Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Kamis, 05 Desember 2019

Ciri-ciri Anak Stunting dan Cara Mengatasinya


Ilustrasi anak Indonesia.
Ilustrasi anak Indonesia. (Foto: Shutterstock)

Berdasarkan hasil Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2018 yang dilakukan Kemenkes, prevalensi anak stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen. Anak di bawah lima tahun atau balita menjadi sampel riset tersebut. Artinya, sekitar 1 dari 3 balita di Tanah Air menderita stunting.

Oleh karena itu, setiap orang tua harus mewaspadai ciri-ciri stunting pada anak. Pasalnya, jika masalah gizi kronis itu terlambat ditangani, akan berdampak hingga si kecil dewasa. Tak hanya bertubuh pendek, anak juga rentan terkena penyakit degeneratif seperti obesitas.

Anda mungkin berpikir si kecil lebih pendek daripada anak-anak seusianya karena faktor genetik. Anggapan itu mungkin benar, sebab faktor genetik memegang peran besar pada tinggi badan anak. Namun Anda perlu ingat faktor lingkungan juga mempengaruhi, termasuk asupan gizi.

Ilustrasi anak Indonesia.
Ilustrasi anak Indonesia. (Foto: Shutterstock)

Berikut ciri anak stunting yang perlu Anda waspadai:

- Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), anak dikatakan stunting jika tinggi badan menurut usianya di bawah minus 2 standar deviasi dari median Standar Pertumbuhan Anak WHO.

- Pertumbuhan giginya terlambat

- Proporsi tubuhnya normal namun anak terlihat lebih muda daripada anak seusianya.

- Berat badannya rendah, tapi punya pipi yang chubby karena persebaran lemak yang tidak merata

- Pertumbuhan tulang terlambat

- Menurut Buku Saku Desa Penanganan Stunting yang dikeluarkan Kemenkes, anak stunting juga cenderung punya performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.

Jika Anda mendapati gejala stunting tersebut pada anak usia kurang dari dua tahun, belum terlambat untuk menanganinya. Sebab si kecil masih menjalani 1000 hari pertama kehidupan. Pada periode ini, tumbuh kembang anak masih dapat dikejar lewat nutrisi dan stimulasi, Moms.

Penanganan atau intervensi stunting pada anak di bawah 2 tahun dapat dilakukan dengan memberikan ASI. Berikan ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan, lalu dilanjutkan dengan tambahan memberikan makanan pendamping ASI hingga usianya 2 tahun atau lebih.

Untuk anak usia 7-23 bulan, Anda juga bisa memberikan obat cacing dan suplemen zat besi atas resep dokter. Asupan zat besi dalam makanan sehari-hari juga perlu ditambah, misalnya dengan rutin memberi daging merah, kacang-kacangan, sayur bayam, dan lain-lain.

Ilustrasi bayi menimbang berat badan.
Ilustrasi bayi menimbang berat badan. (Foto: Shutterstock)

Orang tua juga diharapkan memberikan imunisasi lengkap, rutin mengecek tumbuh kembang balita ke Posyandu, memenuhi kebutuhan air bersih, serta menjaga kebersihan lingkungan rumah.

Lantas, bagaimana jika stunting baru diketahui setelah anak berusia lebih dari 2 tahun?

Mengutip laman Adoption Nutrition, anak stunting lebih dari usia 2 tahun berisiko tidak bisa memenuhi potensi pertumbuhan yang hilang meski nutrisinya dipenuhi setelah itu. Anak-anak dengan riwayat stunting juga berisiko mengalami keterlambatan kognitif dan kemampuan belajar.

Hal itu juga dipaparkan oleh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dalam acara Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) di Hotel Bidakarya, Jakarta Selatan, pada Juli 2018.

“Kalau sampai 5 tahun (anak stunting) ini baru dicecer makanan, bukannya tinggi malah besar ke samping. Nanti korelasinya ke penyakit tidak menular makin meningkat,” ungkap Nila.

Bukan berarti anak stunting usia 2 tahun ke atas tidak ada harapan, Moms. Ia juga bisa tumbuh meski lebih pendek daripada teman-teman sebayanya. Hanya, pemenuhan nutrisi sehari-hari harus lebih waspada agar tak terkena obesitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar