Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Sabtu, 30 Mei 2020

Dzikir "Hashontukum" (Do'a Perlindungan dari Syarrul 'Ain (Kejahatan Mata)

Dzikir "Hashontukum" dan Penjelasannya

حَصَنْتُكُمْ بِالْحَيِّ الْقَيُّوْمِ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ أَبَدًا وَدَفَعْتُ عَنْكُمُ السُّوْءَ بِأَلْفِ أَلْفِ أَلْفِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعِلِيِّ الْعَظِيْمِ
Artinya:
“Aku menjaga kalian dengan kekuatan Dzat yang maha hidup lagi perkasa yang tidak akan mati selamanya dan aku menolak keburukan (agar menjauh) dari kalian dengan beribu-ribu laa haula wa laa quwwata illaa billaahil 'aliyyil 'adhiim”

Bagi santri Al Fithrah maupun Jamaah Al Khidmah tentu tidak asing dengan dzikir Hashantukum yang dibaca setelah shalat maghrib, subuh maupun setelah khususi, karena dzikir itu sudah menjadi wadhifah sehari-hari yang dituntunkan oleh Hadhratusy Syaikh Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi.

Namun mungkin ada atau banyak di antara kita yang belum tahu makna, hakikat maupun tujuan dari dibacanya dzikir itu.

Sejauh penelusuran kami, dzikir Hashantukum ini terdapat dalam kitab al-Adzkar karya Imam An Nawawi (w. 676 H.),  al-Iqna' dan Mughnil Muhtaj karya Ahmad asy-Syirbini al-Khathib (w. 977 H.), Hasyiyah al-Bujayrami karya Sulaiman al-Bujayrami (w. 1221 H.) dan I'anatuth Thalibin karya Sayyid al-Bakri (w. setelah tahun 1302 H.). Semuanya mengutip dari keterangan yang disampaikan oleh al-Qadhi Husain (w. 462 H.) dalam kitabnya at-Ta'liq.

Dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi mengutip pernyataan al-Qadli Husain, dimana beliau  mengisahkan bahwa pada suatu hari ada seorang Nabi AS yang memandang kaumnya. Kaum Nabi itu bertambah banyak hingga membuatnya takjub. Namun dalam sekejap tujuh puluh ribu dari kaumnya itu meninggal dunia. Lalu Allah SWT memberikan wahyu kepadanya seraya berfirman:

"Sesungguhnya pandanganmu telah menyebabkan mereka meninggal. Seandainya engkau memandang mereka, lalu melindungi mereka tentu mereka tidak akan binasa." Nabi itu berkata: "Dengan apa aku melindungi mereka?" Maka Allah memberikan wahyu kepada Nabi itu seraya berfirman: "Ucapkanlah: Hashantukum bil hayyil qayyuumilladzii laa yamuutu abada wa dafa'tu 'ankumus suu'a bi la haula wa laa quwwata illa billahil 'aliyyil 'adhiim" (aku menjaga kalian dengan kekuatan Dzat yang maha hidup lagi perkasa yang tidak akan mati selamanya dan aku menolak keburukan (agar menjauh) dari kalian dengan laa haula walaa quwwata illaa billaahil 'aliyyil 'adhiim)"

Dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Nawawi tidak mencantumkan alfi. Sementara dalam riwayat yang dikutip oleh asy-Syirbini al-Khatib dan Sayyid Bakri mencantumkan alfi, namun hanya sekali. Penyebutan alfi alfi alfi tiga kali dalam dzikir Hashantukum yang dituntunkan Hadhratusy Syaikh menurut kami lebih kepada penekanan agar lebih mantap.

Imam Nawawi sendiri dalam kitabnya al-Adzkar memasukkan wirid ini pada bab "Bab tentang apa yang diucapkan seseorang ketika ia melihat sesuatu pada dirinya atau anaknya atau hartanya atau yang lainnya, lalu ia mengaguminya dan khawatir akan terjadi sesuatu yang dapat membahayakannya karena pandangannya itu". 

Pada bab ini, Imam Nawawi memulainya dengan menampilkan hadis yang menegaskan bahwa al-'Ain (penyakit yang timbul dari pengaruh jahat pandangan mata) adalah nyata. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW bersabda:

"Penyakit 'ain (yang disebabkan oleh sorotan mata yang dengki) adalah haq (benar).” [HR. Bukhari dan Muslim].

Dalam riwayat lain disebutkan:
"Penyakit 'ain (yang disebabkan oleh sorotan mata yang dengki) adalah haq (benar), syaitan dan kedengkian anak Adam hadir (berperan) pada penyakit itu.” [HR. Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin].

Dalam sebuah hadis riwayat Al Bukhari, dari Ibnu 'Abbas, beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ.
Artinya:
"Bahwa Nabi SAW biasa memohonkan perlindungan untuk Hasan dan Husein (dua cucu Beliau) dan berkata; "Sesungguhnya nenek moyang kamu pernah memohonkan perlindungan untuk Isma'il dan Ishaq dengan kalimat ini: "A'uudzu bi kalimaatillaahit taammati min kulli syaitaani wa haammatin wa min kuli 'ainin laammah" (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap syaitan dan segala makhluk berbisa dan begitupun dari setiap mata jahat yang mendatangkan petaka).”

Dalam riwayat yang lain Nabi SAW berdoa minta perlindungan untuk Hasan dan Husain, beliau membaca:

"U'iidzukumaa bikalimaatillaahit taammah min kulli syaithaanin wa haammatin wa min kulli 'ainin laamatin (Aku memohon perlindungan kepada Allah untuk kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap kejahatan setan dan binatang bisa yang mematikan, dan dari setiap mata yang hasud). Kemudian beliau bersabda: “Dahulu bapak kalian (Ibrahim) juga pernah minta perlindungan dengan keduanya untuk anaknya; Isma'il dan Ishaq.”

Dari keterangan beberapa hadis di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan mata seseorang -atas izin Allah SWT tentunya- dapat membahayakan orang lain. Namun pandangan yang dapat membahayakan ini hanyalah pandangan yang disertai dengan rasa dengki atau rasa takjub terhadap objek yang dipandang. Tentang pandangan yang dapat membahayakan ini juga dikisahkan oleh Allah SWT dalam al-Qur'an, dimana Allah SWT berfirman:

وَإِنْ يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ.
Artinya:
"Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Quran dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila." [QS. Al Qalam: 51].

Menurut kebiasaan yang terjadi di tanah Arab, seseorang dapat membinasakan binatang atau manusia dengan menujukkan pandangannya yang tajam. Hal ini hendak dilakukan pula kepada Nabi Muhammad SAW, akan tetapi Allah SWT memeliharanya, sehingga terhindar dari bahaya itu, sebagaimana dijanjikan Allah dalam surat Al-Maidah ayat 67. Kekuatan pandangan mata itu pada masa sekarang dikenal dengan hypnotisme.

Dalam sebuah riwayat dari Shuhaib, Rasulullah SAW pada hari Hunain menggerakkan kedua bibirnya setelah menunaikan shalat Fajar, suatu pemandangan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Maka para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami melihat Anda melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya. Apa maksud Anda menggerakkan kedua bibir Anda?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya para Nabi sebelum (masa) kalian terkagum-kagum akan banyaknya umatnya. Maka Nabi itu pun berkata, "Mereka ini tidaklah diinginkan oleh sesuatu pun." Akhirnya Allah mewahyuhkan padanya, "Hendaknya kamu memilih salah satu dari tiga hal yaitu; mereka dikalahkan oleh musuh dari selain golongan mereka dan membinasakan mereka. Atau (mereka ditimpa) kelaparan, ataukah kematian yang akan menjemput mereka." Maka sang Nabi itu pun bermusyawarah dengan mereka. Mereka berkata, "Adapan musuh, maka tidak ada ketaatan kami terhadap mereka. Sedangkan kelaparan, maka kami tidak akan sabar atasnya. Akan tetapi (biarlah kami dijemput) oleh kematian." Setelah itu, Allah pun mengirimkan kematian atas mereka. Sehingga yang meninggal dari mereka dalam waktu tiga hari mencapai tujuh puluh ribu orang." Rasulullah SAW bersabda: "Maka sekarang aku akan berdoa -saat melihat banyaknya jumlah mereka-, Allahumma bika uhaawil wabika ushaawil wabika uqaatil (Ya Allah, kepada-Mulah kuserahkan segala daya dan upaya, dengan-Mulah kami menyerang, dan dengan (kekuatan-Mulah) kami berperang).'" [HR. Ahmad dll.]

Dari urain di atas kita dapat menangkap bahwa tujuan dzikir Hashantukum adalah untuk melindungi orang-orang yang ada di sekitar kita, baik itu anak, keluarga, murid dan lain sebagainya agar terhindar dari hal-hal yang dapat membahayakan mereka karena disebabkan pandangan orang-orang yang dengki, sihir maupun gangguan jin dengan berkah la haula wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'adzim. 
Wallahu a'lam.

Senin, 11 Mei 2020

Asy'ariyah dan Maturidiyah

A. Asy'ariyah

I. Sejarah perkembangan Asy'ariyah.

Asy'ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al Asy'ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 H. bertepatan dengan tahun 935 M. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun.

Al Asy'ari menganut paham mu'tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama'ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu'tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir yang melatarbelakangi Al Asyari meninggalkan faham mu'tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi bertemu dengan Rosulullah sebanyak tiga kali, dimana Rosulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu'tazilah dan membela faham yang diriwayatkan dari beliau.

II. Nama tokoh-tokoh aliran Asy'ariyah yang terkenal antara lain :
1. Al Baqilani (wafat 403 H)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
11. Al Iji (wafat 756 H)
12. Al Sanusi (wafat 895)

III. Pemikiran
Adapun formulasi pemikiran Al asy'ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu'tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu'tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M).

a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Abul Hasan Al Asy'ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujasimah dan musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan daam Al-Qur'an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan mu'tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat , tetapi substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebut dalam Al-Qur'an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al asy'ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan mu'tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah. Selanjutnya Al asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

B. MATURIDIYAH
I. Sejarah perkembangan maturidiyah
Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al Mansur Al Maturidi. Latar belakang lahirnya aliran ini hampir sama dengan aliran Asy'ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran mu'tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan mu'tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam system teologinya.
Abu Mansur Al Maturidi dilahirkan sekitar pertengahan abad ke-3 H di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand Tarsoxiana di Asia Tengah daerah yang sekarang disebut Uzbeistan. Ia wafat tahun 333 H / 944 M.
Karir pendidikan Al Maturidi lebih menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam meghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara'.

II. Tokoh-tokoh Maturidiyah.
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu Al Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 H dan meninggal pada tahun 493 H. ajaran-ajaran Al maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah An najm al Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al aqo'idal Nasafiyah.
Seperti al Baqillani dan Al Juwaini, Al Badzawi tak selamanya sefaham dengan Al Maturidi. Antara kedua pemuka aliran al Maturidiyah ini terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti faham-faham Al Badzawi.

III. Pemikiran dan doktrin-doktrin Maturidiyah.
a) Akal dan wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya mendasarkan pada Al Qur'an dan akal sebagaimana Asy'ariyah, namun Al Maturidi memberikan porsi lebih besar terhadap akal dari pada porsi yang diberikan oleh Asy'ariyah.
Menurut Al Maturidi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui melalui akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhlik ciptaan-Nya. Kalau akal tidak memperoleh kemampuan dalam memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak memerintahkan manusia untuk melakukanya. Dan orang yang tidak amu menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan yang mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainya.
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

Wallahu a'lam...

Perbedaan Jabariyah, Qadariyah dan Asy'ariyah

Tiga tarekat di bawah ini salah satu yang paling banyak penganutnya di Indonesia. Tapi, apa yang membedakan ketiganya? Berikut penjelasan singkatanya.

Jabariyah

Secara harafiah Jabariyah berasal dari kata ja-ba-ra, yang memiliki arti keterpaksaan. Sebuah paham teologi dalam Islam yang meyakini bahwa alur hidup manusia merupakan ketentuan Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan garis hidup manusia. Dalam hal ini, manusia tidak berdaya, segala tindakan manusia merupakan ketentuan Tuhan. Meskipun paham ini mengajarkan kepasrahan tetapi sesungguhnya paham ini banyak dimanfaatkan oleh para penguasa. Pada aliran ini, kekuasaan Muawiyah pertama mencari legitimasi dari kalangan pemberontak, terutama orang-orang Syi'ah. Ucapan Muawiyah yang cukup terkenal, "Apa yang terjadi pada diriku sudah ditentukan oleh Tuhan." Paham demikian merupakan paham yang menyebabkan timbulnya banyak korupsi yang dilakukan oleh banyak para pemegang jabatan.

Qadariyah     

Qadariyah berasal dari kata-kata qa-da-ra, yang memiliki arti kehendak. Sebuah paham teologi yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada diri manusia merupakan kehendak pribadi. Aliran ini dipegang oleh kalangan Mu'tazilah yang menempatkan akal pada posisi tertinggi, lebih tinggi dari wahyu. Menurut paham ini perbuatan manusia sepenuhnya merupakan tanggung jawab. Pada paham ini, dalam politik menganjurkan sebuah kontrol terhadap jalannya sebuah kepemimpinan, melalui kontrak sosial. Bahkan, paham ini meyakini bahwa Tuhan tidak bertanggung jawab sama sekali terhadap perbuatan manusia karena Tuhan sepenuhnya telah memberikan akal kepada manusia. Paham ini dipegang oleh aliran rasional, Mu'tazilah.

Asy'ariyah

Tidak ada istilah khusus bagi aliran ini. Aliran ini berkeyakinan bahwa apa kehendak manusia dan Tuhan terdapat porsinya tersendiri. Aliran yang dicetuskan oleh Abu Hasan al-Asy'ari, seorang murid Wasil bin Atha' seorang ulama dari kalangan Mu'tazilah. Secara sederhana, aliran ini memiliki adagium yang cukup sederhana tetapi cukup mewakili, yakni, "Manusia berencana tetapi Tuhan yang menentukan." Paham ini berusaha menempuh jalan tengah dari dua keyakinan yang berseteru: Qadariyah dan Jabariyah. Penganut paham ini menyebut diri mereka sebagai Asy'ariy, sebuah nama yang dinisbahkan kepada al-Asya'ari. Meski menghargai kehendak bebas manusia, paham ini dinilai oleh banyak pemikir kontemporer sebagai paham yang tidak jauh beda dengan Qadariyah, bahkan disebutkan sebagai pemikiran subvarian Qadariyah. Karena, meskipun manusia berkehendak bebas tetap saja Tuhan yang menentukan.


Kesimpulan secara kelompok:

Qadariyah adalah sebuah ideologi dan sekte bid'ah di dalam akidah Islam yang muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah di Basrah, Irak. Kelompok ini memiliki keyakinan mengingkari takdir, yaitu bahwasanya perbuatan makhluk berada di luar kehendak Allah dan juga bukan ciptaan Allah.

Jabariyah adalah sebuah ideologi dan sekte bidah di dalam akidah yang muncul pada abad ke-2 hijriah di Khurasan. Jabariyah memiliki keyakinan bahwa setiap manusia terpaksa oleh takdir tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam perbuatannya. Tokoh utamanya adalah Ja'ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan.

Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari. Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dari Kullabiyah, yaitu pemikiran dari Abu Muhammad bin Kullab dalam meyakini sifat-sifat Allah. Kemudian mengedepankan akal di atas tekstual ayat dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits.

Wallahu A'lam...