Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Rabu, 18 Maret 2015

Pribadi Orang SH

Pribadi orang SH, seperti apa itu?

Sempat diungkap beberapa waktu lalu oleh sedulur kita di kolom olah rasa, menjadi orang SH adalah sebuah pilihan hidup.

Kita semua tentu pernah mendengar adagium ” HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN ”
Sebagai manusia yang diberi akal budi,dan kehendak bebas,hidup yang kita jalani mestinya memang menjadi sebuah pilihan.

Setelah memilih, tentu ada sederet konsekuensi yang mengikuti. Salah satunya menyangkut pribadi. Pribadi orang SH memang sepatutnya mencerminkan pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran SH. Tidak perlu menggunakan bahasa yang sulit untuk menjelaskannya. Dimulai dari diri sendiri, dimana belajar menjadi pribadi yang mensyukuri nikmat, ndak ngoyo, tapi tetap berusaha memberikan yang terbaik dalam hidup.

Mungkin usia saya terlalu muda untuk mengajari tentang hidup, tapi belajar dari pengalaman yang tak seberapa membawa saya menjadi pribadi yang terus berusaha menjiwai ajaran SH. Sehingga menjadi pribadi yang lebih mudah bersyukur dalam mensyukuri segala nikmat-Nya.

Suatu kewajaran saat langkah terantuk hambatan, mungkin akan merasakan keputusasaan yang akhirnya melemahkan diri sendiri. Tapi, setelah merenungkan satu petuah  dalam ajaran SH, bahwa “Sepiro gedhene sengsoro yen tinompo amung dadi cobo”, saya mulai merangkak untuk tetap bisa tegar dan berjuang di tengah langkah yang mungkin tak selalu mudah. Karena dari awal selalu membawa pikiran positif, inilah hidup. Gak ada hidup yang lurus-lurus saja, atau mulus-mulus saja.

Mungkin ini baru satu dari sekian banyak petuah untuk menjadi pribadi SH, bagaimana menjadi pribadi yang kuat, tak pantang menyerah, dan terus berfikiran positif dalam menerima jalan hidup yang Tuhan berikan. Bukankah ditengah takdir, ada nasib yang masih bisa kita ubah?

Dengan mencoba menjadi pribadi SH, saya belajar mengerti hidup yang sebenarnya. Seperti menjadi pribadi yang nerimo, bahwa apa yang datang, itu pasti akan pergi, bahwa apa yang pernah ada, suatu saat akan tiada. Bahwa apa yang dipunya, tak kekal sifatnya. Semoga bisa menjadi renungan bersama.

*Terutama untuk saya yang pernah merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku, mungkin itu adalah cara Tuhan untuk mengingatkan mahluknya dengan cara yang lebih dekat.

Semoga bermanfaat

#SalamPersaudaraan

Senin, 02 Maret 2015

Definisi Persaudaraan menurut SH Terate

Apakah sebenarnya hakikat dari Persaudaraan itu?
 
Pengertian Persaudaraan.
Kajian Qodrati, semua makhluk yang ada di muka bumi ini, pada pokoknya terikat pada satu jalinan Persaudaraan. Sebuah pranatan Irodati yang menempatkan manusia bersama makhluk lainnya dalam garis edar simbiosis mutualis (saling membutuhkan).
 
Manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain. Eksistensi kemanusiaan manusia juga tidak akan tercipta tanpa adanya nilai-nilai perbandingan kehidupan makhluk lain dalam ruang dan era yang sama. Terlebih jika perspektif nilai tawarnya adalah hubungan timbal balik antar manusia. Acuan retorikanya jelas dan tak terbantahkan. Yakni, bukankah miliyaran manusia yang kini menghuni jagad raya ini berasal dari pasangan suami istri, Ibu Hawa dan Bapak Adam?
 
Namun sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hakikat dari persaudaraan itu, untuk menyamankan persepsi kita terhadap makna persaudaraan, dua pendekatan pengertian dihadirkan di sini sebagai bahan acuan.
 
Pertama: Pengertian persaudaraan menurut pandangan umum.
 
Kedua: Pendekatan makna persaudaraan ditinjau dari segi etimologi.
 
Persaudaraan dalam pengertian umum adalah terjalinnya suatu hubungan timbal-balik antara individu yang satu dengan lainnya yang terikat oleh rasa kebersamaan; saling sayang menyayangi, kasih mengasihi, saling memberi dan menerima.
 
Kamu memberi sesuatu pada saya dengan ikhlas dan saya menerima pemberianmu dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa terimakasih saya kepada kamu. Lain waktu saya beri kamu sesuatu dengan ikhlas dan kamu menerimanya dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa terimakasih kamu kepada saya. Ringkas kata, ada keterjalinan dalam bentuk saling membutuhkan, asah, asih, dan asuh.
 
Sedangkan bila ditinjau dari sudut etimologi; kata “Persaudaraan” bersal dari bahasa sanskrit. “Sa-udara”, mendapat imbuhan “per-an” yang berarti hal bersaudara atau tentang tata cara menggolongkan ikatan yang kokoh sebagai jelmaan “sa (satu), ”udara (perut) atau kandungan. Ibarat manusia dilahirkan dari satu kandungan (perut) maka mereka harus dapat bersatu padu secara tulus, dan selalu ingat akan awal mulanya, (eling marang dalane).
 
Sementara jika ditinjau dari susunan katanya, kata persaudaraan terdiri atas kata dasar ”saudara” yang mendapatkan prefik per- dan sufik -an. Dan jika ditinjau dari segi nosi, konfik per-an pada kata “persaudaraan” berarti membentuk kata tersebut menjadi sebuah kata benda abstrak. Artinya, persaudaraan itu sendiri adalah abstrak adanya. Dan hanya dapat dirasakan oleh orang yang menjalaninya. Selebihnya hanya dapat dilihat dari sikap yang ditampilkan seseorang terhadap orang lain.
 
Kuncinya adalah Hati Nurani.
Persudaraan dalam pandangan Persaudaraan Setia hati Terate pada dasarnya juga tidak jauh berbeda dari pengertian tersebut di atas. Penekanannya hanya pada sasaran yang hendak dicapai, arah dari persaudaraan itu sendiri. Yakni, suatu jalinan hubungan timbal balik yang dilandasi rasa saling sayang menyayangi, saling hormat menghormati dan saling bertanggungjawab. Persaudaraan yang tidak memandang siapa kamu dan siapa aku, persaudaraan yang tidak membedakan latar belakang dan status poleksosbud (politik, ekonomi, sosial dan budaya), persaudaraan yang terlepas dari kefanatikan SARA (suku, agama, ras dan atara golongan) - dengan satu catatan keterkaitan atas pengertian persaudaraan itu tidak bertentangan dengan norma dan hukum masyarakat serta hukum negara di mana kita hidup.
 
Penjabarannya adalah sebagai berikut:
Persaudaraan Setia Hati terate, nama organisasi ini kenapa tidak menggunakan kata “perguruan” (misalnya), akan tetapi “persaudaraan”, ini melambangkan, bahwa hubungan intim atau jalinan kasih antara sesama warga maupun anggota yang tergabung di dalamnya, adalah seperti layaknya hubungan persaudaraan antara manusia dengan manusia yang berasal dari satu kandungan; yakni hubungan yang tidak membedakan siapa “aku” dan siapa ”engkau”. Pun dipertegas bahwa persaudaraan yang terkandung di dalam tubuh PSHT, adalah hubungan atau jalinan cinta kasih sejati antar sesama warga maupun anggota yang tidak di latar-belakangi oleh unsur SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
 
Tidak juga oleh derajat dan kedudukan sosial ekonomi seseorang, akan tetapi merupakan jalinan persaudaraan yang kekal dan abadi, yang satu sama lain sanggup menanggung cobaan dunia dan konsekwensi hidup secara bersama-sama dengan tetap berpegang teguh pada pendirian yang diyakini kebenarannya secara bersama-sama pula.
 
Dalam pada itu, tidak jarang dalam mengarungi kehidupannya manusia mengalami “persinggungan hidup” terhadap manusia lain. Kenyataan ini timbul sebagai akibat dari kepentingan manusia yang memang berbeda-beda. Dan kepentingan itu, secara logis bisa berasal dari kemauan masing-masing individu, bisa pula berasal dari latar belakang lain yang sifatnya subyektif. Kompensasinya adalah, sekali lagi, munculnya “persinggungan hidup” (konflik) di tengah-tengah pergaulan antar manusia.
 
Di dalam kerangka itulah, Persaudaraan Setia Hati Terate mengajak kepada segenap warga dan anggotanya, yang secara Qodrati, sebagai manusia tidak bisa lepas dari kepentingan dan latar belakang yang berbeda-beda tersebut, untuk menyatukan persepsi atas masalah-masalah yang tercakup di dalamnya, khususnya yang berkaitan dengan pengertian tentang Persaudaraan, agar tidak terjadi kesimpang-siuran dan kesalah-fahaman, yang apabila tidak dapat segera diantisipasi, akan mengarah kepada timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan bersama.
 
Persaudaraan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate adalah Persaudaraan sejati. Yakni persaudaraan yang murni dari lubuk hati sanubari, tanpa dilatarbelakangi oleh apa dan siapa. Persaudaraan yang lahir dari insan yang sama-sama merasa senasib sepenanggungan. Persaudaraan yang lahir dari kesadaran bahwa hakikat dirinya tidak berbeda dengan diri orang lain, yaitu berasal dari Dzat yang sama.
 
Dalam Persaudaraan Setia Hati Terate, bila antar sesama warga telah mencapai kadar persaudaraan semacam ini, dikatakan bahwa kita sudah “Ketemu Rose” (bertemu rasa-nya).
 
Persaudaraan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate adalah persaudaraan yang dalam “sanepan” disebutkan:
“Kadyo lumah kurepe ron suruh. Dinulu seje rupane, nanging ginigit tunggal rasane”
(Seperti penampang daun sirih. Jika dilihat beda rupanya, akan tetapi jika digigit sama rasanya).
Artinya kepala bisa berbeda, rambut bisa tak rata, tapi hati sama suka sama rasa.
 
Namun demikian, janganlah disalah artikan esensi nilai dari sebuah persaudaraan yang sudah “ketemu rose” tersebut. Janganlah menjadikan kerancuan atas apa yang disebut dengan persaudaraan yang sudah tidak memandang lagi siapa “aku” dan siapa”engkau” itu. “ketemu rose” bukan berarti tanpa batasan. Tidak memandang lagi siapa “aku” dan siapa “engkau” bukan berarti “digebyah uyah padha asine” (sama dalam arti sempit).
 
Persaudaraan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate adalah persaudaraan yang tetap menjujung tinggi “Anggah-ungguh”; persaudaraan yang tetap berpedoman pada tata krama dan sopan santun, sesuai dengan adat-istiadat dan budaya bangsa.
 
Korelasinya adalah bahwa di dalam tubuh Persaudaraan Setia Hati Terate tidak terdapat hubungan antar “guru” dengan “murid”. Akan tetapi yang ada hanyalah hubungan antara saudara dengan saudara; dimana saudara yang lebih “muda” harus menghormati saudara yang lebih tua; saudara yang lebih tua harus menyayangi saudara yang lebih “muda” dan tidak boleh semena-mena; serta saudara yang sebaya harus saling menghargai dan saling menyayangi.
 
Perlu digarisbawahi pula bahwa telaah persaudaraan menurut pandangan Persaudaraan Setia Hati Terate sama sekali jauh dari pengkonotasian istilah “people power” yang cenderung mengarah pada pengerahan masa guna mencapai tujuan keduniawian - dan tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan serta indoktrinisasi untuk mencapai tujuan itu.
 
Persaudaraan menurut pandangan Persaudaraan Setia hati Terate lebih merupakan kumpulan sekelompok manusia yang secara sukarela ingin menjadi hubungan dalam rengkuhan rasa kebersamaan, sayang menyayangi dan bersama-sama ingin mewujudkan tujuan Persaudaraan Setia hati Terate yaitu: menciptakan manusia berbudi luhur tahu benar dan salah dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
 
Tujuan ini dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persaudaraan Setia Hati Terate Bab. II Pasal 5 dijabarkan menjadi 4 butir, yakni:
1. Mempertebal rasa cinta sesama
2. Melestarikan dan mempertinggi seni olah raga dan Pencak Silat dengan berpedoman pada ajaran wasiat Setia Hati.
3. Mempertebal rasa cinta kasih sesama
4. Menciptakan manusia berbudi luhur tahu benar dan salah, serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Unsur Pendukung Persaudaraan
 
Satu pertanyaan yang muncul senada dengan perspektif di atas adalah; bagaimana agar tercipta iklim persaudaraan seperti itu? Persaudaraan Setia Hati Terate sebagai organisasi berdaya gerak sistem persaudaraan mengenal beberapa unsur pendukung persaudaraan, antara lain:
 
* Rasa Saling Sayang Menyayangi
Persaudaraan itu harus dilandasi rasa saling sayang menyayangi. Yaitu adanya jalinan rasa kebersamaan antara orang pertama dan kedua, yang kedua dan lainnya.
Namun demikian harus diingat pula, bahwa rasa saling sayang menyayangi itu harus ada batasnya. Cinta itu ada batasnya. Cinta yang tidak ada batasnya akan berakhir dengan penyiksaan dan penyesalan atau dikatakan sama halnya dengan pembunuhan. Pembunuhan itu keji dan tidak berperikemanusiaan. Pembunuhan juga berdosa. Dari proporsi ini bisa ditarik satu pengertian, bahwa cinta yang tidak ada batasnya lebih dekat dengan perbuatan keji dan dosa.
 
* Hormati Menghormati
Unsur pendukung terjalinnya rasa persaudaraan yang lainnya adalah saling hormat-menghormati. Yang merasa lebih muda harus menghormarti yang tua, yang tua pun harus bisa mengemban penghormatan itu dengan arif, tidak semena-mena kepada yang muda dan tidak bersifat diktator.
 
Pola penghormatan antara yang muda dan yang tua dalam PSHT, tidak sekedar ditakar dengan lamanya masa pengesahan, namun juga harus memperhatikan usia seseorang. Jadi jangan karena merasa tahun pengesahannya lebih tua, lantas bersikap sok jago terhadap warga yang pengesahannya lebih muda. Sebaliknya, bagi warga yang merasa berusia lebih tua, juga jangan gila hormat. Sebab gila hormat itu penyakit jiwa. Pilihan tepat terkait dengan misi penghormatan ini adalah penekanan hukum timbal balik dalam takaran rasa pangrasa. Formatnya, jika dirinya ingin dihormati, maka hormatilah orang lain. Jika diperlakukan baik, maka balaslah dengan kebaikan yang lebih baik lagi.
 
* Bertanggung Jawab
Ini yang harus selalu dijaga sebagai konsekuensi kita sebagai manusia yang berbudaya, adalah saling bertanggung jawab, jujur dan selalu menekankan keterbukaan dalam menghadapi setiap persoalan.
 
Pertanggungjawaban yang dimaksud dalam hal ini bisa dipilah menjadi tiga.
Pertama pertanggungjawaban kita terhadap diri sendiri, kedua kepada orang lain atau sesama, dan ketiga pertanggungjawaban kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
 
Apabila ketiga unsur pendukung terjalinnnya persaudaraan itu bisa terwujud dan dipertahankan, bukan hal yang mustahil jika apa yang kita harapkan atas persaudaraan itu dapat tercipta. Sebaliknya jika ketiga unsur pendukung itu terabaikan, jangan berimpi kita akan bisa hidup rukun saiyeg saeka praya.
 
Semoga bermanfaat
Salam Persaudaraan.....
PSHT Rayon UPT. Pandansari
Ranting Kintap Cabang Tanah Laut

Falsafah Kehidupan

Oleh : Abdurrahman Arrasyid


Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama.
Yaitu: aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
Secara alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk.
Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup bermasyarakat secara benar.
Cukup banyak piwulang kautaman dalam ajaran hidup cara Jawa. Ada yang berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dll. Ada pula yang berupa sesanti atau unen-unen yang mengandung pengertian luas dan mendalam tentang makna budi luhur.
Misalnya : tepa selira dan mulat sarira, mikul dhuwur mendhem jero, dan alon-alon waton kelakon.
Filosofi yang ada dibalik kalimat sesanti atau unen-unen tersebut tidak cukup sekedar dipahami dengan menterjemahkan makna kata-kata dalam kalimat tersebut.
Oleh karena itu sering terjadi ”salah mengerti” dari para pihak yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang Jawa sendiri. Akibatnya ada anggapan bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai anti-logis atau dianggap bertentangan dengan logika umum. Akibat selanjutnya berupa kemalasan orang Jawa sendiri untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen yang ada pada khasanah budaya dan peradabannya.
Namun kemudian, sesanti dan unen-unen tersebut dijadikan olok-olok dalam kehidupan masyarakat, misalnya :
Mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleran dengan perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya.
Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah.
Alon-alon waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.

Padahal ajaran sesungguhnya dari sesanti dan unen-unen tersebut adalah pembekalan watak bagi setiap individu untuk hidup bersama atau bermasyarakat. Tujuan utamanya adalah terbangunnya kehidupan bersama yang rukun, dami dan sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan salah, buruk dan tergolong budi asor. Makna dari mulat sarira dan tepa selira adalah untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang lain.
Mulat sarira, mengajarkan untuk selalu instropeksi akan diri sendiri.”Aku ini apa? Aku ini siapa? Aku ini akan kemana? Aku ini mengapa ada?” Kesadaran untuk selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa selira, berempati secara terus menerus kepada sesama umat manusia. Kebebasan individu akan berakhir ketika individu yang lain juga berkehendak atau merasa bebas. Maka pemahaman mulat sarira dan tepa selira merupakan bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-sama, bukan?
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orangtua dan pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orangtua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut ”lebih” dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur. Orangtua yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orangtua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas ditauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin.
Alon-alon waton kelakon, bukan ajaran untuk bermalas-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sambil menyadari akan kapasitas diri.
Contoh yang mudah dipahami ada dalam dunia pendidikan tinggi.
Normatif setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan kuliah Strata I dibutuhkan waktu 8 semester. Namun kapasitas setiap mahasiswa tidaklah sama. Hanya sedikit yang memiliki kemampuan untuk selesai kuliah 8 semester tersebut. Sedikit pula yang prestasinya cum-laude dan memuaskan. Rata-rata biasa dan selesai kuliah lebih dari 8 semester. Dengan mengoperasionalkan ajaran alon-alon waton kelakon, maka mahasiswa yang kapasitas kemampuannya biasa-biasa akan selesai kuliah juga meskipun melebihi target waktu 8 semester.
Makna positifnya mengajarkan kesabaran dan tidak putus asa ketika dirinya tidak bisa seperti yang lain. Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi lebih mengutamakan kebersamaan.

Banyak pula kita ketemukan Piwulang Kautaman yang berupa nasehat atau pitutur yang jelas paparannya.
Sebagai contoh adalah sebagai berikut :
“Ing samubarang gawe aja sok wani mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane sing ora bisa dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa manungsa iku pancen wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha Wikan”.
Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit temahane mung bakal murihake bilahi.
Terjemahannya:
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.
Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”.
Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”

Piwulang Kautaman memiliki aras kuat pada kesadaran ber-Tuhan. Maka sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri “hak prerogatif Tuhan” dalam menentukan dan memastikan kejadian yang belum terjadi.
Wallahu a'lam
 
Semoga manfaat