Salah satu definisi iman adalah diyakini dalam hati, diucapkan dengan
lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Adakah pertanyaan dalam diri
kita, seberapa besarkah kadar keimanan yang kita miliki? dan terlebih lagi
ada satu pertanyaan mendasar bahwa dapatkah keimanan itu diukur (dalam
hal ini mengukur keimanan diri sendiri ataupun keimanan orang
lain)? Bagaimana kita mengetahui kadar keimanan kita, sedangkan keimanan
itu dapat diukur atau tidaknya saja kita tidak mengetahuinya.
Perbedaan pendapat dalam berbagai hal adalah hal yang biasa. Termasuk
berbedaan pendapat dalam hal untuk menjawab pertanyaan apakah keimanan
itu dapat diukur.
Beberapa di antara kita tentunya ada yang berpendapat bahwa tidaklah mungkin keimanan itu dapat diukur. Bentuk keimanan itu seperti apa saja kita tidak mengetahuinya, lantas bagaimana kita dapat mengukurnya?. Keimanan itu merupakan urusan antara makhluk dengan Tuhannya dan hanya merekalah yang mengetahuinya, sehingga bagaimana mungkin seseorang bisa mengukur kadar keimanan orang lain. Mengukur keimanan diri sendiri saja terkadang kita tidak bisa.
Pengukuran keimanan mungkin tidak dapat diterapkan secara keseluruhan. Kita
hanya dapat mengukur keimanan ‘yang nampak’ dalam diri
seseorang. Mungkin hanya sebagian kecil saja yang dapat kita
ukur. Keimanan ‘yang nampak’?. Bisa saja kan seseorang memanipulasi
keimanan ‘yang nampak’ itu agar dapat dikategorikan sebagai orang yang
memiliki kadar keimanan ‘bagus’. Hal ini memang dapat atau bahkan
sering terjadi disekitar kita. Berpura-pura rajin dalam beribadah hanya
ingin dinilai sebagai orang yang memiliki kadar keimanan yang
tinggi. Mungkin orang yang memiliki ‘kategori tersebut’ sering kita
temukan disekitar kita.
Kita mungkin tidak dapat "meng-angkakan" berapa kadar keimanan kita, tetapi kita dapat menilai seberapa kadar keimanan kita.
Lalu apa jawaban dari pertanyaan diatas? dapatkah keimanan itu diukur?.
Kedua pendapat di atas adalah benar bahwa ada beberapa aspek keimanan yang tidak dapat diukur. Kita mungkin tidak dapat mengukur beberapa aspek keimanan di luar batas kemampuan kita. Di mana yang dapat mengetahui seberapa besar kadar aspek keimanan tersebut hanya kita dan Allah yang mengetahuinya, atau bahkan hanya Allah yang mengetahui. Tetapi kita juga tidak dapat menolak pendapat yang kedua bahwa keimanan itu dapat diukur. Tentunya tidak semua aspek keimanan itu dapat diukur, atau bahkan mungkin hanya sedikit aspek keimanan yang dapat diukur. Kita tidak dapat mengukur keimanan apabila aspek tersebut adalah urusan antara seseorang dengan Allah, dimana hanya orang tersebut dan Allah yang mengetahuinya.
Dalam Al-qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 10 Allah berfiman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar
yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Allah memberikan hak kepada manusia untuk mengukur kadar keimanan
seseorang, tetapi masalah apakah ‘keakuratan’ dari hasil pengukuran kita
mengenai benar tidaknya kadar keimanan yang dimiliki seseorang adalah
urusan Allah.
Allah lah yang lebih mengetahui kadar keimanan seseorang dan mengetahui segala hal.
Allah lah yang lebih mengetahui kadar keimanan seseorang dan mengetahui segala hal.
Wallahu a'lam...
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar