengalaminya sendiri proses-proses dari pembuktian akan kebenaran
yang awalnya hanya berupa informasi-informasi yang bersifat tekstual.
Haqqul Yakin adalah keyakinan yang mutlak dan tidak akan tergoyahkan
dari seseorang yang merasa bahwa dirinya hanyalah bagian yang sangat
kecil dari sesuatu yang sangat-sangat besar dan diluar kemampuan logika
berpikir manusia. Disini bukan hanya mata yang bisa melihat tetapi ada
keterlibatan hati yang sangat dominan dalam keyakinan akan dzat Allah.
Inilah Iman dengan sebenar-benarnya Iman.
Pada tingkatan ini seorang hamba akan secara otomatis melakukan
perintah-perintah dari Tuhannya tanpa ada rasa keterpaksaan. Pada
tingkatan ini pula akan timbul rasa kebutuhan yang sangat besat dari
seseorang pada Tuhannya dan ada rasa ketergantungan yang sangat
kepadaNya. Sehingga menimbulkan efek untuk selalu bisa berinteraksi
kapan saja dan dimana saja dia berada.
Ujung dari perilaku seseorang yang sampai pada tingkatan ini adalah
rasa ikhlas akan tindakan dan tingkah lakunya. Semua yang di lakukan
hanya karena Allah semata. Bukan karena yang lain yang hanya merupakan
sesuatu yang di ciptakan. Yang tidak akan bisa mempunyai kekuatan yang
paling lemah sekalipun tanpa adanya keterlibatan Tuhannya yaitu Allah
swt.
Dari adanya tingkatan-tingkatan inilah seseorang yang mengatakan
dirinya beriman masih belum bisa dikatakan sebagai seorang yang beriman
dengan sebenar-benarnya Iman. Sehingga Allah perlu memperjelas
memberikan informasi kepada kita,
QS. Al Anfaal : 2 – 3.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal.
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
QS. An Naml : 3.
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
QS. Al Ankabuut : 59.
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.
QS. Al Hujuraat : 15.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka
pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Iman yang sebenarnya adalah iman dengan amal shalih, yaitu Iman yang
disertai dengan amal perbuatan seperti yang disebutkan di beberapa ayat
dalam Al Qur`an. Amal perbuatan itu diantaranya adalah: yang
mengerjakan shalat dengan ikhlas, yang menafkahkan hartanya yang telah
di limpahkan kepadanya di jalan Allah yaitu memberikan kepada mereka
yang berhak dan yang membutuhkan, yang bertawakal hanya kepada Allah,
yang mampu bersabar meski dalam keadaan tertekan, yang begitu yakin akan
kebenaran tentang kehidupan akhirat, yang jika di sebut nama Allah
bergetar hatinya karena takut akan adzabnya, yang apabila di bacakan
ayat-ayatnya imannya akan bertambah. Itulah orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya Iman, dan Allah menambahkan dalam satu Ayat,
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
Banyak dari diri kita yang menyatakan beriman tapi sedikit dari kita
yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebagian
besar dari kita adalah beriman di level yang pertama, karena
sesungguhnyalah keimanan yang kita akui itu tak lebih dari sekedar hanya
pengakuan atas wujudnya Allah dan kebenaran agama saja. Bahwa Allah itu
wujud memang benar adanya. Bahwa beragama itu suatu kewajiban yang
harus menempel pada identitas kita, yang jika kita melalaikannya akan
berakibat fatal, kita akan dituding sebagai pengikut aliran terlarang,
akan dituding sebagai pengikut kepercayaan tertentu yang bukan merupakan
suatu agama yang “resmi” dan diakui oleh penguasa atau pemerintah.
Sehingga banyak pula dari kita yang beragama tanpa mengetahui apa makna
dari beragama itu sendiri.
Dalam “diri” agama itu sendiri tersusun dari beberapa tingkatan.
Dalam Agama Islam sebenarnya tingkatan itu tersusun menjadi 3 (tiga)
level. Tingkatan yang pertama adalah Iman, yang kedua Taqwa dan yang ke
tiga Islam.
Mungkin bagi sebagian orang susunan itu rancu atau kacau karena
sebagian orang menempatkan taqwa sebagai tujuan terakhir dari tujuan
beragama. Muttaqin menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya diri kita
oleh Allah untuk kembali kepadaNya. Hal ini memang benar adanya dan
jangan pernah pula untuk dipungkiri. Tapi kalau di cermati susunan
tingkatan diatas juga bisa diterima sepenuhnya oleh akal atau nalar
kita.
Kata “Islam” jika di cermati dari arti kata-nya bisa berarti “Tunduk”
atau“berserah diri” . Berserah diri disini tentunya hanya berserah diri
kepada Allah. Itulah agama tauhid yang di bawa oleh Rasulullah saw.
Muttaqiin yang sebenarnya bisa pula di identikkan dengan orang-orang
yang “aslam” yang berarti tunduk, menyerahkan diri sepenuhnya hanya
kepada Allah semata.
QS. Ali Imraan 83.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ﴿٨٣﴾
“Afaghaira diinillahi yabghuuna wa lahu aslama man fiissamaawaati wal ardhi thau`an wa karhaan wa ilaihi yurja`uuna”
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ﴿٨٣﴾
“Afaghaira diinillahi yabghuuna wa lahu aslama man fiissamaawaati wal ardhi thau`an wa karhaan wa ilaihi yurja`uuna”
”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan”.
Jika Islam di maknai sebagai penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah
swt, memang harusnya berada di tingkatan akhir dari suatu proses
beragama, tetapi jika “Islam” dimaknai sebagai suatu nama dari sebuah
agama, maka makna Islam yang sebenarnya akan berada di balik
bayang-bayang kebesaran agama Islam.
Kita semua mengetahui dan menyadari bahwa berapa banyak orang yang
mengaku beragama Islam tetapi pengetahuan tentang Islamnya begitu minim
sekali. Mending kalau masih disertai dengan kemauan belajar, kalau tidak
? Betapa menyedihkan sekali ! Kita hanya akan berada dipinggiran inti
dari sebuah agama yang lurus yang terbungkus oleh tebalnya “ilmu”.
Inti agama tauhid yang terbungkus oleh dalam dan tebalnya ilmu
bagaikan biji dalam buah semangka tanpa biji. “Biji” yang sepertinya
tidak ada tetapi sebenarnya ada, dalam arti, inti dari sebuah proses
ber-agama itu sebenarnya ada dan nyata, yaitu “Iman”. Tetapi tidak akan
pernah kita temukan jika kita tidak pernah mengusahakannya.
“Iman” itu bisa diminta kepada Allah. Asal kita mau sedikit bersusah
payah, niscaya Allah akan menurunkan sebuah “petunjuk” Nya. Nah
“petunjuk” itulah yang akan kita gunakan untuk menelusuri “peta” inti
dari sebuah pentingnya agama bagi kita.
Sebenarnya petunjuk itu sudah ada, yaitu Al Qur`an dan tanda-tanda
kebesaran dan kekuasaan Allah yang ada di alam semesta. Tetapi jika
seseorang bersikat apatis terhadap Iman dan tauhid dia tidak akan pernah
menghiraukan keduanya. Bahkan bersikap menjauhi keduanya. Sampai
datangnya kesadaran spritual dalam qalbu atau hatinya. Pada saat datang
kesadaran akan kebutuhan dan ketergantungan kepada Allah itulah
seseorang akan mulai berpaling kepada “petunjuk” Allah tersebut.
Jika komitmennya kuat dan konsisten dalam memahaminya orang tersebut
akan mendapat suatu pencerahan batin. Dimana akan timbul sikap untuk
taat dalam menjalankan perintah-perintah agamanya.
QS. Al Isra: 36.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Allah memberikan kan kita pendengaran, penglihatan dan hati tak lain
karena Allah menginginkan manusia memahami keberadaan Allah dengan
segala sifat-sifatnya melalui ketiganya. Jika tidak, Allah sudah
mempersiapkan diri dan jiwa kita untuk berhadapan dengan hukum Allah di
akhirat yang pedihnya jauh melebihi siksa di dunia.
Uraian di atas untuk mengulas sedikit dari tingkatan iman. Sekarang
kita coba untuk mengetahui sedikit tentang tingkatan dalam “ber-agama”.
Yang pertama adalah komitmen ber-agama, yang kedua adalah buah dari
komitmen beragama yaitu Iman, yang ketiga adalah taqwa, hasil dari
masuknya Iman ke dalam hati yang disertai dengan amalan atau
perbuatan-perbuatan yang baik, yang merupakan perwujudan dari iman itu
sendiri.
Jika kita bisa melalui ketiga fase atau tingkatan tersebut, maka kita
akan sampai pada esensi beragama yaitu “Islam” atau “penyerahan diri”
sepenuhnya hanya kepada Allah. Dan itu semua adalah buah dari jerih
payah atau usaha pencarian makna hidup dari keber-agama-an kita.
Komitmen beragama tidak boleh berhenti hanya sebatas persaksian
melalui ucapan dua kalimat syahadat. Komitmen ber-agama harus berefek
pada ketebalan Iman. Dengan apa ? Tentunya dengan “Ilmu” . Ilmu itulah
nanti yang akan memberikan kita pemahaman akan arti pentingnya seseorang
harus berkomitmen untuk ber-agama. Hanya dengan pemahaman tentang
ayat-ayat Allah saja seseorang bisa menemukan sebuah contoh kebenaran.
Baik itu ayat-ayat yang ada dalam Al Qur`an yang disebut ayat qauliyah
maupun ayat-ayat yang ada di alam yang biasa disebut ayat kauniyah.
Kedua ayat tersebut hendaknya dipahami secara bersamaan, karena salah
satunya merupakan penjelasan atau bukti dari yang lain, yaitu ayat-ayat
Al Qur`an. khususnya untuk ayat-ayat yang berkaitan dengan peristiwa
alam. Misalnya bergantinya siang dan malam, tentang turunnya hujan,
tentang tanaman yang berbuah, semua itu adalah bukti-bukti keberadaan
dan kekuasaan Allah swt.
Iman yang semakin “menebal” dikarenakan pemahaman akan lebih kuat
melekatnya dari pada iman yang hanya sekedar “katanya”. Karena iman yang
di dapat dari pemahaman ini akan berefek pada pembentukan karakter diri
dengan keinginan yang datangnya dari hati untuk segera merealisasi
perwujudan dari pada iman itu sendiri. Yaitu berupa amalan atau
pembiasaan diri dalam tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku
Rasulullah yang telah memberi contoh atau teladan yang baik.
Pembiasaan diri dalam bertingkah laku yang baik berdasarkan iman ini
akan berefek pada taqwa. Dimana kata “taat” akan secara perlahan namun
pasti akan melekat pada dirinya. Pada kondisi ini seseorang tidak boleh
berhenti untuk selalu melakukan eksplorasi terhadap ayat-ayat Allah
untuk mengasah kemampuan dalam memahaminya. Ayat-ayat Allah tersebar di
seantero jagat raya, yang jika kita gunakan seluruh umur kita untuk
mencoba memahaminya tidak akan habis kalimat-kalimat Allah.
Pemahaman harus selalu bertambah, kehidupan beragama kita harus
dinamis. Hari ini haruslah lebih baik dari hari kemarin dan hari esok
harus lebih baik dari hari ini. Iman haruslah selalu bertambah selaras
dengan pemahaman. Jika tidak berarti kita termasuk dalam kelompok orang
yang merugi karena menyia-nyiakan waktu. Dan kita semua tahu bahwa waktu
tidak akan berjalan mundur. Waktu akan terus berlalu seiring dengan
bergesernya bumi yang kita tempati. Dan umur manusia akan selalu
berkurang dari waktu ke waktu, sampai tiba waktu ajal yang telah di
tentukan.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
dijelaskan di ayat tersebut bahwa mereka yang “ber-iman” mereka itu
sudah berpegangan kepada buhul tali Allah yang sangat kuat dan tidak
akan pernah putus. Buhul tali atau simpul tali atau ikatan tali yang
kuat, lebih memberikan penjelasan tentang “tali” yang merupakan kabel
atau penghubung atau jalan yang menghubungkan seorang hamba kepada
Tuhannya. Iman yang diumpamakan tali tersebut tidak lain karena Iman
adalah modal atau merupakan modal dalam menjalani amal perbuatan
selanjutnya.
Ibarat sebuah bangunan “Iman” adalah pondasi. Tanpa pondasi akan
sia-sia keberadaan sebuah bangunan, bahkan kemungkinan besar akan
mencelakan bagian-bagian lain dari bangunan itu sendiri. Tetapi pondasi
yang kuat akan mempertahankan sebuah bangunan sampai semua bagian dari
bangunan itu perlahan lapuk atau dimakan usia. Dan pondasi saja masih
belum cukup untuk menjadikan diri kita bagai sebuah bangunan yang
sempurna. Kesempurnaan diri dan jiwa kita bisa terbangun apabila kita
bisa membangun Amalan yang baik di atas pondasi iman kita.
Di ayat lain Allah juga menegaskan kalau amal perbuatan yang tidak
dilandasi oleh iman adalah sesuatu yang sia-sia. Iman menjadi sesuatu
yang paling utama dalam hidup. Tanpa Iman otomatis kita termasuk dalam
golongan orang-orang yang ingkar kepada Allah. Padahal segala sesuatu
yang ada di bumi dan di langit dan di antara keduanya ini hanyalah milik
Allah. Maka menjadi masuk akal jika seseorang yang melakukan segala
aktifitas perbuatan yang menurut dirinya paling baik sekalipun akan
sia-sia karena tertolak dikarenakan ke-kafiran-an yang melekat pada
dirinya.
QS. An Nuur : 39.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
”Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga,
tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.
Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan
kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya.”
QS. An Nuur : 40.
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
”Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh
ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap
gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya,
tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi
cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.”
Untuk itulah kita harus “Istiqomah” dalam pemahaman tanda-tanda atau
ayat-ayat Allah ini. Hingga semakin hari semakin bertambah Iman kita.
Sejalan dengan berlalunya waktu semakin dekat pula ajal kita. Semakin
dekat saatnya semakin kita kedinginan, tapi jika kita berjalan dengan
berselimut “Iman”, jangan pernah khawatir dan merasa ketakutan. Sehingga
nantinya kita bisa berharap untuk ditetapkannya mati dalam keadaan iman
dan Islam.
Jika Iman sudah melekat pada diri dan hati kita secara alami kita
akan berusaha untuk memenuhi segala efek dari Iman itu sendiri. Efek
dari Iman adalah memenuhi segala yang di perintahkan oleh Allah swt.
berupa amalan-amalan yang baik. Amalan-amalan yang baik inilah yang
nantinya akan menjadi saksi perbuatan kita selama hidup dalam
ke-Iman-an. Dan Iman dan amalan yang baik inilah yang nantinya akan
memasukkan diri kita ke dalam golongan orang-orang yang benar. Dan
orang-orang yang di kehendaki oleh surganya Allah swt.
Dan mudah-mudahan pula Allah akan memasukkan mereka yang “istiqamah”
dalam pemahaman ketauhidan kedalam golongan orang-orang yang bertaqwa
yang berbalut kain “keikhlasan”. Dan akan berakhir dengan keridhaan
Allah dalam menerima kembalinya diri dan jiwa kita kepadaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar