Falsafah PSHT

Manusia dapat dihancurkan, Manusia dapat dimatikan,
tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu
masih Setia kepada dirinya sendiri atau ber-SH pada dirinya sendiri

Senin, 21 November 2016

Pengertian Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah

Fardhu adalah kata dari bahasa Arab. Fardhu artinya adalah apa yang Pembuat Hukum haruskan untuk dikerjakan dan yang sifat wajibnya dibuktikan dengan bukti yang definitif.
Kewajiban yang dituntut oleh Allah kepada manusia ada dua macam; kewajiban individual dan kolektif. Macam yang pertama disebut dengan Fardlu ‘Ain dan yang kedua disebut dengan Fardlu Kifāyah.
Dua macam ini merupakan pembagian hukum wajib dilihat dari segi siapa yang dikenai tuntutan untuk mengerjakannya.

Perbuatan yang Fardlu ‘ain adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada tiap-tiap orang mukallaf agar dikerjakan. Setiap orang mukallaf dibebani perbuatan tersebut tanpa bisa digantikan oleh yang lain. Termasuk kategori perbuatan ini adalah mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan lain sebagainya.

Sedangkan perbuatan yang fardlu kifayah adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada orang-orang mukallaf secara kolektif. Artinya, jika ada salah seorang yang mengerjakan perbuatan tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika sama sekali tidak ada yang mengerjakan, maka berdosalah seluruhnya. Termasuk kategori perbuatan ini adalah merawat mayyit (tajhīz al-mayyit), melaksanakan jihad, melakukan amar makruf nahi mungkar, membangun sekolah atau rumah sakit, menjabat sebagai presiden, dan lain sebagainya.

Apa yang membedakan antara perbuatan yang fardlu ‘ain dan fardlu kifayah?
Pertama, dari sisi kepada siapa perintah perbuatan tersebut ditujukan. Perintah untuk melaksanakan perbuatan yang fardlu ‘ain ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf (al-kully al-afrādy). Perintah Allah kepada manusia untuk melakukan shalat lima waktu, misalnya, ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf. Setiap orang mukallaf dibebani untuk melaksanakannya tanpa bisa digantikan oleh yang lain. Sedangkan perintah untuk melaksanakan perbuatan yang fardlu kifayah tidak ditujukan kepada masing-masing orang mukallaf, melainkan keseluruhannya (al-kully al-majmū’iy/al-hai’ah al-ijtimā’iyah).

Perintah syariat agar ada pemimpin bagi suatu daerah tidak ditujukan kepada tiap-tiap orang yang ada di daerah tersebut, melainkan secara keseluruhan. Artinya, tidak setiap orang di daerah tersebut harus menjadi pemimpin. Jika ada salah seorang di antara mereka yang dipilih menjadi pemimpin, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.
Namun demikian, sebenarnya ulama berdebat mengenai kepada siapa tuntutan untuk melakukan perbuatan fardlu kifayah. Dalam contoh kewajiban merawat mayyit, misalnya, kepada siapa tuntutan kewajiban untuk melaksanakannya ditujukan?

Pertama, tuntutan kewajiban itu ditujukan kepada sebagian orang saja. Sebagian orang ini adalah mereka yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakan perbuatan tersebut. Jadi, yang dikenai kewajiban untuk merawat mayyit, misalnya, adalah orang yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakannya. Jika ia menduga sudah ada orang lain yang mengerjakan, maka ia tidak dikenai kewajiban. Soal siapa sebagian itu, pendapat ini masih terbelah menjadi tiga kubu. Ada yang mengatakan bahwa sebagian itu tidak tertentu atau mubham.
Ada pula yang mengatakan bahwa yang sebagian itu sudah ditentukan oleh Allah. Sedangkan yang lain menyatakan bahwa yang sebagian itu adalah orang yang telah melaksanakannya. Kelompok ini beralasan, perintah-perintah syariat yang menuntut untuk melakukan perbuatan fardlu kifayah tidak ditujukan kepada seluruh manusia, melainkan sebagian saja. 
Sebagaimana firman Allah,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imrān [3]: 104)

Ayat di atas menuntut pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Tuntutan kewajiban yang ada pada ayat tersebut ditujukan kepada sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya kata مِنْكُمْ . Kata min tersebut memberi pengertian tab’īdl, yaitu sebagian. Di samping itu, kelompok ini juga beralasan, oleh karena kewajiban fardlu kifayah ini gugur jika ada sebagian orang yang mengerjakannya maka yang wajib mengerjakan hanya sebagian saja.

Kedua, kewajiban itu adalah untuk tiap-tiap orang (al-kully al-afrādy) sebagaimana fardlu ‘ain, namun gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Pendapat ini berargumen dengan dua alasan: Pertama, perintah yang menuntut untuk melakukan perbuatan yang fardlu kifayah seringkali berbentuk umum. Sebagaimana firman Allah,
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190)
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190)

Perbuatan jihad yang diperintahkan oleh ayat di atas adalah perbuatan fardlu kifayah. Perintah dalam ayat tersebut bersifat umum, mencakup kepada tiap-tiap orang mukallaf. Di samping itu, argumen kedua dari kelompok ini adalah, bahwa apabila perintah untuk melaksanakan perbuatan fardlu kifayah diabaikan, maka semua orang berdosa. Ini menunjukkan, bahwa kewajiban untuk melakukan perbuatan yang fardlu kifayah ditujukan kepada setiap orang mukallaf.

Ketiga, kewajiban itu ditujukan kepada keseluruhan orang mukallaf (al-kully al-majmū’iy/al-ha’iah al-ijtimā’iyah) dan gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Mengapa demikian? sebab jika kewajiban itu ditujukan kepada tiap-tiap orang sebagaimana pendapat sebelumnya, berarti itu sama dengan menghapus kewajiban yang telah ditetapkan. Menghapus kewajiban itu hanya bisa dilakukan dengan dalil yang menghapus (nasakh) kewajiban tersebut. Sedangkan kewajiban fardlu kifayah ini sama sekali bukan menasakh suatu kewajiban.

Ketiga pendapat di atas memiliki argumen yang kuat dan benar menurut masing-masing. Namun demikian, semuanya sepakat, bahwa perbuatan fardlu kifayah, apabila dikerjakan oleh sebagian orang  maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Dan jika tidak ada seorang pun yang mengerjakannya, maka berdosalah seluruhnya.

Perbedaan fardlu ‘ain dan fardlu kifayah yang kedua adalah, dalam perbuatan yang fardlu ‘ain, ada dua hal yang diperhatikan, yaitu siapa yang mengerjakan dan ketercapaian maksud perbuatannya. Sedangkan dalam fardlu kifayah, siapa yang mengerjakan tidak menjadi perhatian utama, yang penting maksud dari perbuatan yang diperintahkan bisa tercapai. Perbedaan ini dapat dilihat dari pengertian, bahwa fardlu kifayah adalah,
مُهِمٌ يُقْصَدُ حُصُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ نَظْرٍ بِالذّاتِ اِلى فَاعِلِهِ
“Perbuatan penting yang ingin dicapai (tujuannya) tanpa memperhatikan secara terutama terhadap pelakunya.”

Membangun rumah sakit di sebuah daerah, misalnya, adalah perbuatan yang fardlu kifayah. Tujuannya adalah agar orang-orang dapat berobat ketika sakit. Untuk mencapai tujuan ini, tidak menjadi soal utama siapa yang mengerjakannya. Yang penting tujuan bisa tercapai. Berbeda dengan shalat lima waktu. Tujuannya adalah tercapainya kekhusyu’an sebagai bentuk ketundukan dan ketakwaan kepada Allah. Dalam shalat ini, siapa pelakunya menjadi perhatian utama.
Perbedaan yang ketiga adalah dari sisi maslahat yang dicapai. Maslahat yang dicapai dalam mengerjakan perbuatan fardlu ‘ain bersifat individual, artinya, ketika perbuatan tersebut dikerjakan, yang selamat dari dosa hanyalah orang yang mengerjakannya saja. Berbeda dengan perbuatan fardlu kifayah, yang selamat dari dosa tidak hanya orang yang mengerjakan saja. 

Dari sini, muncul perdebatan di kalangan pakar ushul fiqh, soal lebih utama mana antara fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Sebagian mengatakan lebih utama fardlu ‘ain, sebab dari saking pentingnya, syariat mewajibkan kepada setiap orang mukallaf untuk mengerjakannya. Sementara sebagian yang lain mengatakan lebih utama fardlu kifayah, sebab jika perintahnya dilaksanakan oleh sebagian orang, itu bisa menyelamatkan sebagian lain yang tidak megerjakan dari dosa.

Selanjutnya, perbuatan yang fardlu kifayah dapat berubah menjadi fardlu ‘ain. Hal tersebut disebabkan oleh dua hal:
Pertama, ketika yang mampu melaksanakan perbuatan fardlu kifayah hanya satu orang. Misalnya, jika ada orang tenggelam, dan hanya seorang yang mampu menyelamatkannya, maka ia hukumnya fardlu ‘ain untuk menyelamatkan orang yang tenggelam itu.
Kedua, ketika perbuatan fardlu kifayah itu telah dikerjakan. Jika telah mengerjakan perbuatan yang fardlu kifayah, maka itu sama dengan fardlu ‘ain, artinya sama-sama harus diselesaikan.

Di samping fardlu ‘ain dan fardlu kifayah, ada juga yang disebut dengan sunnah ‘ain dan sunnah kifayah. Perbedaannya dengan fardlu adalah ketegasan perintahnya. Jika perintah fardlu ‘ain dan kifayah bersifat tegas, sementara sunnah ‘ain dan sunnah kifayah bersifat tidak tegas. Perbuatan sunnah ‘ain seperti shalat dhuha. Sedangkan perbuatan yang sunnah kifayah seperti mendo'akan orang yang bersin (tasymīt).  
Wallahu a’lamu bisshowab

Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar